Harris melingkarkan tangannya di tubuh Manessa yang tengah menangis keras. Wanita itu tidak balas memeluknya tapi juga tidak berusaha melepaskan pelukan itu.
"Sudah, Sa. Batara pasti pulang." Harris menepuk punggung sang istri.
"Kenapa... kenapa dia pergi? Apa salah saya?" tangisnya. Harris tidak mampu menjawab. "Saya menjawab pertanyaannya, kan?? Ya kan?" Manessa melepaskan pelukan Harris lalu menatap mata pria di hadapannya untuk mencari pembelaan.
"Sa... Dia bukan Kastara." Jawab Harris akhirnya. "Batara...Dia Batara. Anak kita yang kedua, Sa." Manessa menatap Harris bingung.
"Sudahlah. Kamu istirahat, ya." Harris menuntun Manessa ke kamar mereka. Wanita itu tidak melawan namun jelas sekali dari wajahnya kalau ia berpikir keras. Ketika ia memasuki kamarnya, matanya menoleh ke bingkai yang berisi foto Batara.
"Tapi ini Kastara..." Manessa berkata lemah. Harris mendudukkan Manesssa di pinggir tempat tidur dan ia pun duduk di samping wanita itu.
"Dia Batara, Manessa." Harris menghela napas. "Kastara tidak akan pulang. Kamu harus terima kenyataan itu."
"..."
"Kasihan Batara. Selama ini dia menahan rasa sakit karena kamu tidak mempedulikannya."
"Maksud kamu apa?? Saya bingung." Manessa berdiri. "Dengar, ya. Anak saya itu cuma Kastara. Siapa itu Batara yang kamu maksud? Jangan mengada-ada!" seru wanita itu.
"Sa! Sampai kapan kamu harus mengingkari keberadaan Batara?"
"Dia bukan anak saya!" Teriak Manessa.
"Manessa!!" Harris membentak. "Kamu harus terima kenyataan ini! Kastara sudah meninggal dan Batara itu anak kita!"
"Tidak!" Manessa menutup telinganya. "Kamu salah! Jangan sembarangan berbicara, ya! Kastara itu hanya pergi ke Belanda!"
"Lalu mengapa dia belum pulang?! Mengapa dia tidak pernah menghubungi kamu?!" tanya Harris. Manessa terdiam. "Dia sudah meninggal, Sa! Tolong sadar. Saya sudah kehilangan Kastara dan saya tidak mau kehilangan Batara juga!"
"Tega sekali kamu..." hanya itu yang bisa Manessa katakan.
"Ada apa antara kamu dan Kastara, ha? Apa bedanya Kastara dan Batara? Mereka lahir dari rahim kamu! Mereka berdua anak kita!"
"Tidak!! Kastara anak saya! Bukan anak kamu!!' Teriak Manessa.
"Apa maksud kamu?!"
Manessa tidak menjawab. Ia berbalik badan sehingga memunggungi Harris.
"Apa maksud kamu, Sa?!" tanya Harris lagi. "Sa! Jawab saya."
"Saya yang melahirkan Kastara! Saya membesarkannya dan memberinya cinta. Kastara mencintai saya... Dimana Kastara? Tega sekali kalian memisahkan saya dengan anak saya sendiri."
"Cukup! Besok kita pergi ke psikiater. Saya lelah dengan penyangkalan kamu!"
"Pergi kamu!" Manessa berteriak lalu membanting pintu kamarnya. Harris mengerang marah. Ia tidak akan membiarkan Batara terus tidak diakui oleh wanita itu lagi.
Harris merogoh ponselnya lalu mencari kontak psikiater yang ia dapatkan dari kerabatnya beberapa minggu lalu. Bagaimanapun ia harus membawa Manessa ke psikiater, walaupun itu berarti ia harus menyeret wanita yang menjadi istrinya itu. Ia harus menghentikan kegilaan ini secepat mungkin.
**
Pagi harinya, setelah Harris sukses membuat Manessa mandi dan berganti pakaian, ia memaksa Manessa untuk pergi ke psikiater yang telah ia hubungi. Tentu saja wanita itu memberontak bahkan menangis dan marah. Harris terpaksa menggendong istrinya itu agar masuk ke mobil. Sepanjang jalan, Manessa marah namun ia tidak berbicara apa-apa pada Harris.
Setibanya mereka ke tempat praktek psikiater itu, Harris segera memaksa Manessa untuk masuk ke ruangan yang telah di tunjuk oleh seorang suster. Genggaman tanggan Harris sangat erat sehingga Manessa akan kesakitan bila ia meronta.
Setelah berada bersama psikiater itu sekitar satu jam, Harris akhirnya mendapat jawaban atas prilaku istirnya. Seperti dugaannya, Manessa mengalami depresi dan ia sekarang berada di tahap penyangkalan. Menurut psikiater itu, keluarga sebaiknya tidak terlalu memaksa Manessa untuk menerima Informasi yang tidak mau ia dengar. Mereka tetap disarankan untuk membantu Manessa dalam menerima kematian Kastara, namun jangan pernah memaksanya karena itu akan membahayakan kejiwaan wanita tersebut. Menurut psikiater itu, sebaikanya Manessa dibawa berlibur sehingga perhatiannya teralihakan. Ia juga disarankan untuk menjalani sebuah hobi yang bisa membuatnya bahagia. Ya, bahagia. Itu adalah yang terpenting untuk keutuhan jiwa istrinya.
Mereka lalu pulang dalam diam. Harris berkali-kali melirik wanita yang duduk di jok sampingnya tapi wanita itu masih marah sehingga hanya bisa memandang jalanan dari kaca jendelanya.
"Sa." panggil Harris yang tidak di jawab oleh wanita itu. "Ayo kita ke Bali. Hanya saya dan kamu." Manessa tetap terdiam.
"Sa, bagaimana menurut kamu?"
"Tidak." wanita itu akhirnya menjawab. "Saya tidak mau pergi kemana-mana. Masa bodoh dengan wanita psikiater gila itu! Saya tidak sakit dan saya tidak perlu ke Bali bersama kamu." ketus Manessa.
"Manessa. Ini hanya liburan singkat saja." bujuk Harris namun Manessa hanya menggelengkan kepalanya.
"Kastara pasti tidak mau kamu sedih begini, Sa. Kastara pasti maunya kamu menjadi bahagia lagi." Harris memancingnya. "Ayolah, Sa. Demi Kastara... Demi aku.... dan demi kesehatan kamu juga."
"Baik. Tapi tidak lebih dari seminggu. Saya harus menunggu Kastara pulang. Dia pasti sedih jika pulang dan tidak mendapatkan saya di rumah." Harris mengangguk. Maafkan Papa, Kas, karena telah membawa namamu sekarang.... Batin Harris berbisik.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Tiba
ChickLitManessa mencintai Kastara, putra sulungnya, dengan segenap hati. Baginya, Kastara adalah dunianya. Sebegitu besar cintanya pada Kastara sehingga terkadang ia lupa jika Batara juga miliknya.