wingsati

167 17 0
                                    

Manusia berlalu lalang disekitarnya. Antrian untuk secangkir kopi pun terlihat panjang. Pria itu, Batara, duduk di sudut ruangan dengan segelas cappuccino di hadapannya. Matanya menatap tulisan yang ada di tangan dengan tatapan kosong.

"Hai. Sudah lama nunggu?" Batara menengadah dan melihat Cecilia tersenyum. Wanita itu lalu duduk di depan Batara.

"Kamu mau pesan kopi?" tanya Batara. Cecilia menggeleng.

"Kamu bilang ada yang mau kamu katakan pada saya?" Batara terdiam beberapa saat.

"Sejujurnya saya mau kamu membaca sesuatu." Gadis di hadapannya mengerutkan dahi karena bingung. Batara menyodorkan kertas biru yang ia pegang sejak ia sampai di kedai kopi itu.

"Ini...apa?" Cecilia bertanya.

"Baca saja." Pria itu mengangguk pada kertas yang kini berada di tangan gadis sipit itu.

Dengan hati-hati, Cecilia membuka lipatan kertas itu dan membaca dengan lambat. Bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu namun ia mengurungkan niatnya. Batara menatap wanita itu hingga ia selesai membaca surat Kastara untuknya. Cecilia tampak tenggelam dalam kata-kata lalu sebutir air mata turun dari sudut matanya. Ia menatap Batara sambil mendekap surat itu di dada.

"Ini..."

"Ya. Itu surat Kastara. Saya hanya berpikir bahwa kamu perlu tau tentang perasaannya selama ia masih hidup."

"Dimana kamu menemukan ini?" Cecilia menatap mata Batara dalam-dalam sementara pria itu menimbang layakkah Cecilia mengetahui dimana ia menemukan surat itu.

"Di kamarnya."

"Oh... seandainya... seandainya saya tau lebih cepat..." Cecilia menunduk. Ia menggigit bibirnya. Sakit sekali dadanya saat ini. Ia selalu berpikir jika Kastara tidak pernah mencintainya namun ternyata selama hidupnya pria itu pun memiliki perasaan yang sama padanya. Dan ia baru saja mengetahui itu semua saat pria itu telah tak ada lagi di dunia. 

"Tidak ada yang kamu bisa lakukan, Cecilia." Jawab Batara. Pandangan mata pria itu meredup.

"Ada! Pasti ada sesuatu yang bisa saya lakukan!"

"Saya ikut menyesal karena kamu baru mengetahui semua ini sekarang. Tapi jika saya Kastara, saya pun akan berlaku seperti apa yang ia lakukan pada kamu." Cecilia menyandarkan kepalanya pada meja kayu yang berada di hadapannya. Ia tidak bisa menghentikan isak tangisnya.

"Saya... saya benci mamamu!" katanya sambil terisak.

"Percaya atau tidak, saya setuju dengan kamu. Saya juga benci dia. Tapi apa boleh buat, bagaimanapun dia itu yang sudah melahirkan saya dan Kasi." Batara menghela napas. Ya, ia pun benci wanita itu. Wanita itu bukan hanya merengut apa yang pantas ia dapatkan, tapi juga mengambil hak Kastara untuk mencintai orang lain. 

"Ini... boleh untuk saya?" Cecilia menatapnya setengah memohon.

"Saya akan memberikan surat itu pada kamu. Tapi sekarang, saya harus membawa surat itu bersama saya karena saya harus melakukan sesuatu." Ia memaksakan senyum. "Saya janji, saya sendiri yang akan mengantarkan surat itu." Dengan terpaksa Cecilia menghela napas  dan mengahapus air matanya lalu memberikan surat itu pada Batara.

"Saya merindukan dia..." kata Cecilia pelan. Batara mengangguk.

"Saya juga." Ia tersenyum. "Tapi saya merasa, lebih baik seperti ini."

"Maksud kamu?"

"Iya. Lebih baik dia meninggal. Kita berdua tidak tau betapa menderitanya dia sebelum ia meninggal, kan? Dan dengan begini dia tidak perlu menderita lagi. Kalau dia tidak meninggal, kamu tidak akan pernah tau perasaan dia padamu, Cecil. Lalu kamu akan terus menerka-nerka perasaannya sepanjang hidupmu. Tapi, dengan perginya Kasi dari hidup kita, kita tau seperti apa dia sebenarnya. Kita mengenalnya lebih baik. Dan yang terpenting, kamu tidak perlu menduga-duga perasaannya lagi. Semua sudah jelas." Cecilia menghapus airmatanya.

"Oh ya, saya mau mengunjungi Kasi sekarang. Kamu mau ikut?" tanya Batara. Cecilia menggeleng pelan.

"Tapi kalau kamu tidak keberatan, bolehkah kamu mengantar saya pulang? Saya lelah sekali." Batara mengangguk. Ia lalu membantu Cecilia untuk berdiri lalu keduanya berjalan beriringan.

***

Di sana, di hadapan Kastara, Ia sudah membulatkan hatinya. Ia harus menyelesaikan semua kelelahan ini. Harus. Dan wanita itu harus tau bahwa bukan dia saja yang menderita. Wanita itu harus sadar bahwa apa yang telah ia lakukan itulah yang membunuh Kastara. Dan hanya tinggal menunggu waktu yang tepat hingga ia bisa membuka semua kartu jokernya di hadapan sang ibu.

Ketika Senja TibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang