Manessa menatap kamarnya yang besar, yang telah ia huni sendirian selama dua bulan. Ia duduk di pinggir tempat tidurnya lalu memandang sebuah bingkai besar yang berisi banyak foto dirinya dengan Kastara. Dalam satu bingkai itu, ia menyimpan semua foto perkembangan Kastara sejak ia masih bayi hingga beberapa tahun lalu.
Sejak kapan Kastara berhenti bertambah tinggi? Pertanyaan itu kini muncul di kepalanya. Ia tidak sadar bahwa Kastara sudah besar sekarang dan pria itu tidak membutuhkannya lagi untuk menghadapi hal-hal dalam hidupnya. Ia merasa tidak nyaman dengan itu.
Ia ingin Kastara tetap menjadi Kastara kecil yang membutuhkannya dalam apa saja; memberinya makan, mengikatkan tali sepatu, membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, apa saja. Dulu Kastara selalu bercerita tentang harinya kepada Manessa sehingga dirinya tidak pernah merasa kesepian ketika Kastara berada di sekitarnya. Kini, ia sepertinya tidak tau apa-apa soal kehidupan putra sulungnya itu.
Hari ini Kastara berumur dua puluh tujuh tahun. Apa yang Manessa tau tentang hidup Kastara sekarang? Ia hanya tau kalau Kastara bekerja untuk Harris dalam mengembangkan usaha keluarga mereka. Namun Kasi tidak pernah bercerita tentang harinya kepada Manessa lagi. Ia seperti kehilangan Kasi. Ia tau pria itu mencintainya, tapi tidak lama lagi anaknya itu pasti akan beralih mencintai wanita lain. Tidak! Siapkah ia untuk menerima kehadiran wanita lain dan berbagi cinta Kastara?
**
"Ma...Mama..." Manessa membuka matanya. Ia tertidur.
"Ya, Kasi..." Ia buru-buru bangkit lalu membuka pintu kamarnya. Di hadapannya Kastara sudah berdiri menjulang dengan turtle neck hitam, blazer kasual berwarna biru gelap, dan celana panjang hitam. Anaknya itu terlihat sangat tampan. Hatinya terasa sakit melihat betapa tampan pria di hadapannya ini dan ia tidak akan melihatnya selama dua bulan.
"Aku pamit ya, Ma. Mama jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, ada Batara di sini. Mama harus belajar mempercayai Batara mulai dari sekarang. Mama akan lebih membutuhkan dia nanti." Kastara membungkukan tubuhnya agar bisa menatap mata Manessa langsung.
"Kas..." Manessa tidak sanggup lagi menyembunyikan air matanya. Kastara memeluk ibunya itu lalu mengelus punggungnya untuk menenangkan. "Mama sayang sama kamu. Sayang sekali, Nak." ucap Manessa.
"Aku tau Mama. Dan aku berterimakasih untuk cinta yang Mama berikan hingga dua puluh tujuh tahun ini. Mama akan ada selalu ada di hatiku dan tidak akan tergantikan." Kastara melepas pelukannya dan mengecup kening Manessa.
"Batara! Kakak mau pergi!" Kastara berkata setengah berteriak supaya Batara bisa mendengar suaranya. Tak lama terdengar pintu terbuka lalu suara langkah berlari terdengar. Batara muncul di hadapannya masih dengan pakaian yang sama saat ia sarapan tadi.
"Kamu jaga Mama, ya. Kakak tidak ada di sini dan kamu harus bisa memastikan Mama baik-baik saja tanpa kakak." pesan Kastara.
"Iya, Kak." Batara memeluk Kasi dan membiarkan Kasi membalas pelukannya juga. "Ati-ati ya, Kak. Bilang sama Papi, gue buruan diajak ke sana juga." cengir Batara setelah melepaskan pelukannya. Kasi tertawa kecil.
Manessa dan Batara lalu mengantar Kastara hingga depan rumah dan membiarkan Kastara pergi bersama taksi yang telah ia pesan. Sesaat setelah mobil itu pergi, Manessa merasa kosong. Sepi.
"Mi... masuk, yuk." Batara berkata yang dijawab Manessa dengan anggukkan. Manessa lalu berjalan terlebih dahulu meninggalkan Batara yang hanya bisa menatap punggungnya. Manessa kembali masuk ke kamarnya.
Tiga puluh menit setelah Kastara pergi, telepon rumah berbunyi nyaring. Manessa terpaksa keluar kamarnya untuk meraih telepon itu. Tidak biasanya telepon rumah itu berbunyi. Biasanya kerabat atau siapa pun itu, akan menghubungi ponsel mereka masing-masing.
"Halo?" Manessa menyapa.
"Selamat Siang. Saya Triono, polisi. Apa anda orang tua dari Saudara Kastara Harimukti?"
"Iya. Ada apa, Pak?" tanya Manessa takut.
"Saya harus menyampaikan berita duka. Sebelumnya saya harap anda bisa duduk terlebih dahulu."
"Ada apa??" tanyanya panik. Batara yang mendengarkan ibunya berbicara dengan nada panik, keluar dari kamarnya lalu memperhatikan dari atas tangga.
"Siapa, Mi?" tanya Batara yang tidak dihiraukan Manessa.
"Anak anda, Saudara Kastara Harimukti, mengalami kecelakan di jalan tol dan meninggal di tempat." Manessa merasakan genggamannya melemah dan membiarkan telepon itu jatuh ke lantai.
"Tidak!!!!" jeritnya "Tidaaakkkkk!!! Tidak mungkin!!!!!" Manessa terduduk lemas di lantai dan menjerit. Batara berlari menghampiri ibunya.
"Mi... kenapa?" tanyanya panik.
"Kastara.... tidak!! tidak!" Batara mengambil telepon itu lalu bertanya. Ia terdiam mendengar penjelasan dari pria di seberang sana.
"Terimakasih, Pak." ia menutup telepon lalu terduduk di samping Manessa.
"Mi..."
"Tidak!! Kastara tidak mungkin meninggal! Tidak!! Anakku..." Manessa mulai menangis keras. Ia meraung dan menjerit dalam duka. Manessa menarik rambutnya dan melolong meneriakkan nama Kastara. Batara menggigit bibirnya agar tidak menangis. Bagaimana mungkin ia kehilangan kakaknya itu selamanya padahal ia baru saja berpelukan dengan pria itu.
"Itu bohong kan, Batara??? Tidak mungkin Kasi meninggal!" Manessa mengguncang tubuh Batara. Anak laki-lakinya tidak tau harus berkata apa sehingga ia hanya bisa memeluk tubuh Manessa.
Manessa seakan mengerti arti pelukan itu. Batara mengiyakan. Benar Kastara telah pergi dan dia tidak akan kembali dalam dua bulan. Kastara, putra sulungnya-kecintaannya, telah pergi meninggalkan ia....selamanya. Ia menjerit kuat-kuat dan membiarkan air matanya habis. Sampai kapanpun ia tidak akan melupakan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Tiba
ChickLitManessa mencintai Kastara, putra sulungnya, dengan segenap hati. Baginya, Kastara adalah dunianya. Sebegitu besar cintanya pada Kastara sehingga terkadang ia lupa jika Batara juga miliknya.