Jalanan sangat lenggang hari itu. Batara mengendarai mobilnya dengan kencang. Ia butuh adrenalin untuk menanggalkan semua pikiran yang tertanam di otaknya belakangan ini. Ia akan pergi menemui Kasi. Ia harus bertemu Kasi.
Ketika ia akhirnya tiba di tempat pemakaman Kastara berbaring, ia tidak cepat-cepat turun dari mobilnya. Ia menghela napas. Setelah sepuluh menit menimbang-nimbang, akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari mobilnya.
Ia berjalan lambat-lambat untuk mengatur kata yang akan ia sampaikan pada Kastara. Ia tidak mau amarahnya meledak-ledak nanti, bagaimanapun Kastara adalah kakaknya terlepas dari ada tidaknya raga pria itu di sampingnya. Langkah kakinya terhenti ketika ia melihat seorang wanita berjongkok di sisi pembaringan Kastara. Ia tidak mengenal wanita itu.
Wanita itu berpakaian hitam selutut dan rambut panjangnya yang di cat pirang terurai bebas. Angin meniup rambut wanita itu hingga menutupi sebagian wajahnya. Batara mendekat namun berhenti beberapa langkah di belakang wanita itu.
"....hingga akhirnya kamu pergipun, aku tidak tau perasaanmu padaku." wanita itu berkata pelan pada nisan Kasi. Batara mengerenyitkan dahinya. Siapa wanita ini? Tanyanya dalam hati. Ia terus mengawasi wanita itu dari belakang hingga akhirnya wanita itu menoleh karena merasa diamati. Wanita itu memekik pelan karena terkejut akan kehadiran Batara.
"Siapa..." wanita itu bertanya sambil menyentuh dadanya untuk menenangkan degup jantung yang tidak karuan.
"Kamu yang siapa?" tanya Batara.
"Oh... Kamu Batara?" Wanita itu berdiri lalu merapikan pakaiannya sedikit.
"Lalu kamu?" selidik Batara. Wanita itu memiliki mata sipit dengan tubuh pendek dan berisi. Tidak jelek, tapi juga tidak cantik.
"Cecilia." Wanita itu menyodorkan tangannya pada Batara. Pria itu menjabat tangan Cecilia namun hanya sekilas. "Baiklah, saya rasa saya harus pergi sekarang." Cecilia melirik nisan Kastara lalu berkata, "Aku pergi dulu." Ia menganggukkan kepalanya pada Batara lalu berjalan meninggalkan Batara sendiri.
"Kak... lu tu siapa sih sebenernya?" gumam Batara pada nisan Kasi. "Gue adek lu tapi gue gak tau apa-apa soal lu. Gue baru sadar, gue gak kenal temen-temen lu. Siapa cewek yang tadi, gue juga gak tau." Ia lalu berjongkok di pinggir nisan lalu mengelus pelan papan bertulis nama Kastara.
"Kak...Sepeninggalan lu, keadaan mami memburuk. Mami sama sekali gak mau ngapa-ngapain selain melototin foto-foto lu yang ada di bingkai gede kamarnya itu." Ia menundukkan kepalanya. "Dia masih berharap lu pulang... dia gak mau terima kalau lu udah gak ada!"
"Lu tau gak, sih? Gue sakit ngeliat mami begitu! Gue gak ngerti hubungan seperti apa yang kalian punya. Kenapa mami begitu sayang sama lu padahal gue juga anaknya, itu sama sekali gak pernah bisa ngertiin!" Batara menggigit bibirnya agar air matanya tidak jatuh. "Salah gue dimana, sih?!"
"Atau apa yang udah lu lakuin sampai mami segitunya? Jangan salah paham... Gue sedih karena lu pergi. Tapi gue harus rela dan jalanin hidup gue, kan? Tapi kalau lu liat mami sekarang, mami itu kayak pohon mati. Batangnya ada, tapi udah gak ada kehidupan..."
"Pulang ke rumah juga bukan pilihan buat gue... Buat apa gue pulang, coba? Mami gak akan nyapa gue. Papi ada di Belanda untuk nyelesaiin projeknya itu. Cuma, gue gak bisa juga biarin mami sendirian di rumah. Lu minta gue untuk jaga mami, kan? Tapi ini berat buat gue kalau keberadaan gue aja gak diakui sama mami!"
"Dan satu kali, dia liat gue kayak dia gak kenal gue!" Batara mengepalkan tangannya. "Terus, dia panggil gue 'Kastara'! Gue dipanggil 'Kastara'! Iya!! Seakan gak ada Batara, atau mungkin memang gak pernah ada Batara, ya, dihati mami?"
"Sekarang gue harus gimana?!" Batara menyisir rambut dengan tangan karena frustasi. "Sial. Ngomong sama lu bukannya bikin gue tenang tapi malah bikin gue makin emosi." ucap Batara.
"Gue pergi, Kas." Batara berbalik dan berjalan cepat ke mobilnya.
Ia menelungkupkan kepalanya di setir mobil. Perasaannya masih kacau. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia tidak mau ibunya semakin jauh meninggalkan kehidupan nyata. Ia tidak mau ibunya itu terus menatap figura besar yang penuh foto Kastara.
"Ah! Gue harus bawa pergi figura itu dari kamar nyokap!" Ia menegakkan kepala. "Maaf ya, Kas. Tapi gue harus ngelakuin ini untuk kebaikan mami." Ucap Batara lalu menyalakan mobilnya.
Ia menyusun rencana di dalam kepalanya. Malam ini, ketika Manessa tertidur, ia akan menurunkan foto itu lalu menyimpannya di gudang. Mungkin dia akan mengganti tempat figura itu dengan foto dirinya. Ia tidak mau memikirkan apa yang akan terjadi besok pagi. Ia tau Manessa mungkin akan berteriak dan mengutukinya. Tapi ia akan menghadapi itu semua besok pagi saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Tiba
ChickLitManessa mencintai Kastara, putra sulungnya, dengan segenap hati. Baginya, Kastara adalah dunianya. Sebegitu besar cintanya pada Kastara sehingga terkadang ia lupa jika Batara juga miliknya.