Seperti yang sudah diduga, Manessa selalu bertanya kapan ia bisa pulang. Pertanyaan-pertanyaannya membuat Harris akhirnya menyerah dan segera memesan dua kursi di pesawat untuk esok harinya. Perjalanan mereka berakhir di hari ke tiga. Rasa kesal lelaki itu akhirnya memasuki level puncak. Bukankah sesabar-sabarnya manusia, pasti ada juga titik batasnya?
Hanya tiga hari saja dan liburan ini justru membuat Manessa lebih tidak sabaran dan terlihat kesal hampir setiap saat. Tentu ini berakibat negatif juga bagi Harris. Ia berusaha membahagiakan wanita itu namun wanita itu malah merecokinya untuk pulang. Setiap hari. Setiap jam. Setiap wanita itu melihat wajah Harris. Seakan Bali sudah kehilangan daya tariknya hingga tidak bisa membungkam wanita itu dengan semua potensi alamnya.
"Sudah saya pesan dua tiket pesawat. Besok kita pulang." Harris berkata datar. Manessa mengangguk.
"Kalau kamu tidak keberatan, saya mau pergi menikmati Bali sendirian." Harris berkata setengah kesal. "Terserah kamu mau kemana." Ia lalu berbalik dan menutup kamar hotel. Ia lalu menghubungi Bapak Ketut Andi untuk menjemputnya dan membawanya keliling Bali.
Tentu saja pria paruh baya itu dapat merasakan ada yang tidak beres pada Harris namun ia juga tau bahwa ia harus menutup mulutnya. Sepanjang jalan tidak ada percakapan berarti diantara supir dan penumpang. Harris hanya menatap kosong pemandangan yang tersaji dari jendela. Sesekali ia menghela napas panjang. Pak Andi meliriknya sesekali namun tetap bungkam hingga Harris mengatakan sesuatu.
"Besok saya kembali ke Jakarta ya, Pak." Harris membuka percakapan.
"Wah... cepat sekali."
"Iya. Ada hal yang harus diurus di Jakarta." Harris memaksakan senyumnya.
"Pesawat jam berapa, Pak?"
"Jam sepuluh pagi, Pak. Bisa antar saya dan istri saya ke bandara, Pak?"
"Iya. Pasti bisa, Pak. Tenang saja, ya."
"Terimakasih sekali ya, Pak, karena sudah menyempatkan diri untuk menemani saya dan istri saya selama di sini."
"Iya... Saya juga senang. Kalau ke Bali lagi, kabari saja, ya."
"Pasti, Pak Andi. Oh ya, kita ke bar saja ya, Pak Andi."
"Bar yang biasa?"
"Iya... sudah lama saya tidak kesana."
"Oke, Pak Harris."
Harris selalu menyempatkan diri untuk pergi ke Bar langganannya jika ia ke Bali. Memang minumannya sama saja dengan bar lain namun ia sangat menyukai dekorasi bagian dalam bar. Seperti bar yang ada di film cowboy jaman dulu, pikirnya selalu. Ia hanya berharap tidak ada yang berubah dari bar itu. Ia butuh sesuatu yang konstan; yang akan terus ada jika ia kembali.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Tiba
Chick-LitManessa mencintai Kastara, putra sulungnya, dengan segenap hati. Baginya, Kastara adalah dunianya. Sebegitu besar cintanya pada Kastara sehingga terkadang ia lupa jika Batara juga miliknya.