catur wingsati

482 27 3
                                    

Batara duduk gelisah di ruang tamu rumah besar mereka. Tangannya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya dan kakinya mengetuk-ngetuk lantai berulang kali. Tangan kanannya meremas kertas-kertas yang ada di dalam saku jaket kulit hitam yang selalu ia pakai. Ia menghela napas lega ketika suara mobil memasuki pekarangan rumah. Penantiannya berakhir sudah.

Tak lama, pasangan suami istri itu masuk ke rumah. Batara segera memeluk sang ayah namun ia hanya mengangguk canggung pada wanita yang ia panggil mami. Manessa membuka tangannya berharap bahwa Batara akan memeluknya seperti ia memeluk Harris. Sayang sekali, Batara tidak mengindahkan gestur tubuhnya.

"Kas..." panggil Manessa. Batara membuang mukanya. Ternyata masih salah ingat, pikirnya. Harris melihat raut wajah putra tunggalnya namun tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kamu kapan balik ke Jakarta?" Manessa mencoba lagi.

"Mami mungkin mau duduk dulu?" tawar Batara. Tangan kanan yang ada di sakunya meremas kertas-kertas itu dengan erat. Manessa menuruti saran Batara. Ia duduk di sofa sambil menunggu Batara melakukan hal yang sama. Dengan canggung, Batara duduk di samping Manessa.

"Kamu bilang ada yang mau kamu bicarakan, Nak?" Harris bertanya.

"Aku tidak tau harus mulai dari mana."

"Ada apa, Kasi?" Manessa terlihat khawatir.

"Mi, pertama... aku bukan Kastara." Batara menatap mata Manessa lekat-lekat. "Aku Batara. Putra kedua mami."

"Tara...mami nggak akan mengerti." Potong Harris.

"Pi, ini giliran aku bicara. Aku mau Papi juga duduk." Tegur Batara pada pria itu. Ia lalu kembali menatap Manesssa. Ia lalu menyentuh tangan wanita itu lalu meremasnya pelan.

"Aku tau kenapa mami lebih mencintai Kastara dibandingkan aku atau Papi."

"Tara...hentikan..."

"Pi! Biarin aku ngomong." Tegur Batara lagi. "Ini harus diselesaikan hari ini juga. Aku udah nggak bisa hidup begini lagi, Pi. Ku mohon." Harris membalikan badannya lalu pergi ke ruang kerja. Ia tidak mau berada di situasi ini.

"Mi..." panggil Batara. "Mami dengar aku?" Manessa mengangguk.

"Aku tau kalau mami mencintai orang lain selama ini dan Kastara adalah anak mami dengan pria lain itu." Tidak seperti yang Batara duga, Manessa berdiri lalu menghentak tangan milik lelaki itu dengan kasar. Ia menatap nanar.

"Mi... tolong tenang."

"Dari siapa.... dari siapa kamu tau?" Manessa mundur perlahan. "Itu semua bohong! Bohong!"

"Mami... tolong, tenang." Batara menghampiri wanita itu lalu dengan lembut meletakkan tangannya di bahu wanita itu. Ia membungkukkan tubuhnya dan memandang mata wanita itu lurus-lurus.

"Tidak apa-apa, Mi... tidak apa-apa. Bahkan jika memang mami masih mencintai pria itu dan menyalurkan semua rasa cinta mami pada Kastara hingga saat ini, tidak apa-apa..."

"Apa yang kamu bicarakan! Siapa kamu?!"

"Tapi mami harus tau.." sambung pria berambut teal itu menghiraukan pertanyaan Manessa. "Aku dan Papi mencintai mami seperti mami mencintai Kastara. Mami nggak sendirian. Ada aku dan Papi. Sudah saatnya Mami melepaskan Kastara, Mi."

"Maksud kamu?"

"Cinta mami itu menyakiti Kastara..."

"Ha! Mana mungkin?!" bentak Manessa.

"Tidak sadarkah mami kalau cengkraman mami itu membuat Kastara bahkan takut untuk hidup? Aku dulu sangat iri dengan Kastara karena dia selalu jadi yang nomor satu bagi mami. Dulu, aku ingin menjadi dia. Aku berusaha mencari perhatian mami. Tapi sekarang aku bersyukur aku bukan dia. Kenapa? Karena bahkan untuk mencintai orang lain saja dia tidak mampu, Mi! Karena Mami!"

Ketika Senja TibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang