Viny tengah sibuk membereskan semua barangnya bersiap untuk pulang. Gerakannya terhenti saat melihat Gracia sedang duduk selonjoran di lantai. Karena khawatir, ia berjalan mendekati Gracia kemudian berjongkok disampingnya.
"Kamu kenapa, Gre?" tanya Viny
Gracia mendongak lalu tersenyum, "Gapapa kok. Cuma pegel aja abis latihan."
Viny mengangguk, "Oh cuma pegel toh. Tar pergi ke tukang pijat aja. Kamu pulang sama siapa ? Aku anter ata---"
"Aku di jemput kak," sela Gracia dengan cepat
"Oh ya udah. Hati-hati ya." Viny terkekeh pelan kemudian mengacak rambut Gracia. Ia bangkit lalu berbalik, mendapati Shani yang tengah menatapnya dengan kesal.
"Kamu kenapa?" Viny berjalan mendekati Shani seraya menyambar tasnya
"Tau ah." Shani mendelik kemudian berjalan terlebih dahulu meninggalkan Viny. Viny hanya mengangkat bahunya tidak mengerti dengan sikap Shani yang tiba-tiba saja berubah.
***
Sepanjang perjalanan, Shani hanya diam meski Viny sudah bertanya beberapa kali. Ini pertama kalinya ia merasakan cemburu dan ternyata itu sangat menyebalkan. Hatinya seolah terbakar, ia benar-benar merasa sangat kesal pada Viny.
"Kenapa sih? Aku ada salah lagi?" tanya Viny tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya.
"Tau ah. Kamu emang gak peka."
"Loh bukan aku gak peka, kadang kamu sering marah karna hal yang gak berarti. Sampe aku sendiri ngerasa susah buat ngertiin kamu."
"Kok gitu sih?" Shani mengalihkan pandangannya pada Viny, "nyebelin ih," lanjutnya memukul keras bahu Viny
"Jangan kasar sayang, sakit tau. Kamu mau liat aku kesakitan?"
"Ngga."
"Ya udah jangan pukul-pukul."
"Yaudah iya." Shani mengerang kesal, "aku lagi kesel sama kamu jadi aku gak mau ngomong lagi."
"Loh kesel kenapa?"
Tidak ada jawaban
"Kamu kesel kenapa?"
Tidak ada jawaban
"Sayang, kamu kenapa?"
Masih tidak ada jawaban
"Kamu tau ada diskon besar-besaran di Mall deket rumah aku, barangnya juga bagus. Kamu mau beli gak?"
"Oh ya? Aku mau beli, kapan?"
Shani memiringkan posisi tubuhnya menghadap Viny. Sementara Viny tengah tersenyum jail menaik turunkan kedua alisnya. Shani langsung tersadar bahwa saat ini ia sedang marah. Dengan cepat ia mengubah posisinya jadi menghadap kedepan.
"Kamu nyebelin banget sih, kak!"
"Aku kenapa?"
"Kamu gak tau apa kalo aku cemburu liat kamu sama Gre?"
"Loh aku kan gak cium Gre."
"Siapa yang bilang kamu cium dia? Tuhkan kamu emang ada niat cium dia."
"Gak gitu, sayang." Viny meraih tangan Shani tetapi langsung ditepis dengan kasar.
Shani menatap kesal pada Viny "Aku minta kamu turun sekarang."
"Tapi ini kan mobil aku. Aku pulang gimana?" Viny mengerutkan dahinya tidak paham
"Pokoknya aku minta kamu turun sekarang."
"Shan,"
"Kamu turun."
Viny mengembuskan napas lelah kemudian menepikan mobilnya ke pinggir jalan. "Aku beneran turun?"
"Iya."
"Ya udah. Jangan kebut-kebut ya, kamu kan baru belajar pake mobil. Hati-hati." Viny mengusap lembut rambut Shani lalu turun dari mobil.
Viny menengadahkan kepalanya keatas, sore ini terasa sangat panas. Ia mengalihkan pandangannya pada mobilnya sendiri yang perlahan memudar. Viny menghela napas kasar lalu duduk di trotoar.
"Nasib-nasib." Viny menggeleng-gelengkan kepala meratapi nasibnya sendiri.
Tidak lebih dari sepuluh menit, sebuah mobil berhenti tepat didepan Viny. Viny mendongakan kepalanya, menatap Shani yang baru saja turun dari mobil.
"Kakak," rengek Shani menghentak-hentakan kedua kakinya, "maafin aku."
Viny tersenyum kemudian berjalan menghampiri Shani. "Kok balik lagi?"
"Kalo kamu di culik gimana? Sekarang lagi musim penculikan. Aku takut."
"Masa sih?"
"Iya, apalagi muka kamu melas banget tadi, kaya orang yang gak pernah di imunisasi seumur idup. Maafin" Shani merentangkan kedua tangannya, "peluk aku."
"Iya, sayang." Viny tersenyum lebar kemudian menarik Shani kedalam pelukannya.
"Jangan ngambek lagi ya?"
"Iya gak ngambek lagi, kan aku sayang kamu." Shani mempererat pelukannya, "jangan turun dari mobil lagi ya?"
"Iya."