sapta

217 19 1
                                    

"Berengsek!!" Sebuah teriakan bergema.

"Berengsek!!!!!" Kali ini teriakan itu diikuti oleh bunyi bantingan barang.

Harris yang mendengar itu segera berlari menghampiri kamar Batara yang berada di lantai dua. Ia mengetuk kamar itu dengan panik.

"Batara...Batara..."

"Aaargghhhh!" lalu terdengar bunyi pecahan kaca.

"Tara... kamu kenapa?" Kata Harris cemas.

"Tolong tinggalin aku sendiri, Pi!" teriak Batara.

"Batara... Nak... tolong lah. Jangan membuat keadaan semakin buruk." Mohon Harris. Tidak ada jawaban dari dalam kamar Batara namun Harris bisa mendengar isakan pelan.

"Papi harus kembali ke Belanda." Harris akhirnya berkata. "Papi di sana hanya akan sebentar lalu pulang. Kamu boleh ikut Papi, tapi Papi akan sangat menghargai jika kamu bisa menjaga Mami sampai Papi pulang. Setelah itu kita akan bawa Mami ke psikiater." Setelah berkata demikian, ia berbalik lalu pergi ke ruang kerjanya.

Suami Manessa itu menutup rapat ruang kerjanya lalu terduduk di belakang mejanya. Pikirannya melayang kepada Manessa yang berada di lantai bawah. Ia tau Manessa mencintai Kastara, tapi ia tidak pernah menyadari kalau sebesar itu pengaruh Kastara bagi istrinya.

Hampir tiga puluh tahun mereka bersama dan Harris akhirnya bisa belajar mencintai Manessa dan menerima obsesinya terhadap putra pertama mereka. Ketika Batara lahir, Manessa memang terlihat bahagia, tapi tidak sebahagia ketika ia melihat Kastara datang dari sekolah untuk menjenguknya di rumah sakit. Harris saat itu mengerti bahwa ia harus menjadi penyeimbang dalam hubungan ibu dan anak itu. Karena itulah dia selalu berusaha mendekatkan diri pada Batara agar anak itu tidak merasa dilupakan. 

Kastara memang selalu memiliki aura itu. Dia tenang dan mampu membuat orang mencintainya. Lesung pipinya tak jarang membuat gadis-gadis jatuh hati. Namun, kadang Kastara bisa menjadi terlalu tenang sehingga gadis-gadis itu tidak ada yang berani mendekatinya. Kastara seperti memiliki lapisan tebal yang ia gunakan untuk melindungi dirinya dan hanya Manessa yang ia izinkan masuk. Setelah Kastara beranjak remaja, tubuh tingginya itu hanya bisa di peluk oleh Manessa saja dan hanya istrinya itu yang bisa membuatnya tertawa keras.  Awalnya Harris mengira Kastara menjadi terlalu bergantung pada Manessa karena ia selalu diistimewakan istinya itu. Tetapi sekarang ia mengerti, posisi itu ternyata tidak pernah berubah. Manessalah yang selalu bergantung pada Kastara dan Kastara hanya membuat pengecualian terhadap Manessa, mungkin semata-mata karena Manessa ibunya dan ia menyayangi wanita itu.

Sedangkan Batara sangat berbeda dengan Kastara. Dibesarkan dengan cara yang lebih bebas, Batara tumbuh menjadi anak yang terlalu cuek. Kehidupannya berada di luar rumah.Dia memiliki banyak teman dan pergaulannya sangat luas. Rumah hanyalah tempatnya untuk tidur dan makan saja. Harris tidak masalah dengan itu karena ia mengerti, dirinya tidak bisa berada di rumah setiap saat untuk memiliki waktu yang berkualitas untuk putra bungsunya dikarenakan pekerjaannya. Dua puluh tahun Batara hidup bersama mereka dan  anak itu tidak pernah mengatakan apa-apa tentang kedekatan ibunya dengan Kastara sehingga Harris berpikir anak itu tidak ambil pusing. Lalu hari ini barulah ia mengerti, anak itu menyimpan semua perkara itu di hatinya. Rasa cemburu itu akhirnya keluar hari ini. Ia bisa melihat rasa sakit dan kecewa yang luar biasa dari mata Batara ketika Manessa memanggilnya dengan nama 'Kastara'.

Siapa yang harus ia salahkan sekarang?

Orang tuanya yang menjodohkan mereka?

Manessa yang masih belum bisa mencintainya dan selalu menempatkan pikirannya di tempat lain?

Atau dirinya sendiri yang mengizinkan Kastara dilahirkan dalam keluarganya?

Ia sungguh tidak tau.

**

Ketika Senja TibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang