caturdasa

178 24 0
                                    

"Kalau kamu tanya saya apa yang saya tau tentang Kastara, maka jawabannya adalah saya tidak tau apa-apa tentang dia." Cecilia menundukkan kepalanya. Batara diam memperhatikan wanita itu.

**

Hari itu adalah hari pertama di SMA Garuda Bangsa dan kami semua yang sebagian besar bersekolah di SMP Garuda Bangsa sudah kenal satu sama lain. Lalu seorang teman kami berkata bahwa ada anak baru yang akan bersekolah di SMA kami itu. Lucu, karena kami semua sebenarnya juga masuk di label 'anak baru'. Teman kami itu, yang bernama Bena, berkata bahwa murid baru itu tampan tapi aneh. Saudara Bena bersekolah di SMP lama tempat Kastara bersekolah dan mengatakan bahwa Kastara adalah anak aneh yang tidak memiliki teman. Saudaranya itu berkata bahwa Kastara adalah 'anak mami'. Beberapa dari kami sangat penasaran kepada anak baru yang Bena ceritakan pada kami, termasuk saya. Jadi, kami mengikuti Bena menuju taman sekolah, tempat anak baru itu duduk menunggu bel berbunyi.

Dan memang benar. Kastara sangat tampan jika saya bandingkan dia dengan teman-teman saya yang pada saat itu masih ingusan semua. Dia tinggi dan bersih sekali. Anak yang terawat. Pokoknya jauh berbeda dengan teman-teman laki-laki saya waktu itu. Kebanyakan mereka berkulit sedikit gelap karena terlalu sering main di bawah matahari. Namun Kastara sangat bersih. Saat itu dia hanya duduk sambil membaca buku walau saya tau bahwa dia sebenarnya sadar bahwa kami mengamatinya.

Tak lama, bel lalu berbunyi jadi kami semua berlari menuju lapangan upacara. Setelah itu, pembagian kelas pun diumumkan dan saya yang beruntung untuk bisa satu kelas dengan Kastara. Ketika saya memasuki kelas baru saya, saya melihat bahwa teman-teman satu kelas saya sibuk bercanda dan berbincang-bincang dengan satu sama lain tapi tidak ada yang berbicara dengannya. Mungkin sebenarnya dia tidak pernah peduli dengan hal itu. Dia hanya duduk di pojok kelas sambil membaca bukunya.

Saya menghampiri dia dan duduk di sampingnya. Saya mengajaknya berkenalan tapi laki-laki itu hanya menatap saya  sambil mengernyitkan dahinya. Saya terus memaksanya untuk berkenalan hingga akhirnya dia mengatakan namanya 'Kastara Harimukti'. Namun setelah itu, dia kembali membaca bukunya.

Saya pikir dia bukanlah seseorang yang pandai bergaul. Tapi belakangan saya sadar bahwa saat itu dia sedang membangun tembok tinggi yang membatasinya dengan orang lain.

Sepanjang masa sekolah kami, Kastara memang pandai sekali. Nilainya selalu lebih bagus di kelas tapi dia tidak pernah bergaul atau mengikuti kelas tambahan atau klub di sekolah. Yang kami tau, ketika dia pulang, seorang wanita cantik selalu menunggunya di depan gerbang sekolah lalu memeluk dia singkat sebelum ia masuk ke mobil mewahnya. Mungkin ini terdengar bodoh, tapi kami sempat berpikir bahwa Kastara adalah simpanan tante-tante. Tapi lalu pikiran kami itu tidak terbukti karena pada saat pembagian rapor, wanita itu datang ke sekolah dan memperkenalkan dirinya sebagai ibu dari Kastara.

Saya bisa mengerti posisi Kastara waktu itu. Dia sudah SMA tapi ibunya masih menjemputnya lalu memeluknya di depan orang banyak...saya benar-benar mengerti posisinya. Untuk anak perempuan, mungkin hal itu masih lumrah. Tapi bagi seorang remaja laki-laki? Di punggungnya itu ada berbagai macam label yang mereka berikan untuknya. Anak kesayangan mami, kesayangan tante, anak culun, anak lemah... dan banyak lainnya. Apa Kastara ambil pusing? Tidak. Sama sekali tidak. Laki-laki itu masuk ke sekolah dengan emosi yang sama setiap hari dan tidak memperdulikan orang lain. Bahkan saya ragu jika dia ingat nama setiap teman kelasnya.

Selama tiga tahun, saya duduk di sebelahnya. Awalnya dia merasa terganggu tapi lalu dia menoleransi saya. Mungkin bagi mereka Kastara adalah anak aneh tapi bagi saya, dia adalah laki-laki yang istimewa. Misterius... Tidak ada yang tau apa yang dia pikirkan. Dan ini membuat saya suka padanya. Tiap hari saya berusaha mengajaknya berbicara. Walau dia terganggu, tidak sekalipun dia berkata kasar pada saya. Dia tetap melayani pertanyaan saya dengan sopan.

Lalu tersebarlah kabar bahwa saya menyukai dia. Setiap teman-teman menggoda saya dan dia. Saya mencoba mengelak, namun itu tidak membuat teman-teman kami patah semangat. Lalu tak lama kemudian, Kastara meminta untuk pindah tempat duduk. Dia tidak berbicara lagi pada saya.

Selama sebulan saya berusaha mencoba mencari cela untuk berbicara dengannya, namun setiap jam istirahat, dia langsung menghilang. Saya lalu tau kalau dia pergi ke perpustakaan. Jadi pada hari itu, saya mengikutinya ke perpustakaan yang tidak pernah dikunjungi orang. Saya lalu mengkonfrontasi dia.

"Kenapa kamu menghindari saya?" tanya saya waktu itu. Dia melirik saya namun tidak menyingkirkan buku yang ia baca dari hadapannya. Ia hanya diam sehingga saya menjadi emosi sekali.

"Jawab! Kenapa kamu menghindari saya?!" saya mulai berteriak. Saya rampas bukunya lalu saya buang ke lantai. Ekspresi mukanya berubah. Ia kaget namun tidak mengatakan apa-apa hingga akhirnya saya menangis.

"Saya harus menjaga jarak saya dengan kamu." katanya saat itu. Saya tidak mengerti. Saya katakan padanya bahwa saya menyukainya dan saya tidak mau dia menjaga jarak.

"Kalau kamu tidak suka saya, tidak apa-apa. Tapi tolong jangan menghindar." itu permohonan saya. Dia menggeleng.

"Kali ini sungguh saya tidak bisa." Ia berkata lalu menginggalkan saya di perpustakaan itu sendiri. Itu adalah tahun ketiga kami. Sebentar lagi kami akan lulus lalu saya dan dia tidak akan bertemu lagi. Tapi saya salah. Setelah lulus pun, saya tetap menyukai dia. Saya 'mengejarnya'.

Kami bertukar pesan dan bertemu di luar untuk sekedar meminum kopi atau apalah itu. Hubungan kami yang hanya sebatas itu tidak pernah maju. Saya tidak pernah tau perasaan dia pada saya. Tapi saya senang karena dia tidak perlu bertanya-tanya bagaimana perasaan saya pada dia. Saya memang tidak tau banyak tentang dia, tapi yang saya tau dia tau bahwa saya mencintai dia... hingga akhir hayatnya.

**

Cecilia menyeka matanya yang basah oleh air mata. Batara terdiam. Wanita itu, Manessa, bersalah sekali pada Cecilia dan Kastara. Bagaimana mungkin dia begitu egois hingga membuat Kastara tidak berani mencintai orang lain?

"Maaf ya." Cecilia berusaha tersenyum. Pria itu menggeleng.

"Saya rasa, dia juga mencintai kamu."

"Tidak mungkin..." tolak Cecilia.

"Tetap ada kemungkinan itu. Kakak saya itu, mungkin mencintai kamu juga..." Batara mengalihkan pandangannya ke luar lalu berkata, "Dia hanya tidak mau kamu melihat betapa berantakannya keluarga kami.... Dia tidak mau menyeret kamu ke dalam drama kami."

"Apa maksud kamu??" Cecilia mengernyitkan dahinya namun Batara menggeleng.

"Tidak apa-apa." Ia lalu menghabiskan cappuccinonya lalu berdiri. "Saya berharap bisa menghubungi kamu secara pribadi nantinya tanpa harus berhubungan dengan bawahan kamu."

"Ya... ini kartu nama saya." Cecilia lalu mengambil sebuah kartu nama bertuliskan namanya dan memberikan pada Batara.

"Baiklah. Saya tidak bisa meninggalkan mami terlalu lama sendirian di rumah. Terimakasih sudah berbagi tentang Kastara. Saya pamit dulu, ya." Batara tersenyum.

"Baiklah. Hubungi saya kapanpun kamu mau." Cecilia tersenyum lalu membiarkan Batara meninggalkannya. Ia sendiri masih duduk di sana sedikit lebih lama untuk mencerna kata-kata Batara yang berkata bahwa Kastara juga mencintainya...


**

Kalau kamu pikir chapter ini layak untuk dapat vote, silahkan vote. Kalau mau komentar juga boleh. 



XX

Ketika Senja TibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang