Rumah itu tampak berbeda. Jika beberapa hari yang lalu selalu ada Manessa yang membuatkan sarapan dan tersenyum sumringah setiap pagi untuk menyambut Kastara, kini tidak ada lagi makanan yang terhidang. Semuanya berubah. Atmosfer di sekitar rumah semakin gelap seakan memberitakan bahwa rumah itu kehilangan nyawanya.
Sudah seminggu lebih Manessa mengurung dirinya di kamar. Ia tidak melakukan apapun selain duduk di depan jendela kamarnya dan menatap kosong. Seperti sekarang. Ia mengenakan pakaian hitam panjang dengan syal menghiasi pundaknya. Harris duduk di sampingnya dengan sepiring makanan.
"Sa, ayo makan dulu." Hening. Wanita itu seakan tidak mendengarkannya. Harris mengangkat sesendok penuh nasi dengan lauk ke bibir wanita itu. Ia tetap menutup bibirnya rapat-rapat.
"Sa, nanti kamu sakit." kata Harris lagi. Ia menghela napas. Kesabarannya mulai menipis.
"Baiklah, terserah kamu." Pria itu akhirnya berdiri dan pergi membawa piring itu kembali ke dapur dan meminta pembantu rumah tangga mereka mencucinya.
"Mami masih belum mau makan?" tanya Batara yang melihat ayahnya keluar dari kamar itu dengan piring berisi nasi yang masih utuh. Harris menggeleng.
"Aku khawatir sekali pada Mami, Pi. Apa tidak sebaiknya kita bawa Mami ke dokter?" tanya Batara.
"Papi sempat punya pikiran seperti itu. Tapi ketika Papi mengatakan hal itu, Mami melirik Papi dengan dingin."
"Harus berapa lama, sih Mami berduka seperti itu!" Batara mulai kesal. "Kastara tidak akan kembali!"
"Batara, kita tidak bisa mengerti apa yang Mami alami saat ini."
"Tentu saja aku tau! Bukan hanya mami yang kehilangan. Aku juga! Papi juga! Tapi kita harus melanjutkan hidup kita." Batara mengepalkan tangannya lalu berjalan cepat menuju kamar itu.
"Batara, kamu mau kemana?" tanya Harris khawatir namun putranya itu tidak menjawab. Ia terus berjalan lalu ketika tiba di depan kamar Manessa, ia membuka pintu dengan kasar lalu menghampiri ibunya.
"Mami!" Batar berkata dengan suara keras. "Mami mau nyusul Kastara ya?!" tanyanya. Manessa tak bergeming. Batara berlutut sehingga Manessa kini lebih tinggi darinya. Ia lalu meremas lengan Manessa sehingga akhirnya Manessa berpaling padanya. Namun hal itu justru membuatnya sakit hati karena Manessa menatapnya seperti ia menatap orang yang tidak ia kenal dan merasa terganggu dengan sentuhannya.
"Mi..." cicit Batara terpukul.
"Tinggalkan saya sendiri." Manessa berkata dan menggerakkan bahunya untuk menyingkirkan tangan Batara dari lengannya.
"Mami gak kenal aku?" tanya Batara. Manessa tidak menjawab dan kembali menatap kosong ke jendela. Batara terduduk lunglai di lantai dan menatap Manessa dengan putus asa.
"Tara." Harris yang berdiri di samping pintu memanggilnya.
"Mami... tidak kenal aku." Ucap Batara lebih pada dirinya sendiri. Harris menundukkan kepalanya. Ia sungguh tidak mau melihat pemandangan ini. Hatinya teras di remas.
"Batara... ayo kita biarkan Mami istirahat." Harris akhirnya masuk lalu membimbing Batara untuk berdiri dan berjalan ke luar kamar.
"Papi tau, aku sedih karena Kastara meninggal. Tapi... tapi... tadi itu, itu lebih menyakitkan, Pi." Batara menunjuk ibunya. Ia lalu berbalik kembali ke pada Manessa lalu membungkukkan tubuhnya.
"Aku tau Mami tidak pernah secinta itu padaku! Tapi lihat aku, Mi!! Aku juga anak Mami! Bukan hanya Kastara!!" Teriak Batara. Harris cepat-cepat menarik Batara keluar kamar walaupun Batara meronta.
"Aku juga anak Mami!!" Teriaknya lagi. Manessa menoleh dan sesaat ia seperti mengenali pria itu.
"Kastara..." bisiknya. Batara berteriak marah namun ia tidak kuasa untuk melakukan apapun selain membanting pintu dan pergi ke kamarnya sendiri. Harris duduk di pinggir tempat tidur dan menangkupkan kepalanya di kedua belah telapak tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Tiba
ChickLitManessa mencintai Kastara, putra sulungnya, dengan segenap hati. Baginya, Kastara adalah dunianya. Sebegitu besar cintanya pada Kastara sehingga terkadang ia lupa jika Batara juga miliknya.