tridasa

173 18 0
                                    

Cecilia....

Nama itu terus menari di dalam otak Batara. Ia berusaha memejamkan matanya, namun seakan matanya enggan untuk beristirahat. Dalam kertas pertama itu, Kastara menyebutkan nama Cecilia yang merupakan teman sekolahnya dulu. Jika ia tidak salah berasumsi, maka Cecilia itu adalah gadis yang ada di makam Kastara hari itu.

"Apa harus gue ketemu sama yang namanya Cecilia ini?" tanyanya pada diri sendiri. Sungguh ia ingin mengenal sosok kakaknya itu dan gadis itu bisa jadi kunci pertama yang harus ia dapatkan. Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanyakan mengenai kehidupan Kastara. Namun, bagaimana caranya untuk bisa menghubungi gadis itu? Ia sama sekali tidak tahu nomor ponselnya. Ia terus memutar otaknya.

"Gimana, ya? Kalau misalnya mau cari tau tentang orang yang gak gue kenal, gue harus apa?" Ia membalik badannya lalu memeluk bantalnya. Lalu jawaban itu datang. "Ah! Google!" Ia melompat dari tempat tidurnya. Ia hampir terpeleset ketika melakukan hal itu. Untungnya tangannya cepat berpegangan pada meja belajarnya sehingga ia tidak jadi mendarat di lantai yang dingin dan keras itu. Ia lalu segera mengaktifkan laptopnya. Sebentar saja tampilan Google sudah menyambutnya. Ia lalu mengetik nama Cecilia SMA Garuda Bangsa. Ia sadar bahwa mengetik nama itu di Google merupakan tindakan yang sedikit bodoh karena tentu banyak sekali anak remaja yang bernama Cecilia bersekolah di sana. Ia menggelengkan kepalanya frustasi melihat hasil pencariannya. Ini membuatnya harus menyusuri satu persatu halaman dan foto terkait hingga akhirnya ia mendapatkan halaman facebook orang yang ia cari.

Nama gadis itu Cecilia Gading dan ia adalah seorang perancang busana yang menjual hasil karyanya melalui online dan offline. Cecilia memiliki sebuah butik yang berada di sebuah mall besar Jakarta. Batara mencatat nomor telepon butik itu dan mengingat nama butik wanita itu. Ia tersenyum karena merasa puas pada dirinya sendiri. Kini ia bisa tidur nyenyak dan akan menghubungi butik itu besok pagi.

**

Satu hal yang Batara pelajari hari ini: tidak mudah untuk berbicara langsung dengan seorang pemilik butik. Ia sudah berusaha menghubungi butik itu dari pukul  sepuluh pagi. Sudah dua jam ia berusaha melakukan usaha ini. Namun nampaknya kesabaran pria itu sedang diuji. Wanita yang mengangkat telepon butik itu tampaknya bukan orang yang ramah dan dengan tegas mengatakan bahwa Ia, Batara, tidak bisa sembarangan menginginkan untuk berbicara dengan Cecilia Gading atau menanyakan jadwalnya. Batara harus menahan emosinya agar tidak membentak wanita di ujung telepon itu.

"Baik! Gue ke sana aja kalau begitu!" Serunya kesal setelah menutup sambungan telepon. Ia mengacak-acak rambut berwarna teal-nya dengan marah.

"Awas aja, ya! Kalau gue ketemu itu yang angkat telepon, gue makan dia idup-idup!" maki Batara.

Tanpa berusaha tampil lebih rapi, Batara keluar dari kamarnya. Ia hanya mengenakan kaos hitam yang bolong di bagian kerahnya lalu jaket kulit yang juga berwarna hitam untuk menutupi kaos itu. Celana jeans hitamnya juga memiliki bolong besar di bagian lutut. Dia tidak berusaha tampil penuh gaya, hanya saja celana itu bolong akibat kebodohannya dalam mengendarai motor sehingga ia jatuh dan celana itu robek.

"Kasi, kamu mau kemana?" Manessa yang mendengarnya turun, segera membuka kamarnya. Ia menatap Batara penuh tanya. Batara mengurut pelipisnya dengan jari. Tidak. Ia tidak boleh berteriak pada Manessa.

"Kas?" Manessa menuntut jawaban.

"Pergi." jawab Batara singkat kemudia berlalu.

"Kemana?" tanya Manessa lagi. Batara tidak memberikan jawaban apa-apa. Tentu saja ia merasa bersalah karena memperlakukan ibunya sendiri seperti itu tapi ia tidak sanggup menahan rasa kesal yang bercampur kesedihan karena yang ada di otak ibunya hanya Kastara saja.

Ketika Senja TibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang