Shani duduk memandangi Viny yang tengah tertidur dengan tenang. Saat ini ia sedang berada di Rumah Sakit. Tadi pagi ia mendapatkan telfon dari Ibu Viny yang mengatakan bahwa Viny di rawat karena sakit. Tanpa mandi, ia segera berangkat ke Rumah sakit.
"Kakak, jangan sakit." Shani mengerucutkan bibir bawahnya lalu menggapai tangan Viny dan diletakan dipipi kanannya, "aku kangen kamu."
"Shan, Viny nya lagi tidur jangan diganggu," ucap Lidya yang sedari tadi memperhatikan Shani dari sofa
"Dia kan pacar aku."
"Ya terus cuma karna kamu pacar dia, kamu bisa ganggu dia seenaknya?"
"Aku gak ngerasa enak." Shani menggeleng lalu meletakan tangan Viny dengan perlahan, "lagian aku gak ganggu dia, kalo aku muterin lagu Avenged Sevenfold yang Nightmare pake spiker dengan volume full disini baru ngeganggu."
"Tapi kan kamu ngajak ngobrol dia. Itu sama aja ngeganggu."
"Kalo ngajak ngobrol disebut mengganggu berarti jutaan orang didunia ini saling mengganggu karna mereka juga ngobrol."
"Hmm iya deh."
Shani membalikan tubuhnya menatap Lidya, "Kok kak Lidya disini? Aku sama kak Viny lagi pacaran ya, jangan ganggu."
"Viny nya kan tidur, Shani," balas Lidya setengah geram, "jadi kalian gak lagi pacaran."
"Kok ngomongnya gitu sih?" Shani merengut kesal, "kak Lidya nyakitin aku mentang-mentang kakak lagi tidur."
"Loh aku gak nyakitin kamu." Lidya meneguk ludahnya dengan susah payah melihat wajah Shani yang tampak sedih.
"Terus kenapa bilang kita gak pacaran?"
"Lagi gak pacaran bukan gak pacaran. Kalo lagi pacaran itu kalian ngobrol, mesra-mesraan tapi ini kan Viny nya tidur."
"Kak Lidya temenan kan sama kakak aku?"
"Iya aku temen Viny."
"Kalo kalian lagi sama-sama itu artinya kalian lagi temenan, terus apa bedanya sama aku? Aku juga lagi pacaran."
"Oke, Shani aku nyerah." Lidya mengacak rambutnya frustasi kemudian menutup wajahnya menggunakan bantal sofa, "pacaran gih, aku gak ganggu."
"Ngga mau, aku mau makan soalnya laper." Shani bangkit dari kursinya, "jagain kakak, jangan diajak ngobrol soalnya suara kak Lidya gede tar kakak bangun."
"Iya Shan iya."
"Cakep," Shani mengacungkan ibu jarinya lalu berjalan keluar kamar untuk mencari makan. "Untung aja aku cantik jadi gak malu kalo belum mandi jalan-jalan gini," gumamnya pelan
Setelah mengisi perut, Shani kembali berjalan menuju kamar rawat Viny. Sesekali ia memandang kesembarang arah, melihat beberapa orang yang lalu lalang di koridor rumah sakit.
"Kasian ya perempuan yang dirawat di kamar mawar nomer 15."
Langkah Shani terhenti ketika mendengar ucapan suster pada suster lainnya. Ia berjalan mendekati kedua suster itu.
"Maaf Sus, emang cewek di kamar mawar nomer 15 kenapa?"
"Dia kan sakit kanker otak, katanya baru terdeteksi sekarang. Udah stadium akhir loh."
"Cewek yang mana?" tanya Shani setengah panik karena kamar mawar nomer 15 itu kamar Viny.
"Yang cantik, rambut pendek."
Tubuh Shani hampir saja ambruk karena terlalu syok mendengar ucapan suster itu. Untung saja ada kedua suster itu yang menahan tubuh Shani. Shani menggeleng tidak percaya kemudian berlari cepat kearah kamar Viny
Shani berhenti didepan pintu kamar Viny. Ia berharap tadi ia salah melihat kemudian mengecek nomor kamar Viny. Namun setelah melihat, tubuhnya semakin lemas karena kamar itu benar-benar nomor 15. Dengan tenaga yang masih tersisa, ia masuk kedalam kamar memandangi tubuh Viny yang terbaring lemah.
"Shan, kenapa?" tanya Lidya berjalan mendekati Shani. Sepasang tangannya diletakan dibahu Shani, ia menatap wajah Shani yang terlihat sangat pucat. "Shani, jawab aku."
Shani menggeleng dan langsung menubrukan tubuhnya pada Lidya. Kedua tangannya memeluk erat tubuh Lidya. Tangisnya langsung pecah. "Kakak,"
"Viny kenapa?" tanya Lidya mengusap lembut punggung Shani yang bergetar hebat
"Kakak sakit kanker otak stadium akhir."
Lidya meletakan satu tangannya didepan mulut untuk menahan teriakannya yang nyaris lolos. "Kamu pasti boong."
"Aku bener!" Shani menghentak-hentakan kedua kakinya histeris, "aku gak mau kakak sakit, aku aja yang sakit."
Lidya mengeratkan pelukannya ketika merasakan sesak didada mengetahui semua kenyataan ini. Pantas saja akhir-akhir ini Viny sering mengeluh karena pusing. Tanpa sadar air matanya lolos, tangisannya pecah seolah menandingi isakan Shani. Ia tidak menyangka ini semua menimpa pada Viny, sahabat terbaiknya.
"Kalian kenapa?" tanya Viny yang ketenangannya terusik oleh tangisan Lidya dan Shani.
Pelukan Lidya dan Shani telepas, mereka berjalan mendekati Viny. Shani menggeleng pelan dan segera memeluk erat Viny, air matanya membasahi dada Viny. "Kakak,"
"Kamu kenapa, sayang?" tanya Viny mengusap lembut rambut Shani. Ia mengalihkan pandangannya pada Lidya yang berusaha menghapus air matanya meski air matanya itu terus mengalir dengan deras.
"Kenapa kamu gak cerita kalo kamu sakit kanker?!" tanya Shani berteriak histeris
"Aku kanker?!" Viny menggeleng tidak percaya dan buru-buru melepaskan pelukan Shani, "kata siapa?"
"Kata suster."
Viny mengembuskan napas berat dan menghapus air matanya yang tiba-tiba menetes. Ia baru mengetahui penyakitnya sekarang. "Pantes aja aku sering sakit kepala."
"Vin, kenapa bisa kaya gini?" tanya Lidya terduduk lemas di kursi. Air matanya sudah tidak bisa ditahan lagi.
"Penyakit kakak donorin sama aku aja!" Shani semakin terisak menangkupkan kedua tangannya didepan wajah, "aku gak mau kakak sakit."
"Shan." Viny menggigit bibir bawahnya merasa sangat terharu, sesak didadanya semakin bertambah melihat tangisan Shani dan Lidya.
"Kok pada nangis?" tanya Ibu Viny yang baru saja masuk ke dalam kamar
"Kenapa Mama gak pernah cerita sama aku?!" teriak Viny
Ibu Viny terdiam lalu menghela napas kasar memandangi putrinya yang tengah menangis. Sebagai Ibu, ia tidak tega melihat Viny menangis seperti itu. Namun mau bagaimana lagi? Ibu Viny tidak mengerti apa yang membuat putrinya menangis seperti itu.
"Kamu kenapa?" tanya Ibu Viny berjalan menghampiri Viny, "kok teriak gitu?"
"Kenapa gak cerita kalo sebenernya Viny sakit kanker?"
"Kata siapa kamu kanker?"
"Dari suster, Tan," jawab Shani membuat tatapan Ibu Viny beralih kepadanya, "tadi katanya cewek yang ada di kamar Mawar nomor 15 sakit kanker otak stadium akhir. Ini kamar itukan?"
Ibu Viny mengangguk pelan
"Tuhkan, kenapa Mama gak ceritaa?!" Kali ini tangis Viny pecah. Lidya menggigit bibir bawahnya merasakan sakit dikepalanya mengetahui semua ini. Jujur saja ia tidak menyangka dan masih sangat syok.
"Iya ini emang kamar nomor 15 tapi ini kamar Melati bukan Mawar. Kamu cuma demam, Vin."
Viny dan Lidya langsung menatap Shani meminta pertanggung jawaban Shani atas semua ini
Shani menggelengkan kepalanya, "A-aku lupa nama kamar kakak, bu-bukan salah a-aku."
"Shaniiiii!!!!!"