Pada akhirnya, kita harus berhenti disini, tepat di mana jalan kita sudah tak lagi sama. Ada sekat yang begitu berkuasa memisahkan kita, aku menyebutnya dinding keegoisan yang sudah dengan teganya berdiri kokoh ditengah-tengah kita.
Kamu adalah langitku. Langit yang selalu menemaniku kapanpun dan dimanapun aku berada. Aku adalah mentari yang jatuh cinta pada langit itu, aku terbuai dengan pesona langit yang selalu menampakan keindahannya hingga aku lupa, mentari tidak selamanya mengisi kekosongan langit. Cepat atau lambat, cahaya yang aku miliki akan berubah menjadi bias senja yang perlahan akan pulang ke peraduan.
Seperti itu pula aku dan kamu, cepat atau lambat akan terpisah dengan alasan yang mungkin tidak pernah kita bayangkan. Ya, sebelumnya aku terlalu dangkal untuk mengerti bahwa pertemuan kita akan bertepi pada sebuah perpisahan. Lucu memang jika aku mengingat bagaimana pertama kali kita menjalin hubungan ini, kamu yang menyatakannya langsung disaat aku masih terpasung oleh sebuah ketakutan. Kamu datang dengan senyuman yang merentangkan kehangatan. Mulai dari sana, hari-hariku berubah dengan warna-warni yang kamu berikan. Bagaimana mungkin aku bisa menganggap perpisahan itu akan benar-benar ada jika selama ini aku terlalu tenggelam dalam kebahagiaan yang kamu berikan?
Dan hari dimana aku memutuskan untuk pergi, kamu sama sekali tidak mengejarku atau bahkan mengirimkan pesan singkat yang mungkin akan melahirkan harapan kecil untukku; harapan untuk kembali bersama. Kesedihan dan rasa sakit yang aku rasakan tidak pernah aku lihat dari kedua bola matamu itu. Hanya ada dua mata yang menatapku dengan asing. Kenapa?
Diam-diam aku selalu memperhatikanmu, tapi aku tidak punya keberanian menatap mata itu secara langsung. Aku takut jika pada akhirnya mata itu tak melihatku ada, aku takut jika ada bayang orang lain yang aku lihat. Bahkan untuk menyapa saja aku takut, aku takut suaramu tidak memanggilku lagi. Aku terlalu takut sakit untuk kesekian kalinya.
Mungkin memang sudah saatnya kita saling melepaskan. Meski kadang aku berpikir, tak harus ada perpisahan. Semua kisah yang sudah kita lalui sepertinya terlalu berharga jika hanya disimpan di dalam kotak kenangan, bukan? Kita bisa mengulang kisah itu berkali-kali.
Ya, semuanya sudah berlalu. Aku harus siap melewati malam dengan dekapan sunyi, dengan rindu yang selalu menyeruak di hati, dan rasa sakit yang masih tidak bisa pergi.
Viny melemparkan pulpen dalam genggamannya kesembarang arah. Tangannya mencengkeram kertas yang baru saja terpenuhi oleh isi hatinya itu. Tak lebih dari lima detik, kertas itu berubah bentuk menjadi bulatan kecil yang langsung ia lemparkan.
Viny mengepalkan kedua tangannya berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak ke dalam hatinya. Ia menggigit bibir bawahnya sendiri lalu bersandar lemas di ranjang dengan mata terpejam, kenapa bisa sesakit ini?
***
"Ci, udah dong," sahut Gracia menatap getir pada Shani yang masih belum berhenti menangis.
"Ini udah dua minggu tapi dia masih belum hubungin aku." Shani menghapus kasar air matanya yang seolah tidak berhenti mengalir lalu bersandar lemas di sofa.
"Kamu yang minta dia pergi sekarang kamu yang berharap dia kembali," Gracia menggeleng pelan tak habis pikir dengan jalan pikiran Shani, "kenapa harus seegois itu?"
"Aku gak serius waktu aku nyuruh dia pergi, aku gak tau kalo dia beneran bakal pergi. Kakak sebelumnya gak gitu."
"Ya terus? Kenapa kamu gak berusaha minta maaf? Kamu malah bersikap seolah kamu baik-baik aja, kamu dingin." Gracia masih menatap Shani yang kini sudah memejamkan matanya. Dahi Shani berkerut tampak sedang berusaha menahan sesuatu yang akan keluar, meski setelahnya Gracia bisa melihat setitik air mata menerobos keluar dari kelopak mata Shani yang tertutup. Hembusan napas kasar lolos dari mulut Gracia, ia langsung membuang pandangannya kedepan tidak ingin melihat wajah itu lebih lama lagi.
"Aku gak tau kenapa aku gini, yang jelas aku sakit, Gre."