Saat ini Shani sedang berada disebuah Restoran, rencananya ia akan makan malam dengan Viny. Tentu saja ia merasa sangat gugup karena ini kencan pertamanya dengan Viny, terlebih lagi ini baru dua hari ia menjadi kekasih Viny. Sesekali ia meraih cermin kecil di tasnya untuk sekedar merapikan rambut atau make up nya agar tetap terlihat cantik.
"Udah cantik," gumamnya pada dirinya sendiri.
Sementara dari kejauhan Viny tampak terdiam memandangi Shani di pintu keluar. Sesekali kakinya terangkat untuk berjalan tetapi selalu diurungkan ketika rasa gugup itu bertamu kedalam perasaannya. Ia menggigit bibir bawahnya lalu menunduk, memainkan ujung jaketnya. Dalam hati ia terus meyakini dirinya sendiri untuk berjalan menghampiri Shani. Namun ternyata rasa gugup itu mengalahkan rasa percaya dirinya. Entah kenapa sulit sekali untuk melangkah.
Shani menyapu pandangannya kesekeliling Restoran lalu berhenti saat kedua bola matanya menangkap Viny yang berdiri di pintu masuk dengan mengenakan Jaket dan celana jeans hitamnya. Ia langsung menunduk kemudian memainkan ujung kukunya, bahkan hanya melihat dari jauh, jantungnya sudah berpacu cepat. Bagaimana ini? Ia sama sekali tidak bisa menampik rasa gugup yang bertalu-talu didalam hatinya.
"Shani," seru Viny setelah mendapatkan sedikit nyalinya untuk mendekati Shani. Sambil berjalan, ia meletakan tangan didada kirinya untuk sekedar meredakan detak jantungnya.
Shani menarik napas dalam lalu diembuskan perlahan sebelum akhirnya mengangkat kepala. Ritme nafasnya turun naik saat pandangannya bertemu dengan Viny yang tengah berdiri disampingnya. Ia meneguk ludahnya seraya tersenyum manis.
"Duduk kak, anggep rumah sendiri," ucap Shani mengayunkan tangannya menujuk pada kursi dihadapannya. Detik berikutnya ia merutuk dalam hati ketika sadar dengan ucapannya. Namun sebisa mungkin ia tetap mengulas senyum manis agar tidak terlihat memalukan.
"Kalo rumah sendiri berarti aku bisa mandi ya disini," balas Viny mencoba memecah suasana tetapi yang terjadi ia malah semakin gugup melihat tatapan bingung dari Shani. Sepertinya leluconnya itu berada dilevel paling bawah.
Viny mengusap lehernya sendiri kemudian duduk. Sepasang tangannya kembali memainkan ujung jaketnya. Ia tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Ka-kamu cantik banget."
Shani mengangguk malu, "Iya kak, dari dulu itu."
"Iya, Shan."
"Kamu juga manis banget kak malem ini."
"Iya, udah dari dulu manis kok."
Satu jam berlalu, kehangatan mulai terasa ditengah kebersamaan Viny dan Shani. Perlahan keduanya mulai menghilangkan rasa gugup sedikit demi sedikit meski pada akhirnya kegugupan itu kembali hadir disela-sela obrolan.
"Coba apa bedanya es sama kamu?" tanya Viny menopangkan dagu ditangan kanannya
"Kalo es mendinginkan, kalo aku menghangatkan."
"Yeay bener." Viny bertepuk tangan lalu mengangkat satu tangannya, "tos dulu."
Shani tersenyum senang kemudian menabrakan telepak tangannya dengan Viny (tos)
"Apa persamaan kamu sama gula?" tanya Shani.
"Sama-sama manis dong."
"Yeay bener! Tos lagi!!"
"Tos!!"
"Kita pinter ya, kak."
"Iya, Shan."
Viny masih tidak melenyapkan senyumannya. Ternyata ini rasanya jatuh cinta. Ia bisa merasa bahagia hanya karena sebuah senyuman yang tersungging manis disudut bibir Shani. Viny berdehem kecil lalu mengulurkan tangannya menggenggam erat tangan Shani diatas meja.
"Shan, makasih ya udah mau jadi pacar aku. Meskipun baru dua hari, tapi aku beruntung punya kamu." Viny mengangkat tangan Shani lalu mengecup lembut punggung tangannya.
Shani menarik tangan Viny kemudian melakukan hal yang sama yaitu mengecup lembut punggung tangan Viny. "Aku juga beruntung kak."
"Kok kamu ngikutin aku?" tanya Viny memiringkan sedikit kepalanya bingung.
Shani menggenggam erat tangan Viny menggunakan kedua yang tangannya."Karna aku ngerasa bahagia waktu kamu cium tangan aku, aku juga pengen kamu ngerasain hal yang sama."