Viny mengusap lembut kepala Tata yang dalam pangkuannya, "Kamu kangen Mamah gak?" tanya Viny tersenyum kecut, "udah lama Mamah gak jemput kamu, biasanya rewel kalo gak ketemu sama kamu."
Seperti ini keseharian Viny tanpa keberadaan Shani disampingnya, biasanya Shani selalu ada menemaninya, menghiburnya dan membuatnya pusing dengan tingkah konyolnya. Ia masih sangat ingat bagaimana ekspresi saat Shani meminta sebuah ciuman bahkan kissmark, Shani tampak sangat menggemaskan dengan wajahnya yang polos. Viny juga ingat saat Shani mengaku dirinya hamil, saat itu ia ikut menangis terisak karena merasa gagal menjaga Shani. Meskipun pada akhirnya Shani tidak benar-benar hamil.
Viny mengalihkan pandangannya keluar jendela, pada hujan yang masih setia mengguyur bumi padahal hari sudah malam. Benar apa yang diucapkan semua orang tentang hujan yang perlahan akan memutar kenangan dalam pikiran. Sama seperti Viny yang tidak bisa memutar semua kenangannya tentang Shani dalam pikiran, Shani seolah sudah melekat dalam dirinya hingga melupakannya sedetik saja ia tidak mampu.
Viny tersenyum getir ketika menyadari semua hal tentang Shani hanya bisa ia kenang. Langkahnya dengan Shani sudah terlampau jauh meski sebenarnya Shani tidak berada jauh darinya. Seperti saat latihan atau perfom dibeberapa tempat, ia selalu dipertemukan dengan Shani meski pada akhirnya kedua mata Shani masih enggan menatapnya, suara lembut Shani masih belum memanggilnya, dan genggaman tangan Shani masih tidak bisa ia rasakan. Shani sepertinya sudah benar-benar melupakan semua tentangnya.
Hembusan napas kasar lolos dari bibir Viny, Viny memejamkan matanya lalu bersandar di sofa membiarkan rasa sakit itu berdenyut dalam dadanya. Betapapun ia berusaha untuk melenyapkan rasa sakit itu, ia tidak akan mampu karena semua kenangan tentang Shani selalu mengikutinya; kenangan yang hanya akan bertepi pada rasa sakit ketika sadar kebahagiaannya bersama Shani sudah berlalu.
Sampai saat ini, Viny masih berharap kebahagiaannya bersama Shani bisa ia genggam kembali. Meskipun ia tidak yakin, apalagi setelah melihat sikap Shani yang semakin dingin, kebahagiaan itu seolah tidak akan pernah lagi berpijak dalam hidupnya.
Viny membuka mata bersamaan dengan air matanya yang kembali meleleh untuk kesekian kalinya. Cinta hanya menawarkan kebahagiaan di awal saja. Di akhir, ia justru disuguhkan oleh rasa sakit yang jejaknya terus membekas dalam hati.
Tentu ini bukan pertama kali Viny merasakan perpisahan dengan cintanya, ia sudah merasakannya berkali-kali. Hanya saja ini jauh lebih menyakitkan. Ia terlalu membiasakan hari-harinya dilewati dengan keberadaan Shani disampingnya sampai ia berpisah, kekosongan itu tentu sangat terasa. Ah bukan hanya terasa, tapi juga sangat menyakitkan.
Tiba-tiba sebuah ketukan pintu terdengar dari luar. Viny menggerutu dalam hati, siapa yang mengganggunya malam-malam seperti ini? Apalagi hujan di luar semakin deras. Viny mendengus kesal kemudian berdiri dan berjalan dengan langkah malas kearah pintu.
Untuk beberapa detik Viny membeku saat melihat siapa orang yang sudah menganggu ketenangannya. Seorang gadis cantik dengan baju yang basah dan mata memerah tengah menatapnya dalam. Viny mengerjap, "Shani?"
Orang yang ternyata Shani itu mengangguk pelan, wajahnya bukan hanya dibasahi oleh air hujan tapi juga air mata.
Viny terdiam lalu menunduk tidak ingin terjerat oleh tatapan Shani yang hanya akan membuat rasa sakitnya semakin bertambah ketika sadar, tatapan itu bukan miliknya lagi.
"Kenapa selalu nunduk setiap kali ketemu sama aku?" tanya Shani dengan suara bergetar, "apa aku udah gak pantes dapet tatapan lembut dari kamu?"
Viny menggigit bibir dalamnya tidak tau apa yang harus ia jawab, ia masih tidak bisa mengeluarkan suaranya sendiri.
"Peluk aku, bilang kalo kamu maafin aku." Shani menatap Viny yang memilih untuk bungkam. Ia menengadahkan wajahnya keatas berusaha menahan genangan air dipelupuk matanya agar tidak jatuh. "Bi-bilang kalo kamu masih cinta sama aku, kak."
Tidak ada perubahan, Viny masih menunduk. Sementara itu genangan air yang sudah sengaja Shani tahan akhirnya lolos menyelusuri pipinya. Viny bisa mendengar suara isak tangis Shani yang sedikit tersamarkan oleh riuhnya suara air yang menghentak dada bumi.
Detik berikutnya, Viny mengangkat kepalanya dan langsung menarik Shani kedalam pelukannya, "Aku cinta kamu, jangan biarin aku pergi lagi."
Shani mengangguk kuat kemudian membalas pelukan Viny dengan sangat erat. Tubuh yang sebelumnya menggigil kedinginan kini mulai menghangat. Shani bahkan sampai mencengkram baju Viny karena terlalu bahagia bisa merasakan pelukan yang selama ini ia rindukan. "Aku gak bakal biarin kamu pergi lagi. Kalo kamu pergi, bawa aku, jangan tinggalin aku sendiri lagi. Itu sakit, kakak."
Viny memejamkan matanya lalu mencium lembut pipi basah Shani dan mengeratkan pelukan tanpa memperdulikan bajunya yang ikut basah.
Jika kehidupan saja tidak selalu bisa memberikan kebahagiaan, kenapa kita berharap cinta akan selalu memberikan kebahagiaan? Mungkin itu kalimat yang bisa digunakan untuk menggambarkan kisah cinta ini. Ya, cinta bukan hanya bicara tentang kebahagiaan dan rasa sakit tapi tentang beberapa kisah yang bisa dilukis bersama; kisah yang akan menguatkan rasa cinta itu sendiri. Rasa sakit selalu memberi kekuatan tersendiri, bukan? Seperti itu juga kebahagiaan yang akan semakin erat mengikat cinta.
Tidak mustahil bagi cinta, diawali dengan kebahagiaan dan akan diakhiri dengan kebahagiaan juga.
Selesai
Buat yang gak tau, ini ff nazar. Dulu aku bilang, "Kalo Viny beneran potong rambut, aku bikin ff 25 part." Saksi hidupnya semua orang yang ada di grup VinShan. Saksi bisunya stiker Tatan
Makasih yang udah baca, jujur aja ini ff tergeje. Kadang kalo baca ulang aku suka langsung mikir, "Apasih ini..."