Aku ini adalah seekor burung yang dikungkung dalam rasa cinta yang menyakitkan. Seberapa keraspun aku berusaha untuk lepas, aku tidak akan pernah bisa keluar.
Aku begitu dicintai. Rasa cinta itu lalu membentuk sebuah penjara yang tak terlihat. Seumur hidupku, aku harus berada di dalamnya. Selamanya aku harus menjadi peliharaan yang baik. Wanita itu mencengkram ragaku. Aku ini benar tidak memiliki kemerdekaan di dalam cengkramannya.
Dulu, ketika ia memeluk dengan penuh kepemilikan, semua mata akan menatap. Beberapa orang tersenyum. Mereka mengira kami adalah sepasang induk dan anak yang saling mencintai. Tapi mereka tidak tau. Itu bukan cinta. Itu adalah sebuah kepemilikan.
Aku menyayanginya. Bagaimanapun dia adalah wanita yang mempertaruhkan nyawanya untukku. Tapi aku tidak mau lagi berusaha mengerti apa yang dia inginkan dariku. Ku lakukan apapun untuknya agar ia bahagia. Tapi ia lalu meminta hidupku.
Perasaan cinta yang ia akui itu, mengerikan.
Suatu hari yang cerah, ketika aku masih kecil, ku katakan padanya bahwa seorang temanku merusak mainan yang ia belikan untukku. Sungguh, aku tidak apa-apa. Sejujurnyapun, aku tidak terlalu menyukai mainan itu. Namun ia mengira aku begitu sedih sehingga ia merasa perlu berbuat sesuatu. Hal berikut yang ia lakukan adalah mendatangi anak itu lalu dengan kata-kata yang menusuk, melarang anak itu mendekatiku.
Aku tidak memiliki teman selama berada di sekolah dasar karena itu. Aku tidak bisa membenci wanita itu. Ia katakan bahwa ia melakukan itu karena mencintaiku.
Ia membuatku tidak memiliki teman sehingga hanya ia yang aku miliki dan hanya dia yang bisa menjadi teman bicaraku. Dia membuatku tak berdaya jika aku berada di luar jangkauannya.
Tiba saatnya aku memasuki usia remaja. Ketika semua temanku memiliki pacar atau orang yang mereka suka, aku bahkan tidak tau rasanya jatuh cinta. Ku pikir aku yang aneh. Namun ia berkata bahwa aku tidak memerlukan wanita lain karena aku memilikinya.
Lalu, Cecilia masuk hidupku. Seorang gadis yang ku tau sedang menaruh hati padaku. Entah bagaimana, wanita itu tau tentang itu. Ia lalu mendiamkanku selama dua minggu. Tidak sedikitpun kata keluar dari mulutnya hingga suatu hari ku putuskan untuk bertanya.
"Kenapa mama mendiamkan aku?" tanyaku waktu itu. Ia berbalik menatapku dengan raut wajah yang tersakiti. Aku ingat jelas kata-katanya.
"Jika kamu lebih memilih gadis itu daripada mama, lebih baik mama mati saja." Aku hanya bisa menggeleng dengan penuh ketakutan. Ku katakan aku sangat mencintainya dibandingkan gadis itu. Namun, itu ku katakan bukan karena aku benar lebih mencintainya. Ku katakan demikian karena aku tau memang itu yang ia ingin dengar dariku.
**
Batara melipat kertas itu lambat-lambat. Ia merasa kosong. Tadinya ia berharap kertas ini berisi tulisan yang lain. Apa saja. Surat cinta dari wanita atau bahkan catatan hutang. Ia tidak mengharapkan tulisan dalam kertas biru itu adalah jeritan hati Kastara.
Sebegitu menderitanya Kastara kah? Sungguh ia tidak tau apa-apa tentang kakaknya itu. Jika saja.... jika saja ia mengetahui ini, mungkin ia akan lebih mendekatkan diri pada Kasi. Ia akan berusaha menjadi seorang sahabat untuknya dan melepaskan cengkraman ibu mereka dari Kasi.
Batara duduk di pinggir tempat tidurnya. Kepalanya pusing. Dua puluh tujuh tahun Kasi memendam ini sendiri. Ia begitu rapi menyimpan perasaannya sehingga tak satupun dari keluarganya yang tau bagaimana menderita dirinya.
Ia kini merasa bersalah karena sempat membenci Kasi. Seandainya ia bisa memutar waktu, ia pasti akan berusaha menyediakan waktunya untuk Kasi. Namun semua sudah terlambat...
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Tiba
ChickLitManessa mencintai Kastara, putra sulungnya, dengan segenap hati. Baginya, Kastara adalah dunianya. Sebegitu besar cintanya pada Kastara sehingga terkadang ia lupa jika Batara juga miliknya.