Pukul dua belas malam, Batara mengendap-endap memasuki kamar utama. Manessa tertidur lelap di tempat tidur. Batara melihat kemasan obat tidur di atas nakas. Ia menghela napas. Bahkan untuk tidur saja, Manessa harus dibantu oleh obat. Ia lalu menatap figura kesayangan Manessa yang ada di dinding. Dengan hati-hati, ia mengangkat figura itu hingga lepas dari pakunya. Ia berusaha agar tidak ada suara sedikitpun. Pelan-pelan ia membawa keluar figura itu yang ternyata lumayan berat. Ia lalu berjalan menuju gudang dan meletakkan figura itu di tempat yang paling dalam. Batara lalu kembali ke kamarnya untuk mengambil figura lain yang telah ia siapkan. Figura itu penuh dengan foto dirinya. Hanya dirinya. Ia kemudian masuk kembali ke kamar Manessa lalu menggantung figura baru itu di tempat figura lama. Ia membisikan kata maaf pada Kastara dalam hatinya. Sebelum ia pergi, ia melihat Manessa sekali lagi.
"Maaf, Mi." katanya pelan lalu keluar kamar sebelum Manessa menyadari kehadirannya. Ia menutup kamar itu pelan-pelan lalu berjingkat menuju kamarnya di lantai dua. Langkahnya terhenti ketika ia berada di depan kamar Kastara. Kamar itu selalu tertutup sejak kepergian pria itu. Tidak ada yang berniat untuk membuka kamar itu. Manessa terlalu sedih sehingga tidak akan kuat untuk berada di dalam kamar putra sulungnya itu. Harris sudah terlalu sibuk memikirkan istrinya sehingga ia juga tidak sempat masuk ke kamar ini. Sedangkan dirinya? Ia hanya tidak punya alasan khusus untuk itu. Batara menyentuh kenop pintu dan pintu itupun terbuka.
Aroma debu menyeruak keluar. Batara cepat-cepat menutup hidungnya agar tidak bersin. Dengan tangannya, ia mengibas-ngibas agar debu itu tidak mengganggunya. Ia lalu melangkahkan kakinya ke kamar Kastara lalu menyalakan lampunya.
Kamar ini masih sama seperti dulu. Hitam putih dan sangat rapi. Semua pada tempatnya, tidak seperti kamarnya yang berantakan. Ia tersenyum melihat sudut baca Kastara. Dulu ketika ia tiba-tiba masuk kamar Kastara tanpa mengetuk terlebih dahulu, ia akan hampir selalu mendapati kakaknya itu duduk di kursi sambil membaca buku. Di samping kursi biasanya akan ada teh atau kopi yang mengepul. Membaca adalah kegemaran Kastara dari dulu. Salah satu hobi yang tidak bisa Batara mengerti.
"Lu suka banget sih baca buku, Kas? Gak bosen gitu?" celotehnya waktu itu. Kastara menurunkan bukunya untuk melihat mata Batara. Pria itu tersenyum kecil.
"Membaca adalah salah satu kesempatan ku untuk melarikan diri." Jawabnya waktu itu. Batara mengernyitkan dahinya tidak mengerti.
"Ya kalau mau melarikan diri, tinggal pergi aja dari rumah. Repot amat!"
"Kamu gak akan ngerti, Tara. Kamu masih kecil." Kastara tertawa kecil untuk menggoda adiknya. Dulu Batara pasti akan marah jika ia dibilang 'masih kecil'. Namun sekarang, ia yakin, ia rela diejek seperti itu jika Kastara bisa kembali hidup lagi.
Batara mendekati lemari buku Kastara. Jemarinya membelai buku-buku yang disusun berdasarkan warna sampulnya itu satu persatu. Ia menghela napasnya. Jemarinya berhenti di salah satu buku favorit Kastara. Ia lalu menarik buku itu. Manessa menghadiahkan buku itu pada Kastara ketika pria itu masih berumur empat belas tahun. Buku itu adalah terbitan pertama dari buku kesukaan almarhum kakaknya itu. Sebuah buku yang bercerita tentang penyihir, naga, dan putri yang cantik. Sampul buku itu sedikit robek karena ulahnya. Ia merebut paksa buku itu dari tangan Kastara waktu itu sehingga sampulnya robek. Ia ingat betul, Kastara hanya diam saja. Dia tidak marah. Tidak menangis. Namun, justru karena ketenangannya yang memekakkan telinga itulah Batara merasa sangat bersalah dan menangis sejadi-jadinya. Sejak saat itu, ia tidak pernah menyentuh buku-buku kakaknya lagi. Hingga hari ini.
Batara akan mengembalikan buku itu kembali ke tempatnya ketika beberapa lembar kertas berwarna biru jatuh ke lantai. Batara mengernyitkan dahinya sambil mengambil kertas-kertas itu. Ia menimbang-nimbang haruskah ia membaca isi kertas-kertas biru itu atau sebaiknya ia mengembalikannya. Ia melirik pintu kamar Kasi yang terbuka. Ia akhirnya memutuskan untuk membawa kertas-kertas beserta buku itu ke kamarnya. Ia ingin mengenal Kasi lebih dalam dan ia berharap, kertas-kertas ini mampu membuatnya mengenal sosok Kasi.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Tiba
ChickLitManessa mencintai Kastara, putra sulungnya, dengan segenap hati. Baginya, Kastara adalah dunianya. Sebegitu besar cintanya pada Kastara sehingga terkadang ia lupa jika Batara juga miliknya.