Semua ini terlalu rumit. Bagaimana mungkin otaknya bisa mencerna semua yang terjadi dalam satu bulan ini? Kematian Kastara, Ketidak-warasan Manessa, juga kebenaran tentang dirinya membuat pria itu terlalu lelah untuk bernapas. Seandainya ia bisa memilih untuk menghilang dari dunia ini, maka ia pasti akan melakukannya.
Satu minggu sejak terakhir kali ia membaca tulisan tangan Kastara, dan ia masih belum bisa memperbaiki suasana hatinya. Ia seperti layangan putus yang tak tau akan berakhir dimana. Apalah lagi tujuan hidupnya? Tidak ada. Lalu mengapa Tuhan mengambil Kastara? Harusnya Tuhan mengambil dirinya saja yang sudah tak memiliki arti bagi ibunya sendiri. Ia merasakan kekosongan yang tidak berakhir.
Harris yang telah pulang dari Belanda tidak mampu mengatakan apapun pada putra satu-satunya itu. Setelah beberapa hari kepulangannya, tidak ada pembicaraan berarti yang memenuhi rumah mereka. Manessa tetap memanggil Batara dengan nama Kastara. Batara tetap mengurung diri di kamarnya. Dan ia sendiri tidak tau harus melakukan apa. Hingga akhirnya ia tidak tahan lagi.
Siang itu, Batara keluar dari kamarnya untuk mengambil satu teko air putih yang akan ia bawa naik ke kamarnya. Harris yang tengah duduk di ruang keluarga, memanggilnya. Batara menoleh.
"Apa ada yang ingin kamu ceritakan?" tanya Harris. Batara menggeleng.
"Lalu apa ini? Mengapa kamu terus mengunci diri di kamarmu itu?" Paksa Harris. Batara mengalihkan pandangannya. Ia tidak mampu menatap mata ayahnya secara langsung.
"Batara... jawab Papi." Harris berdiri lalu berjalan mendekati Batara. "Ada apa, Nak? Papi sudah kehilangan Kastara. Papi tidak mau kehilangan kamu juga."
"Lebih baik Papi kehilangan aku juga." ucap Batara tanpa melakukan kontak mata. Harris menegang.
"Maksud kamu apa? Jangan bercanda, Batara!" tegurnya.
"Wanita itu..." Batara menunjuk kamar utama. "Wanita itu, Pi... diotaknya hanya ada Kastara! Lalu aku ini apa?!" Harris terdiam.
"Aku ini bukan anak yang ia harapkan! Lalu Papi pikir baik-baik sekarang. Bagaimana perasaanku, Pi?! Bukankah lebih baik kalau aku mati juga?!"
"Tutup mulut, Batara!" Bentak Harris. "Mami menyayangi kamu!"
"Oh ya?! Coba Papi tanya apa wanita itu tau namaku!"
"Jangan panggil mami kamu seperti itu! Dia itu ibumu!"
"Bukan!" bentak Batara. "Aku tidak punya ibu, Pi! Aku ini anak haram dimatanya!" Lalu sebuah tamparan mendarat di pipi pria itu. Ia bisa merasakan panas menjalar dari pipinya.
"Siapa yang menaruh ide itu di otakmu, ha? Jaga bicaramu, anak muda!"
"Memang itu faktanya... Sudah, Pi! Papi urus saja wanita sinting itu! Aku muak berada di sini!" Batara membalikkan badannya sebelum Harris bisa menjawab. Dengan setengah berlari, pria kurus itu menuju kamarnya dan mengemasi barang-barangnya. Ia ingin pergi dari rumah ini. Ia sudah tak ingin bertanggung jawab lagi atas hidup Manessa. Semua sudah selesai.
Batara melayangkan pandang ke segala penjuru kamarnya sekali lagi lalu matanya berhenti pada nakas di samping tempat tidurnya. Haruskah ia membawa tulisan tangan Kastara juga? Masih ada lima pucuk lagi yang ia belum baca. Pria itu akhirnya melangkah dan membuka nakasnya. Ia memasukkan kertas-kertas itu ke dalam ransel. Ia lalu mengambil kunci mobil lalu keluar dari kamar itu. Ia berharap tidak akan pernah kembali.
"Batara... mau kemana kamu?" Harris berusaha mencegah Batara. Putra satu-satunya itu tidak menghiraukan dan terus berjalan melewati Harris. Namun langkahnya terhenti ketika pintu kamar itu terbuka. Wanita itu berdiri di depan pintu dengan wajah panik.
"Kas... kamu mau kemana?" Batara tidak menoleh.
"Kasi..." panggil Manessa. Batara memejamkan matanya untuk meredam rasa marah yang kini memenuhi setiap sel di tubuhnya. Wanita itu berjalan mendekati Batara lalu menyentuh lengannya. "Jangan tinggalkan Mama."
"Cukup!" bentak Batara. "Wanita ini butuh pertolongan psikiater, Pi! Aku bukan perawat yang mampu menjaga wanita yang bahkan tidak tau siapa namaku selama 24 jam! Aku muak!!"
"Batara!! Jaga nada bicaramu." Harris lalu cepat-cepat merangkul Manessa yang tampak terguncang.
"Aku beri Mami satu kesempatan, Mi. Mami jawab pertanyaanku. Kalau Mami bisa menjawab dengan benar, aku akan tinggal di rumah ini tapi kalau Mami gagal, aku pergi. Mungkin aku tidak akan pernah kembali." Batara menatap Manessa. Wanita itu mengangguk lemah.
"Siapa aku, Mi?" Manessa menoleh pada Harris untuk meminta bantuan. Ia bingung akan pertanyaan itu. "Mi. Jawab." Batara berkata dengan tegas.
"Nak..." Harris ingin menegur namun Batara mengangkat tangannya, meminta Harris untuk diam.
"Kamu anak saya." Jawab Manessa hati-hati. Batara tertawa dingin.
"Tapi Mami tidak tau siapa namaku."
"Kastara... kamu Kastara." Wanita itu meremas lengan pria berambut teal itu dengan kencang.
"Liat, Pi? Papi dengar itu?" Batara berkata pada Harris. "Bukan, Manessa. Saya bukan Kastara! Kastara sudah mati!!" teriak Batara yang langsung di tampar keras oleh Harris. Manessa terduduk lemas di lantai. Batara menggigit bibirnya keras-keras agar ia tidak menjerit dan menumpahkan air mata amarah.
"Kamu... teganya kamu menyakiti istri saya seperti ini."
"Saya Batara. Dan saya tidak akan pernah kembali." Dengan itu, Batara membalikkan badannya lalu melangkah keluar rumah. Ia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya.
"Kastara... Kastara...." Manessa mengejarnya lalu menggedor pintu mobil. "Kastara... jangan tinggalkan Mama... Tidak..." Batara tidak mengindahkan teriakan Manessa, lalu ia memundurkan mobilnya dari garasi dan berputar menuju gerbang. Ia meninggalkan Manessa yang meraung-raung di depan rumah. Wanita itu terduduk dengan air mata membasahi wajah. Bagi Batara, ini adalah keputusan yang tepat. Ia meninggalkan semua ketidak normalan keluarganya dan dengan ini, dia menjadi penolong bagi dirinya sendiri.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Tiba
ChickLitManessa mencintai Kastara, putra sulungnya, dengan segenap hati. Baginya, Kastara adalah dunianya. Sebegitu besar cintanya pada Kastara sehingga terkadang ia lupa jika Batara juga miliknya.