panca

201 23 1
                                    

Mengapa harus ada hujan dalam setiap duka? Tanah basah yang lengket pada setiap sepatu orang-orang berpakaian hitam membuat semua semakin menyedihkan. Suram tanpa senyum dan air mata menyatu dengan rintik hujan yang membasahi setiap pipi.

Ia berdiri di sana dengan wajah pucat dan lelah. Tak ada tenaga yang bisa menggerakkan sudut bibirnya untuk tersenyum. Dan memang tidak ada alasan lagi baginya untuk tersenyum. Ia menggenggam jam tangan yang bertuliskan 'Kastara' di dadanya. Jam tangan itu masih utuh namun memiliki luka gores di sana dan di sini. Hatinya pilu. Kalau saja jam tangan ini tidak melingkar di tangan putra kecintaannya, ia tidak mungkin percaya bahwa pria yang berselimut darah itu adalah miliknya.

Air matanya kering. Tak ada yang turun lagi walaupun ia ingin. Kebahagiaannya telah pergi, tertanam di dalam tanah bersama jasad putranya. Ketika mereka melemparkan tanah untuk menutup lubang itu, ia meraung dan meneriakkan kata indah yang ia hadiahkan pada penghuni hatinya. Kalau bisa, ia ingin berada di samping pria itu di bawah sana. Namun tangan-tangan kuat menariknya agar tidak terjun ke sana. Buat apa lagi dia hidup tanpa Kastara?

"Mi... Mami... lihat aku!" Batara menggoncang tubuhnya. Wanita itu  tak menghiraukan. Ia tetap berteriak meminta anaknya untuk bangkit. "Mami!" teriak Batara. Manessa akhirnya menyerah dan menengadah untuk melihat Batara.

"Jangan, Mi. Jangan. Batara masih butuh Mami..." ucap Batara di sela tangisnya. Ia memeluk Manessa erat. Harris, yang langsung pulang begitu mendengar berita duka itu, memeluk Batara dan Manessa dalam  dadanya.

"Kamu harus kuat, Sa. Kamu harus kuat." bisik Harris.

"Saya tidak bisa... Kastara... Mama mau ikut..." tangis Manessa. Batara memeluknya lebih erat.

"Jangan, Mi..."

"Ayo kita pulang, Sa. Kita biarkan Kastara istirahat." Harris berkata. Manessa menatap suaminya dengan bingung.

"Kastara tidak pulang? Kenapa dia di tinggal?" tanyanya. Hati Harris rasanya teriris mendengar pertanyaan Manessa. Manessa menyangkal kematian Kastara.

"Kastara tidak bisa pulang, Sa. Kita duluan saja." Dengan setengah memaksa, Harris menuntun Manessa keluar tanah pemakaman itu diikuti oleh Batara.

"Loh?? Tidak mau! Mau sama Kastara!" Teriak wanita berambut panjang itu. Ia meronta. Harris terpaksa merangkulnya lebih erat dan akhirnya menyeret Manessa agar ikut bersamanya. Batara tidak mampu menyembunyikan kesedihannya lagi. Kehilangan Kastara adalah sesuatu yang merengut hati, namun melihat ibunya yang menderita karena kehilangan putra sulungnya, lebih membuat hati Batara sakit.

Ia tau bahwa Kastara adalah putra kesayangan ibunya. Kadang kala ibunya akan lupa jika dia ada ketika Kastara berada di sekitar wanita itu. Tapi dia tidak bisa membenci Kastara karena kakaknya itu sangat mencintai ia dan ibunya. Dan tidak mungkin baginya untuk membenci Manessa karena ia percaya Manessa mencintainya walau tidak sebesar cintanya pada Kastara. Melihat Manessa kehilangan arah seperti ini membuatnya berharap agar ia saja yang berada di kubur itu, jangan Kastara.

**

Di dalam mobil hitam itu, tidak ada suara sama sekali. Manessa tertidur karena lelah. Harris menyetir dalam diam dan Batara terlalu lelah untuk berbicara. Harris melirik putranya yang duduk di jok belakang.

"Terimakasih karena kamu merawat mami ketika berita buruk itu disampaikan." ucap Harris lembut. Batara tidak mengalihkan perhatiannya dari jendela sedikitpun.

"Hanya aku yang ada di sana, Pi." jawab Batara singkat. Harris mengangguk lalu kembali menatap jalan. "Aku tidak pernah mengerti mengapa mami sangat mencintai Kastara sebegitu besarnya. Sampai akhirnya Kastara meninggal, itu tetap pertanyaan yang tidak bisa terjawab." Harris menghela napas mendengar perkataan putra satu-satunya.

"Kastara adalah putra pertamanya." jawab Harris.

"Tapi aku juga putra mami."

"Mami mencintai kamu juga." Harris lagi-lagi melirik Batara.

Batara tidak menghiraukan pernyataan Harris. Ia menghela napasnya lalu menyumpal sepasang headset di telinganya lalu hilang dalam dunianya sendiri.

Ketika Senja TibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang