Viny terdiam sambil sesekali tersenyum memandangi wajah samping Shani yang sedang sibuk memainkan ponselnya. Padahal sudah hampir sepuluh menit tapi Shani belum juga selesai memainkan ponselnya.
"Liat apa sih?" tanya Viny
Shani menghela napas kasar lalu menyimpan ponselnya diatas meja, "Komentar."
"Komentar Keluarga Gunarso di Dangdut Academy 4 ya? Fildan juara."
"Bukan, kalo itu aku tau kan kita nonton DA bareng di rumah kamu."
"Oh iya ya." Viny mengangguk-anggukan kepalanya, "terus komentar apa?"
"Kamu tau project series itu? Cinta luar biasa yang PU nya Ci Yupi? Di episode 1 kan aku ikut tuh terus banyak yang komen gitu katanya akting aku masih kaku."
Viny tersenyum tipis melihat ekspresi wajah Shani, "Terus kamu kecewa?"
"Iya, aku kecewa sama diri aku sendiri. Harusnya aku bisa ngelakuin yang lebih dari itu."
"Sayang dengerin aku," Viny menggenggam kedua tangan Shani kemudian menatapnya lekat-lekat, "gak semua orang bisa langsung berhasil saat dia belajar sesuatu."
"Tapi---"
"Waktu pertama kali kita liat huruf dan pertama kali kita mengenal huruf, kita gak bisa langsung bacakan?" tanya Viny masih dengan senyum yang mengembang dipipinya, "Bahkan seorang dokter, polisi, tentara, guru juga sebelum jadi itu mereka harus ngelewatin proses panjang yang kita sebut pembelajaran."
"Iya, kakak."
"Sama kaya kamu yang baru belajar akting, hal lumrah kalo kamu masih kaku soalnya kamu baru belajar. Mereka komentar gitu karna mereka sayang sama kamu, mereka mau kamu bisa dan belajar buat jadi lebih baik lagi. Sekarang kalo mereka ngomen akting kamu bagus, keren tapi gak sesuai sama kenyataannya, kapan kamu bisa berubah?" Viny tertawa kecil lalu mencubit gemas hidung Shani, "kali aja bidadari aku bisa jadi pemain film yang terkenal kaya Acha Sepriasa kan?"
"Emang iya kak?"
"Iyalah. Kamu tau ada dua macam kritik; kritik yang sifatnya membangun sama kritik yang sifatnya menjatuhkan. Itu semua tergantung gimana kita nanggepin kritik itu, kalo kita nanggepinnya sebagai hal yang cuma untuk menjatuhkan ya kita beneran bakal jatuh tapi kalo kita nganggep itu sebagai hal yang membangun, otomatis kita juga bisa termotivasi sama kritikan itu sendiri. Kemampuan kita beneran bisa kebangun karna kritikan itu, tentunya dibarengi dengan usaha."
"Gitu ya kak? Terus aku beneran bisa jadi pemain film? Cocok gak?"
"Kalo kamu mau berusaha kenapa ngga?" Viny tersenyum lebar menaik-turunkan kedua alisnya, "kan lumayan aku bisa numpang tenar tar."
"Dih apaan deh." Shani tertawa kecil lalu menarik tangannya dari genggaman Viny untuk mengambil minuman. Sambil meminum, pikirannya tiba-tiba saja jatuh pada satu hal.
"Mikirin apalagi sih yaampun."
"Soal cerita series itu, kamu bakal putusin aku gak kalo sikap dan sifat aku gak sesuai sama apa yang kamu mau?" tanya Shani menyimpan gelas itu kemudian menatap Viny serius
Viny mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan Shani yang menurutnya konyol, "Kamu udah lebih dari apa yang aku mau."
"Jangan boong, kak." Shani mendesah pelan lalu menggenggam satu tangan Viny, "aku tau banyak sikap aku yang bikin kamu gak nyaman, apalagi aku sering bikin kamu pusing."
"Aku udah bahas inikan? Emang kamu sering bikin aku pusing tapi itu gak bisa dijadiin alesan yang jelas buat aku ninggalin kamu." Viny menyunggingkan seutas senyumnya pada Shani, "aku cinta kamu. Sesederhana itu alasan buat aku terus ada disamping kamu."
"Kakak," rengek Shani mengerucutkan bibir bawahnya lalu mendekatkan tubuhnya pada Viny dan langsung melingkarkan sepasang tangannya dipinggang Viny. "Makasih udah sabar ngadepin aku. Aku cinta kamu."
"Iya, Shan." Viny mengecup singkat puncak kepala Shani yang berada tepat dibawah dagunya lalu mengeratkan pelukannya.
"Jam berapa sekarang?" tanya Shani masih betah menyandarkan pipinya didada Viny
"Jam tujuh malem. Kenapa?"
"Sinetron Anak Langit main."
"Ah iya." Viny menjulurkan tangannya untuk mengambil remote TV lalu memindahkan channelnya
"Aku ingin terbang tinggi seperti elang."
"Tuh kebetulan baru selesei iklan."
Shani melepaskan pelukannya kemudian fokus menonton sinetron favoritenya itu.