Sebuah teriakan terdengar dari lantai bawah akhirnya membuat Batara membuka matanya pagi ini. Ia mengigit bibirnya resah. Manessa pasti sudah bangun dan menyadari figura kesayangannya telah di ganti. Wanita itu berteriak lagi. Kali ini sambil mengucapkan nama Kastara. Batara berusaha menutup telinganya dengan bantal namun teriakan itu terlalu kencang hingga akhirnya ia tidak tahan lagi dan keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuruni tangga hingga akhirnya tiba di depan kamar Manessa. Sebelum membuka pintu kamar itu, ia mengatur napasnya berkali-kali.
"Mami kenapa?" tanya Batara dengan tampang polos pada ibunya yang kini menangis tersedu-sedu di pinggir tempat tidurnya.
"Kastara.... mana Kastara?" tanya Manessa di sela tangisnya.
"Mi... Kastara udah gak ada." jawab Batara. Manessa menoleh padanya dengan tatapan tajam.
"Apa maksud kamu?!"
"Kastara udah meninggal." Manessa menggelengkan kepalanya.
"Tidak! Kastara itu hanya pergi ke...ke... Belanda! Iya..." Batara terdiam. Manessa kembali menyangkali kematian Kastara. "Kamu tau dimana... foto-foto Kastara?" Manessa bangkit lalu berjalan mendekati Batara. "Ini...ini bukan Kastara. Siapa orang ini?" tanyanya lagi sambil menunjuk figura baru itu. Batara memejamkan matanya. Ia berusaha meredam emosinya. Bukan itu yang ia harapkan untuk keluar dari bibir ibunya sendiri.
"Jawab saya..." kata Manessa.
"Mami gak kenal siapa orang itu?" selidik Batara. Ia menatap Manessa berharap ibunya itu sedang bercanda. Manessa memutar kepalanya untuk melihat figura itu lebih dekat.
"Ini bukan Kastara." Jawab Manessa putus asa.
"Mami gak kenal anak Mami sendiri?" kedua tangannya mengepal. Manessa melihatnya dengan bingung.
"Ini anak saya? Tapi ini bukan Kastara." tegas Manessa. Sudah... kemarahan Batara sudah sampai puncaknya. Ia tidak mau lagi meneruskan omong kosong ini. Ia berbalik dari kamar Manessa. Sayangnya, wanita itu menarik tangannya.
"Kamu siapa?"
"Kastara..." gumam Batara. "Aku Kastara!" teriaknya kali ini. Manessa mengernyitkan dahinya. Ia bingung. Matanya menatap figura dan Batara bergantian. Manessa lalu mundur beberapa langkah. Ia memperhatikan wajah Batara lebih teliti.
"Kastara..." cicitnya. "Kamu Kastara?" Batara mengunci bibirnya rapat-rapat. Ia merasa bodoh karena mengaku bahwa ia Kastara. Mana mungkin ibunya itu bisa melupakan Kasi, kan? Tapi lalu Manessa memeluknya. Erat sekali. Pertama kalinya Batara merasakan pelukan seperti ini.
"Kamu kenapa tidak telepon Mama?" tanya Manessa yang masih memeluk Batara.
"Aku... eng... aku mau memberikan kejutan." jawab Batara asal-asalan.
"Mama senang kamu pulang." Ibunya itu akhirnya melepaskan pelukan hangatnya lalu menggamit lengan Batara dan membimbingnya menuju meja makan.
"Kamu mau sarapan apa?" Manessa tersenyum. Setelah dua minggu, akhirnya wanita itu bisa tersenyum lagi. Batara menunduk sedih. Ia tidak tahan lagi. Dengan marah, ia berbalik dan pergi menuju kamarnya. Tidak ia hiraukan panggilan Manessa. Ia lalu membanting pintu kamarnya kuat-kuat.
"Aaaarggghhhhhh!" Teriaknya. Kepalan tangannya mendarat di dinding. Ia sangat marah. Ia kembali berteriak dan pastinya ini membuat Manessa panik. Ia mendengar derap langkah lalu tak lama terdengar ketukan halus di pintunya.
"Kastara... kamu kenapa, Nak?" tanya Manesssa.
"Tinggalin aku sendiri! Pergi!" teriak Batara marah. Ia sudah merasa cukup. Siapa dirinya ini? Ia sudah tidak tau lagi. Batara duduk di lantai sambil memeluk lututnya. Tangisnya pecah kali ini. Satu pertanyaan terbersit di otaknya: Jika ia yang meninggal, apakah Manessa akan merasa sekehilangan ini? Iyakah? Atau wanita itu tidak akan merasakan perbedaan apa-apa? Ia membenci Kastara! Ia sangat membenci pria itu!
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Tiba
ChickLitManessa mencintai Kastara, putra sulungnya, dengan segenap hati. Baginya, Kastara adalah dunianya. Sebegitu besar cintanya pada Kastara sehingga terkadang ia lupa jika Batara juga miliknya.