eka wingsati

169 17 1
                                    

Mencintai tidak pernah sesakit ini. Kata orang, mencintai orang yang telah tidak ada sangat menyakitkan. Tapi menurutku, mencintai seseorang yang masih hidup namun tidak pernah mau membalas cinta kita seumur hidupnya lebih menyakitkan.

Apa yang tidak kuberikan untuknya? Semua selalu kuusahakan agar dia bahagia... agar dia mencintaiku. Kemanapun dia ingin pergi, ku penuhi permintaannya. Seberapapun uang yang ia perlukan, maka akupun akan berusaha keras untuk mendapatkannya. Semua itu kulakukan hanya untuk mendapatkan pengakuan, "Aku mencintaimu juga." Walau hanya sekali... Aku ingin mendengar itu dari mulutnya langsung.

Dia ada di sebelahku sekarang. Tertidur dalam hangatnya jaket yang ku selimutkan menutupi tubuhnya yang kurus. Jarak ini, adalah jarak terdekat selama beberapa bulan ini. Menatap raut wajahnya ketika tidur sungguh membuatku bahagia, walau hanya sesaat. Aku sungguh ingin membelai rambutnya namun aku takut dia terbangun lalu kembali bertanya, "Kapan kita pulang? Dimana Kastara?" Entah harus bagaimana aku membuatnya mengerti bahwa anak kesayangannya sudah tidak ada lagi bersama kami.

Berjalan jauh bersama Manessa juga ini lah pertama kalinya. Bali. Dan hanya kami berdua. Aku merindukan wanita ini dan betapa Tuhan tau bahwa aku merasa putus asa melihatnya hilang arah. Aku sungguh ingin ia menikmati perjalanan ini sehingga aku menyediakan semua yang terbaik selama kami berada di Bali. Dari mulai pesawat yang mahal yang ku pilih hanya supaya dia bisa tidur nyenyak seperti ini. Lalu hotel bintang lima dengan kamar suite yang siap menyambut kami setelah mendarat di Bali. Supir mobil yang ku sewa selama kami di Bali juga merupakan supir yang ku kenal baik. Semua hanya untuk wanita ini, agar dia merasa nyaman. Aku memang tidak bisa menghidupkan kembali anak kesayangannya, jelas aku bukan Tuhan. Tapi paling tidak, aku ingin ia bisa menikmati semua ini agar kesehatan mentalnya membaik.

"Bapak Ibu yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali...." Suara sang pilot terdengar jelas dari langit-langit pesawat. Dengan pemberitahuan itu, sepuluh atau lima belas menit kemudian, mendaratlah kami di tanah Bali. Manessa terbangun ketika pesawat mendarat mungkin karena ia merasakan goncangan.

Dengan matanya yang besar, ia menatapku seakan bingung sedang apa aku di sisinya.

"Kita sudah mendarat di Bali." kataku tepat sebelum mulutnya bisa berkata-kata. Ia mengangguk pelan lalu memberikan jaket ku yang tadi membungkus tubuhnya. Ia lalu merapikan rambut dan menjepitnya. Ia terus memandang jendela, bukan memandangku.

**

Aku menyeret koper kami keluar dari pintu kedatangan dengan Manessa yang berjalan di depanku tanpa merasa perlu menunggu aku untuk bisa berjalan sejajar dengannya. Hanya punggungnya yang terus menatapku.

"Coba hubungi supir yang kamu sewa." katanya. Tapi sebelum aku sempat merogoh smartphone ku, seorang pria melambai padaku. Bapak Ketut Andi. Aku dan Manessa lalu berjalan menuju pria itu dan lalu menyalami tangannya.

"Bagaimana tadi perjalanannya? Lancar?" kata Bapak Andi dengan logat Bali yang kental.

"Ya, lancar saja, Pak." jawabku.

"Mari kita langsung ke hotel saja, ya. Pasti Bapak Harris dan Bu Manessa lelah."

"Kalau boleh, saya ingin langsung ke pantai." Manessa berkata.

"Apa kamu tidak lelah, Sa?" tanyaku meyakinkan. Ia menggeleng.

"Saya baik-baik saja." Ia menoleh padaku.

"Baiklah. Kita ke pantai saja, Pak."

"Kita ke Pantai Tuban saja, ya?" tawar Pak Andi. Aku mengangguk. Ia lalu membantuku membawa koper kami. Aku dan Manessa mengikuti Pak Andi dari belakang. Ku beranikan diri untuk menggandeng tangan istriku itu. Ia menoleh tapi lalu membiarkan tanganku tetap mencengkram tangan miliknya mungkin karena kami sedang berada di tempat umum sehingga ia tidak bisa menepis tanganku dengan kasar.

**

Manessa segera menjejakkan kakinya di pasir begitu kami tiba di Pantai Tuban. Ia tidak peduli pada angin yang membuat rambutnya berantakan. Ia mengenakan kaca mata hitam karena sinar matahari yang menyengat. Perlahan, ia berjalan menuju air yang menari dalam rupa ombak. Aku berjalan di belakangnya lalu berhenti untuk memperhatikan wanita yang ku cinta itu. Ia hanya berdiri di sana sambil menatap laut lepas.

"Kastara selalu suka pantai." Ia memulai. Tangannya mulai memeluk diri sendiri. Ia terlihat sangat rapuh. "Dia dan pantai seperti memiliki hubungan yang lebih dalam daripada hubungan saya dan dia. Rasanya, tanpa ia perlu berkata-kata, pantai bisa mengerti isi hatinya...semua rahasia yang ia miliki... apa yang tidak bisa ia bagi dengan saya..."

"Saya ingin bisa mengerti dia lebih dalam lagi..." lanjutnya.

"Sa, kamu tau Kastara dengan sangat baik. Kamu dan dia selalu bersama-sama." hiburku.

"Tidak lagi..." Punggungnya mulai bergetar.

"Sa..."

"Saya tidak tau mana kenyataan...mana yang mimpi. Satu hari saya bisa merasakan Kastara berada di sekitar saya, tapi satu hari kemudian, dia menghilang. Satu hari saya melihatnya di rumah, tapi lalu dia pergi dan belum kembali juga."

Aku berjalan mendekat. "Sa... relakan dia pergi..."

"Bagaimana mungkin saya bisa merelakan dia pergi??" Ia membalikkan badanya lalu menatapku garang. "Bagaimana kamu bisa merelakan orang yang kamu cintai pergi?! Mencintai orang yang tidak bisa mencintai kamu lagi itu menyakitkan, Harris!!" teriaknya marah.

"Percayalah, Sa. Saya tau rasanya..." Ia menatapku bingung. "Saya mencintai sesorang yang bahkan tidak pernah bisa mencintai saya selama lebih dari dua puluh tahun, Sa. Saya yakin rasa sakit saya lebih parah dari yang kamu rasakan. Kenapa? karena ini terus terjadi berulang-ulang setiap hari, sejak hari saya dan dia menikah. Lebih baik mencintai orang yang sudah mati daripada mencintai orang yang setengah hidup, setengah mati." Ku tatap dia dengan lebih intens. "Saya mengerti, Sa."

"Siapa..."

"Saya akan menunggu kamu di mobil." Balasku lalu berjalan kembali ke mobil. Bahkan dia tidak tau bahwa dialah orang yang aku bicarakan. Betapa sakitnya hati ini, Manessa. 

**

Ketika Senja TibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang