"Aku tidak butuh siapa pun, termasuk dirimu."
So Hyun yang sejenak mulai melunak, kini kembali mengeras. Dengan sikap acuh tak acuh, ia memalingkan wajah dari Donghae. Ia masih tak bisa menerima siapa pun. Ia terlanjur mematikan gairah hidupnya.
"Begitukah? Heh, kau benar. Kau memang tak membutuhkan siapa pun. Aku bodoh sekali," gumam Donghae memaki dirinya sendiri.
Dengan senyum getir, Donghae memalingkan wajahnya. Apa yang telah ia lakukan? Bisa-bisanya ia berpikir jika ia bisa membuat So Hyun kembali ceria. Siapa dirinya? Dirinya bukanlah malaikat.
***
"Kau sudah menunggu lama?" tanya Jin Ri begitu keluar dari gerbang rumahnya.
"Aniyo. Aku baru saja datang," jawab Jong In yang baru saja memarkirkan motornya di depan rumah Jin Ri.
Sudah beberapa hari ini Jong In selalu mengantar-jemput Jin Ri. Bahkan untuk sesekali waktu, Jong In menemani Jin Ri latihan bersama Kwangmin usai pelajaran.
"Hari ini Kwangmin tidak bisa latihan, jadi aku juga libur latihan. Bagaimana jika kita ke toko buku? Kurasa ada beberapa judul novel menarik yang baru terbit," ujar Jin Ri dari balik helmnya saat Jong In telah melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
"Aku ... akhir-akhir ini aku tidak membaca buku," jawab Jong In seolah menghindari sesuatu.
"Apa karena Kim So Eun Eonni?" tanya Jin Ri hati-hati.
Jong In tak menjawab seolah dia tak mendengar pertanyaan Jin Ri. Sementara itu, Jin Ri yang mengerti jika Jong In tak ingin membahas Kim So Eun, tak melanjutkan lagi pertanyaannya. Ia memilih terus diam sepanjang perjalanan hingga tiba di sekolah.
"Gomawo. Aku akan langsung masuk kelas," ucap Jin Ri dengan menyerahkan helmnya pada Jong In saat telah sampai di sekolah.
"Kau sudah sarapan?" tanya Jong In tiba-tiba.
"Mwo? Aaaa ... aku belum sarapan," jawab Jin Ri jujur.
Hari ini ia bangun kesiangan karena semalaman ia tak bisa tidur. Audisi yang akan diselenggarakan beberapa minggu lagi membuatnya tak bisa tidur karena ia begitu bersemangat latihan. Ia telah bertekad, bahwa audisi kali ini ia tak kan gagal. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat semua orang yang pernah menertawakan dirinya menyesal. Ia akan membuktikan pada semua orang jika ia pantas menjadi anak dari Choi Siwon dan Oh Seung Ah.
"Masih ada waktu 10 menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Bagaimana jika kita sarapan di kantin sebentar, aku juga belum sarapan."
Jin Ri menyetujui ajakan Jong In dengan senyumannya. Ia tahu, Jong In tak sekadar mengajaknya sarapan, melainkan ada sesuatu yang ingin namja itu bicarakan. Sepengetahuan Jin Ri, Jong In tak suka sarapan.
"Kim So Eun Noona sangat menyukai novel. Bahkan dia lebih suka tenggelam dalam novel yang dibacanya dibandingkan berinteraksi dengan orang lain. Dia sering mengatakan jika dia tak suka keramaian. Dia lebih suka duduk tenang sendirian, dan membaca kisah dalam novel. Menurutnya, ia lebih nyaman hidup di dunia seperti itu," ujar Jong In saat ia telah duduk di bangku taman bersama Jin Ri setelah membeli roti dan susu dari kantin.
"Apa karena itu kau tidak ingin membaca novel lagi? Kau ingin menghindar dari setiap kenangan tentang So Eun Eonni?"
Jong In mengulas senyum getir. Rasanya dirinya memang begitu pengecut. Dia selalu saja melarikan diri dan tak pernah berani menghadapi kenyataan.
"Kau benar, aku berusaha melarikan diri dari semua hal tentang So Eun Noona. Setiap kali kenangan itu datang, aku merasa sangat tersiksa. Aku masih tak bisa merelakannya pergi. Bahkan aku belum sempat mengatakan padanya jika aku sangat mencintainya."
"Jangan lari lagi Jong In. Jangan pernah lari lagi. Jika kau merasa tersiksa setiap kali kenangan itu datang, maka datanglah padaku. Aku ... aku akan selalu ada untukmu."
Jong In tersenyum penuh rasa terima kasih atas simpati dan perhatian yang diberikan Jin Ri. Meskipun, hatinya tak lebih baik sama sekali, tapi ia merasa sedikit lega karena Jin Ri masih terus bersabar berada di sisinya.
***
Kwangmin berjalan mondar-mandir di pinggiran atap sekolah. Waktu istirahat tinggal sepuluh menit lagi, dan So Hyun yang sejak tadi ditunggunya tak kunjung datang juga. Apa So Hyun benar-benar menghindari dirinya hingga enggan datang lagi ke atap sekolah setelah pertemuan tempo hari? Itulah yang selalu Kwangmin tanyakan pada dirinya sendiri sepanjang waktu menunggu So Hyun. Ia tahu, ia tak punya jawaban, tapi ia tak bisa berhenti mengucapkan pertanyaan itu dalam benaknya, seolah pertanyaan itu adalah sebuah mantra yang harus terus dirapal agar seseorang yang ditunggunya datang.
Bosan dengan pertanyaan yang tak bisa dijawabnya, Kwangmin menghela napas kecewa dan mendongak sedih. Tepat sekali. Langit hari ini mendung dan aroma hujan sudah kental tercium.
"Cuaca yang mendukung. Apa kalian turut merasakan kesedihanku?" gumam Kwangmin bertanya pada langit.
"Hyanggiman namaseo nareul goerophineunde. mudyeojin gieok neomeoro neoreul geurida. sseulsseulhan barame. hwinallineun chueok. ireohge seulpeul ttaennuga. nareul wirohaejuna."
Bermaksud mengusir keresahan hatinya yang tak kunjung reda karena So Hyun tak datang juga, Kwangmin menyenandungkan potongan lagu Memories Of Your Scent yang dipopulerkan oleh Huh Gak. Itu adalah salah satu lagu kesukaannya. Ia selalu membawakan lagu itu setiap kali audisi.
"Apa kau benar-benar tak ingin melihatku lagi? Apa instingku tentang takdir di antara kita itu hanyalah khayalanku?" gumam Kwangmin saat melihat jam tangannya.
Beberapa detik lagi bel masuk akan segera berbunyi, dan sampai saat itu tiba pun, ia tak melihat So Hyun.
Teng ... Teng ... Teng ...
"Ternyata kau memang tak datang," lirih Kwangmin dengan senyuman getir.
Padahal hari ini ia begitu mengharapkan kedatangan So Hyun. Ia merasa sangat merindukan So Hyun, tapi ia tak tahu yeoja itu berada di kelas mana, karenanya dia datang ke atap sekolah dengan harapan dapat bertemu dengan gadis itu. Tapi, sampai saat terakhir pun So Hyun tak datang. Benar-benar tak datang.
***
"Apa kau merasa lelah? Jika kau sudah lelah, sebaiknya aku menelepon sopir untuk menjemputmu. Aku bisa menyelesaikan semuanya tanpamu."
So Hyun yang sejak tadi membantu Donghae menyelesaikan pekerjaan hari ini, menoleh tersinggung ke arah Donghae. Ia tak suka diremehkan oleh siapa pun.
"Dasar pemarah, kenapa menatapku seperti itu? Jika kau memang belum lelah, katakan saja jika kau belum lelah. Tak perlu melotot seperti itu? Kau seperti hendak menelanku hidup-hidup," cibir Donghae.
"Ini adalah tugas terakhirku. Besok, Appa sudah mulai bekerja lagi. Jadi, aku tidak ingin Appaku yang angkuh itu menganggapku tidak becus. Akan kubuktikan padanya, jika aku bukanlah gadis lemah seperti yang selalu dia katakan."
"Kau gadis yang aneh. Ada saat aku berpikir jika kau adalah gadis yang tak peduli pada apa pun, dan ada saat kau terlihat tak bisa mengalah dan itu artinya kau peduli. Sebenarnya, siapa dirimu dan bagaimana dirimu? Hari ini aku tidak bisa mendefinisikannya lagi."
So Hyun tak memberikan komentar apa pun. Dia hanya melihat Donghae sekilas, kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi.
"Haissshhh, lagi-lagi dia tak mengacuhkanku," cibir Donghae yang kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Tapi, Donghae menghentikan pekerjaannya lagi begitu teringat sesuatu. Ia memandang So Hyun sejenak sebelum akhirnya bertanya dengan wajah sedih. Ia merasa kehilangan meski saat ini ia belum kehilangan apa pun.
"So Hyun, mulai besok kau akan menjalani kehidupan normalmu. Hanya sekolah dan tidak lagi bekerja di perusahaan dan ... tidak bertemu lagi denganku. Apa ... meski hanya sedikit ... bahkan sangat sedikit sekali ... kau akan merasa merindukanku?" tanya Donghae dengan mimik wajah yang belum pernah dibentuk oleh wajahnya selama ini.
Sesungging senyum janggal yang tak mengandung keceriaan barang sedikit, terbentuk di wajah Donghae. Untuk pertama kalinya, Donghae terlihat sedih di depan seorang yeoja.
"Aku tidak tahu," jawab So Hyun singkat dan tak acuh.
"Heh, begitu yah? Ternyata aku kembali salah mengira," cibir Donghae lirih.
Ia tersenyum miris, dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Suasana kembali menjadi hening karena Donghae tak lagi bicara cerewet seperti biasa atau menanyakan sesuatu pada So Hyun, dan diam-diam itu membuat gadis itu merasa aneh. So Hyun menjeda pekerjaannya dan menyempatkan diri melirik Donghae yang tengah bekerja. Donghae tampak begitu serius dan itu membuat So Hyun merasa sedikit bersalah. Apa seharusnya ia menjawab jika ia akan merindukan Donghae meski hanya sedikit? Tapi, ia tak merasa jika ia akan merindukan Donghae. Setidaknya untuk saat ini. Mungkin, dia akan merasa jauh lebih baik tanpa Donghae, karena tidak ada lagi namja cerewet yang mengganggu hidupnya.
Merasa pikirannya terusik dengan hal-hal tak penting, So Hyun menggeleng-gelengkan kepala. Ia memaksa dirinya untuk kembali fokus dengan pekerjaannya, dan itu cukup berhasil. Ia begitu terlarut dalam pekerjaan, hingga ia tak menyadari jika saat ia telah menyelesaikan pekerjaannya, malam telah larut. Jam di dinding ruang kerjanya telah menunjukkan pukul 1 pagi. Ia menggeliat, melemaskan otot-ototnya, kemudian menoleh ke tempat Donghae bekerja.
"Isshhhh, pantas saja dia tidak berisik," cibir So Hyun karena ternyata Donghae sudah tertidur.
So Hyun beringsut dari kursi kerjanya dan sedikit meregangkan otot-otot tubuhnya. Ia kembali menoleh ke arah Donghae yang tertidur dan seakan dituntun oleh sesuatu, So Hyun mendekati Donghae yang tertidur dengan tak nyaman di sofa. Donghae terduduk dan menunduk tak nyaman sembari memejamkan mata.
Perlahan, So Hyun menatap wajah Donghae yang sedang tertidur. Ia sedikit tercengang. Wajah Donghae ketika tertidur jauh lebih damai, menyejukkan dan menyenangkan untuk dilihat. Tanpa disadarinya, So Hyun menyunggingkan senyum di bibirnya. Ia kembali ke meja kerjanya, mengambil selembar kertas dan pensil. Tiba-tiba, So Hyun ingin manggambar wajah Donghae yang sedang tertidur. Ia memposisikan dirinya tepat di depan Donghae, dan mulai menggambar. Mulai dari wajahnya yang tampak tampan dengan mata terpejam, untaian rambut Donghae yang berwarna hitam kecoklatan dan sedikit menutupi mata, dan bibirnya yang tenang.
So Hyun terlihat sangat menikmati kegiatannya. Rasanya sudah cukup lama ia tak menggambar dengan perasaan seperti saat ini. Apa karena ia menemukan obyek yang menarik atau karena memang menggambar adalah hal yang selalu bisa menghiburnya? Entahlah. So Hyun sendiri pun tak dapat mengerti. Ia hanya merasa ingin mengabadikan wajah tertidur Donghae dalam lukisan tangannya.
"Kenapa? Kenapa kau begitu hangat?" gumam So Hyun dengan menatap gambarnya yang telah selesai.
***
"Kim So Hyun!" panggil seorang yeoja.
So Hyun menoleh dan mengernyit heran. Ia sama sekali tak mengenal yeoja yang baru saja memanggilnya. Dari name tag berwarna biru yang dilirik sekilas olehnya, yeoja itu bernama Eun Sang. Meski So Hyun tak terlalu peduli dengan teman sekelasnya, tapi ia yakin jika yeoja itu bukanlah teman sekelasnya.
"Ada apa?" tanya So Hyun dingin.
Eun Sang sama sekali tak memedulikan reaksi So Hyun yang dingin dan terkesan enggan. Ia malah dengan semangat mengeluarkan sepucuk surat beramplop merah hati dari kantong jas seragamnya.
"Aku ingin meminta tolong padamu. Berikan ini pada asistenmu yang tampan itu. Hmmm ... namanya ... namanya ... aduh! Aku lupa tidak menanyakan siapa namanya," sesal Eun Sang begitu ingat jika ia belum sempat menanyakan nama Asisten So Hyun yang ia temui beberapa hari yang lalu di depan gerbang sekolah.
"Lee Donghae," ujar So Hyun singkat.
"Ouh, namanya Lee Donghae. Nama yang sangat tepat dengan dirinya yang tampan," puji Eun Sang yang membuat So Hyun tak suka.
"Beberapa hari ini aku terus memikirkannya. Karenanya, kupikir aku harus bertemu lagi dengannya. Dan saat aku sadar jika aku tak punya nomor teleponnya, aku menulis surat ini. Aku ingat, jika dia pernah mengatakan jika dia adalah asistenmu, karenanya aku sengaja mencarimu untuk menitipkan ini padamu."
Eun Sang mengulurkan surat yang telah ditulisnya semalaman, tapi dengan sikap acuh tak acuh seperti biasa, So Hyun tak berminat untuk mengambil surat itu. Ia hanya menatap surat itu dengan keengganan yang kentara.
"Sampaikan saja sendiri padanya. Dia sudah bukan asistenku lagi," ujar So Hyun yang melengos begitu saja.
"Mwo? Dia bukan asistenmu lagi? Apa dia mengundurkan diri karena ingin menjadi aktor?" ucap Eun Sang dengan mengikuti So Hyun.
"Aniyo," jawab So Hyun dengan amarah tertahan.
Ia mulai jengkel dengan sikap mengusik Eun Sang. Dia pikir setelah tidak bertemu dengan Donghae beberapa hari ini, karena ia tak lagi bekerja di kantor, ia dapat hidup tenang seperti semula. Terselubung dan tak terhubung dengan siapa pun. Tapi, ternyata meski sosoknya tak ada, Donghae tetap mengusik dirinya dengan cara yang lain.
"Bukan? Lalu kenapa dia tak menjadi asistenmu lagi? Aaaa ... apa karena dia mendapat tawaran menjadi seorang penyanyi? Sudah kuduga, Donghae Oppa itu memang hanya cocok menjadi entertainer. Dia tampan, bermata indah dan juga memiliki suara yang bagus. Pekerjaan menjadi asisten seorang anak SMU itu sama sekali tak cocok untuknya," cerewet Eun Sang yang membuat So Hyun makin geram.
Ia menoleh dengan tatapan menyeramkan pada Eun Sang. Ia sudah tak dapat menahan diri lagi.
"Jangan ganggu aku! Arraseo?" gertak So Hyun.
Eun Sang hanya dapat mengangguk mengerti karena ketakutan dan tak lagi mengejar So Hyun dengan berondongan pertanyaannya. Seumur hidup, ia baru menemui yeoja dengan tatapan mata yang menyeramkan seperti So Hyun. Rasanya begitu dingin dan menyeramkan.
"Ada apa dengannya? Kenapa dia menatapku seolah ingin membunuhku? Gadis yang menyeramkan," gumam Eun Sang bergidik ngeri.
***
"Apa yang ingin Direktur bicarakan?" tanya Donghae saat pesanan makanannya belum datang.
Kim Eun Mi yang hari ini sengaja mengajak Donghae makan siang di sebuah café yang tak jauh dari kantor, tersenyum tenang.
"Tidak usah terburu-buru seperti itu. Ini adalah waktu istirahat kita, jadi santai sajalah karena hal yang ingin kubicarakan bukanlah hal penting mengenai pekerjaan."
Donghae tersenyum tak percaya. Bagaimana mungkin seorang direktur yang sudah bersuami seperti Kim Eun Mi mengajaknya makan berdua bukan untuk membicarakan masalah pekerjaan? Daripada berpikir jika Eun Mi telah tertancap pesonanya seperti semua yeoja yang pernah bertemu dengannya, Donghae lebih yakin jika Eun Mi lebih ingin membicarakan tentang perusahaan. Wanita seperti Eun Mi terlihat sangat ambisius dalam pekerjaan, jadi hanya sedikit kemungkinan jika wanita seperti itu mempunyai ambisi soal cinta.
"Aku tidak yakin jika ini tidak berhubungan dengan perusahaan. Urusan apalagi yang melibatkanku dalam hidupmu jika bukan urusan perusahaan?"
Eun Mi melengkungkan senyum yang sulit dijabarkan artinya. Mungkin saja ia senang karena kecerdikan Donghae menangkap maksudnya, hingga ia tak perlu membuang-buang waktu dengan basa-basi yang sia-sia atau mungkin juga menahan keterkejutan karena Donghae dapat membaca niatnya dengan tepat.
"Ternyata kau jauh lebih cerdik dari dugaanku. Baiklah, dengan begini aku tidak perlu berputar-putar. Aku memang ingin menawarkan sebuah kerja sama denganmu."
"Kerja sama? Bukankah sekarang kita sudah bekerja sama? Kerja sama seperti apa yang Anda maksud?"
Eun Mi kembali menyeringai. Dengan keanggunan yang penuh siasat, akhirnya Eun Mi mengatakan kerja sama yang ia maksud.
"Kerja sama yang sangat menguntungkan untuk kita berdua. Selama ini aku mengamati kemampuanmu. Apa kau sadar, jika dengan kemampuanmu yang luar biasa itu, kau bisa mendapatkan jabatan yang jauh lebih pantas? Kurasa pekerjaan menjadi butler anak SMU itu benar-benar telah mematikan bakatmu."
Donghae tersenyum tenang mendengar penjelasan Kim Eun Mi. Ia sudah dapat menangkap sepenuhnya maksud dari Kim Eun Mi.
"Kurasa Anda salah paham. Presdir Kim tidak sejahat itu padaku. Aku bukanlah butler Nona So Hyun, tapi aku adalah Asisten Pribadi Presdir Shinhan Financial Group," ujar Donghae tenang.
Kim Eun Mi masih dapat menyunggingkan senyum tenang. Ia sudah menduga jika Donghae akan senaif itu.
"Kau benar, mungkin saja aku yang salah paham. Hajiman, sangat mengejutkan sekali karena kau baru bekerja ketika keponakanku itu mengambil alih perusahaan. Jika kau memang dihargai sebagai seorang Assisten Pribadi Presdir, kenapa kau tidak dipekerjakan jauh sebelum Presdir Kim koma dan digantikan oleh So Hyun? Mungkin, aku yang berpikir terlalu jauh. Hajiman, aku hanya merasa sangat takut jika sampai apa yang kupikirkan itu menjadi kenyataan. Aku sangat paham dengan sifat kakakku itu. Dia tidak pernah membutuhkan Asissten Pribadi. Jadi, aku sangat takut jika Presdir Kim akan menyia-nyiakan kemampuanmu hanya demi ambisi pribadinya untuk merubah So Hyun. Aku mengerti, So Hyun memang membutuhkan seorang butler yang mampu mengendalikannya, dan aku tahu hanya kau yang bisa melakukannya. Aku takut jika Presdir Kim lebih mementingkan hal itu daripada perkembangan karirmu," ujar Eun Mi dengan rasa simpati yang dibuat-buat.
Donghae kembali menyunggingkan senyum tenang, namun tak menunjukkan minat. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Eun Mi tajam.
"Terima kasih atas simpati Anda. Kurasa menjadi butler seorang gadis muda dan cantik jauh lebih menyenangkan untukku jika Anda tahu reputasiku yang sebenarnya," ucap Donghae dengan nada biasa namun terasa menekan.
Ketenangan Eun Mi goyah. Ia meradang dengan penolakan Donghae. Ia tak pernah ditolak oleh siapa pun ketika menawarkan kerja sama. Bagaimana bisa tawarannya yang begitu penuh simpati ditampik oleh orang seperti Donghae? Harga diri Eun Mi benar-benar terluka.
Sementara itu, Donghae jauh lebih bisa mengontrol emosinya. Ia tetap bersopan santun dengan menyunggingkan senyum dan membungkukkan tubuhnya sebelum meninggalkan Eun Mi.
"Lee Donghae ... k-kau ... apa kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan? Dengan menolakku itu artinya kau telah mendeklarasikan diri jika kau adalah bagian dari musuhku. Dan ... aku ... tidak akan pernah mengasihani musuhku," geram Eun Mi.
***
Hari ini So Hyun merasa sangat jengkel. Ternyata Eun Sang bukanlah satu-satunya yeoja yang menanyakan Donghae. Sudah beberapa yeoja dari berbagai kelas mendatanginya hanya untuk urusan Donghae. Entah untuk memberikan sepucuk surat cinta seperti Eun Sang, memberikan kado atau meminta nomer ponsel.
"Dasar namja menyebalkan. Sudah tak bertemu denganmu pun, kau masih menyusahkan," gumam So Hyun dengan memandang gambar wajah Donghae yang ia buat saat pertemuan terakhir mereka.
Kini, semua pekerjaan kantor telah kembali diambil alih oleh Appanya sehingga Donghae tak lagi bekerja menjadi asistennya melainkan menjadi asisten Appanya. Donghae juga tidak lagi mengantar-jemput dirinya karena tugas itu telah dialihkan pada seorang supir. Meski setiap hari ia mengingkari, So Hyun merasa ada yang aneh dalam kehidupannya selama beberapa hari ini tak bertemu dengan Donghae. Ia merasa ada sesuatu yang hilang.
"Nona, Tuan memanggil Anda untuk makan malam bersama," ucap seorang pelayan yang membuyarkan lamunan So Hyun.
So Hyun tak menyahut. Ia beringsut dari tempat tidurnya hendak ke meja makan sesuai perintah Appanya. Namun, saat ia ingat sesuatu ia memanggil lagi pelayannya.
"Ada apa Nona?" tanya pelayan itu dengan menghentikan langkah dan menoleh sopan pada So Hyun.
"Apa Asisten Lee datang ke rumah beberapa hari ini?" tanya So Hyun.
"Tidak Nona. Semenjak tuan mulai aktif bekerja di kantor, Asisten Lee tidak pernah ke rumah," jawab pelayan itu yang membuat So Hyun kecewa.
"Ada lagi Nona?"
"Aniyo. Kau boleh pergi."
***
Intro lagu Miracle In December yang dipopulerkan oleh EXO mengalun dari denting piano yang dimainkan Jin Ri. Suara hujan di luar gedung sekolah, menambah pedih lagu itu. Siapa pun yang mendengarkan permainan Jin Ri sore itu, tak kan luput dari air mata yang mengalir. Lagu itu dimainkan Jin Ri dengan segenap perasaannya. Begitu lirih, pedih, menyayat dan menyakitkan.
Boiji anheun neol chajeuryeogo aesseuda
deuliji anhneun neol deureulyeo aesseuda
Boiji anhdeonge boigo deulliji anhdeonge deullyeo
neo nareul ddeonan dwiro naegen eobdeon himi saenggyeosso
[Mencoba menemukanmu, kau yang tidak dapat kulihat lagi
Mencoba mendegarmu, kau yang tidak dapat kudengar lagi
Dan saat aku melihat semuanya, mendegar semuanya
Karena setelah kau beranjak pergi, aku mendapatkan satu kekuatan baru]
Kwangmin memulai part awal lagu dengan suaranya yang lembut. Suara lembut itu bukan dihasilkan dari teknik semata, melainkan dari hati. Sesuatu yang terlahir dari hati, jauh lebih menyentuh dan jauh lebih luar biasa dibanding sebuah teknik semata.
Setelah nada-nada rendah berhasil dibawakan Kwangmin dengan baik, Jin Ri mengambil bagiannya. Suara merdunya mengimbangi suara Kwangmin yang penuh perasaan. Bersama Kwangmin, Jin Ri merasa bebas mengeksplore kemampuan bermusiknya. Ia mampu mengeluarkan improvisasi spontan yang bahkan tak dapat ia bayangkan sebelumnya. Intuisi musiknya semakin mengalir, karena ia merasa sangat nyaman menyanyi bersama Kwangmin.
Demikian pula dengan Kwangmin. Ia merasa tergenapi dengan baik oleh Jin Ri. Bakat alami Jin Ri yang lahir dari gen kedua orang tuanya, berkembang dengan baik, sehingga sore itu, disaksikan gerimis musim semi yang turun, Jin Ri dan Kwangmin menampilkan kolaborasi brilian nan menyentuh.
"Kau sangat hebat Jin Ri. Bahkan kau lebih hebat dari kedua orang tuamu," puji Kwangmin setelah denting piano terakhir dari tuts yang ditekan Jin Ri lenyap ditelan udara.
"Aku tidak sehebat pujianmu. Justru kaulah yang sangat hebat Kwangmin. Pertama kali bertemu denganmu, kupikir kau hanya bisa bermulut besar, tapi ternyata aku salah. Kau memang luar biasa seperti yang selalu kau katakan," ujar Jin Ri masih belum dapat percaya diri.
Jin Ri tak pernah merasa percaya diri atau berbangga diri, dia selalu merasa jika dirinya adalah gadis yang biasa saja. Dan bersama Kwangmin, perlahan ia mulai mengerti apa itu pentingnya percaya diri. Setidaknya rasa percaya diri dengan kadar yang pas, tidak kurang dan juga tidak lebih, memang dibutuhkan oleh seorang penampil. Karena jika dia tak percaya diri dengan apa yang akan ditampilkannya, maka dia hanya menampilkan pertunjukkan yang penuh keragu-raguan. Dan lebih parahnya lagi, potensi yang sebenarnya mengendap di dalam dirinya takkan bisa dikeluarkan dengan baik.
"Kau harus lebih percaya diri Jin Ri. Percuma saja kau menyimpan potensi dan bakat alam yang luar biasa jika kau tak pernah memancingnya untuk keluar. Selama ini, yang membuatmu gagal audisi adalah rasa tak percaya dirimu. Dan pangkal dari demam panggungmu yang parah itu juga berasal dari akar yang sama. Rasa kurang percaya diri," ujar Kwangmin berteori.
Jin Ri melengkungkan bibirnya yang tebal dan berwarna merah alami, membentuk sebuah senyuman. Apa yang baru saja dijabarkan oleh Kwangmin memang sangat benar. Dia memang tidak bisa percaya diri, karena dia terlalu takut jika rasa percaya dirinya akan menjadi boomerang jika saja dia tak bisa mengontrolnya. Dan, semua cibiran teman-teman kedua orang tuanya yang masih ia ingat sampai sekarang, adalah pengambil bagian yang paling besar untuk kurangnya rasa percaya diri di dalam dirinya.
"Beberapa hari ini aku memikirkan mantra untuk membuat demam panggungmu hilang. Dan setelah melewati banyak pertimbangan untuk beberapa opsi yang bertandang dalam benakku, akhirnya aku menemukan cara jitu yang tak mungkin gagal."
Jin Ri tampak mulai tertarik dengan mantra yang dibicarakan Kwangmin. Memang itulah yang sangat ia butuhkan saat ini, penawar untuk demam panggungnya yang akut.
"Mantra apa?" tanya Jin Ri yang tak bisa menahan rasa penasarannya.
Kwangmin mengembangkan sebuah senyum penuh misteri sebelum menjelaskan mantra yang ia katakan.
"Mantranya sangat mudah sekali. Aku yakin, kau dapat menghafalnya dengan sangat cepat. Bahkan saat aku selesai memberitahukan mantra itu pun, aku yakin kau akan langsung menghafalnya."
Jin Ri teransang penasaran oleh penjelasan Kwangmin yang ambigu. Ia menatap Kwangmin seolah ia sudah tak sabar ingin mendengar bunyi mantra itu.
"Di saat kau merasa demam panggungmu muncul, kau cukup memejamkan mata dan sebut namaku tiga kali. Jo Kwangmin. Jo Kwangmin. Jo Kwangmin. Kemudian, buka matamu dan kau akan menemukanku duduk di bangku paling depan, memandangmu dengan senyum amat manis sehingga kau akan lupa dengan segala perasaan demam panggungmu."
Jin Ri tak bisa menahan tawanya saat ia tahu jika mantra yang membuatnya penasaran ternyata hanyalah bualan Kwangmin yang mempunyai jiwa narsis luar biasa. Menyebut nama Kwangmin tiga kali? Jin Ri merasa sangat konyol dengan ide itu.
"Hahaha ... apa kau sedang membodohiku? Itu hanya mantra yang diajarkan pada anak kecil yang takut maju ke depan kelas untuk memperkenalkan diri ketika pertama kali masuk sekolah. Dulu, ibuku juga mengajari mantra itu ketika aku masuk TK. Dan itu ... tak berhasil."
"Nama ibumu memang tidak mempan, tapi kau belum mencoba menyebut namaku jadi kau tidak tahu bagaimana efeknya?"
Kwangmin tetap berkeras jika ia tidak sedang mempermainkan Jin Ri, karenanya Jin Ri memilih mengalah.
"Baiklah, aku akan mencoba mantra itu ketika audisi nanti. Jika mantra itu tidak ampuh, maka kau harus mentraktirku makan es krim di dekat sekolah. Keundae, jika mantra itu bekerja seperti sesumbarmu, maka aku yang akan mentraktirmu. Ettohke?"
"Baiklah. Sepakat."
Kwangmin mengulurkan tangannya tanda kesepakatan yang langsung diraih oleh Jin Ri dengan rasa percaya diri.
"Kwangmin, jika kau selalu punya solusi untukku, lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Kau kira, kenapa kau juga sering gagal audisi? Hmmm ... rasa percaya diri, kau memilikinya dengan kadar yang sangat banyak. Bakat? Hmmm ... kau juga punya bakat yang luar biasa. Suaramu bagus, intuisi musikmu juga sangat alami, kau pun bisa bermain alat musik dan ... kau punya modal untuk masuk ke dalam industri musik. Kau lumayan ... tampan."
Kwangmin tersenyum senang dengan pujian yang dilontarkan Jin Ri. Meski dia sedikit memprotes frasa 'lumayan tampan'. Selama ini belum pernah ada yang mengatakan jika dirinya 'lumayan tampan', karena sesungguhnya dia sangat tampan, setidaknya itulah yang selalu Kwangmin pikirkan tentang dirinya sendiri setiap kali menatap cermin.
"Entahlah, aku juga tak pernah mengerti kenapa juri-juri itu menolakku. Hmmm ... sebenarnya aku mempunyai beberapa gagasan. Yang pertama, mereka ingin menguji mentalku agar kelak aku bisa menjadi superstar dengan mental yang teruji dan matang karena telah melewati kegagalan dan perjuangan yang keras sebelum sukses, karenanya mereka dengan berat hati menolakku. Kau tahu IU kan? Dia harus mengalami pahitnya ditolak sebelum menjadi penyanyi ternama seperti sekarang ini. Kedua, mereka merasa takut."
Jin Ri merasa aneh dengan gagasan kedua Kwangmin. Takut?
"Takut? Kenapa mereka takut?" tanya Jin Ri dengan alis terangkat.
"Yaaah, mereka takut jika aku akan mengalahkan ketenaran artis mereka. Kau tahu, sinar bintang dalam diriku terlalu menyilaukan hingga membuat mereka takut jika aku diterima mereka sekarang, maka aku akan menghalangi kecemerlangan artis mereka yang lain."
Jin Ri menatap Kwangmin dengan tatapan setengah tak percaya. Wow, rasanya ia benar-benar baru melihat orang dengan kadar percaya diri sebanyak Kwangmin. Setelah mantra itu, Bagaimana bisa Kwangmin melontarkan hipotesis yang seluruhnya hanya sebuah omong kosong tentang kelebihannya?
"Hahaha ... kau ini lucu sekali," ucap Jin Ri dalam tawanya yang meledak.
Kwangmin ikut tertawa melihat Jin Ri tertawa. Memang itulah yang ia harapkan, Jin Ri dapat lebih rileks dan tertawa agar ketegangan menghadapi audisi yang tinggal menghitung hari tak menekannya. Kwangmin memang suka melontarkan lelucon, karena ia senang melihat orang di sekitarnya bahagia.
"Apa aku terlihat begitu lucu?"
Jin Ri kembali menatap Kwangmin sejenak dan kembali tertawa.
"Nde, kau sangat lucu."
"Baguslah. Kau harus selalu mengingat itu," ujar Kwangmin dengan tatapan setengah menerawang. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
***
Alunan Moonlight Sonata dari stereo memenuhi kamar So Eun, yang saat ini ditempati So Hyun. Jika sedang sedih, So Hyun sering sekali berdiam diri di kamar So Eun.
So Hyun hanya meringkuk di ranjang sembari menatap matahari senja yang kembali ke peraduannya. Sinar jingga langit sore memantul ke dalam ruang kamar yang ditempati So Hyun melalui jendela yang terbuka. Saat melihat langit jingga di ufuk barat, ia mengingat senyuman Donghae. Senyuman Donghae sama lembutnya dengan pendar jingga di ufuk barat itu. Sangat damai. Sangat menentramkan. Sangat lembut. Dan sangat mendebarkan hati.
"Kenapa kau menyerah begitu saja? Bukankah kau bilang ingin membuatku tersenyum? Bukankah kau bilang kau tak mudah putus asa? Bukankah kau bilang kau ingin menjadi temanku? Lalu kenapa kau tak menemuiku lagi dan cerewet membanggakan diri di depanku lagi?" ucap So Hyun dengan mengalihkan tatapannya pada gambar Donghae yang dulu dibuatnya.
Mulai merasa tertekan dengan kenangan bersama Donghae, So Hyun melempar gambar itu sembarangan. Tiba-tiba ia membenci dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia memikirkan Donghae? Ia tak butuh Donghae karena ia tak butuh siapa pun dalam hidupnya.
So Hyun menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia merasa sangat lelah. Namun, belum sempat matanya benar-benar terpejam, seseorang datang mengetuk pintu kamarnya. So Hyun sangat enggan diganggu, ia tak mengacuhkan ketukan itu. Namun, sepertinya seseorang yang sedang berada di luar pintu itu sama sekali tak takut dengan kemarahan So Hyun, pintu kembali diketuk, dan itu membuatnya amat jengkel.
"Masuklah," desis So Hyun tanpa bangun dari ranjang.
Terdengar pintu didorong dan seseorang masuk. Langkah kakinya terasa tak biasa untuknya, karena itu bukan ketukan highheels seperti biasa, melainkan ketukan sebuah pantofel. Apa mungkin itu ayahnya? Rasanya tidak mungkin, selama ini ayahnya tak pernah masuk dalam ranah pribadinya yaitu kamarnya atau pun kamar So Eun.
"Apa kau ingin menghabiskan sore yang cerah ini hanya dengan tidur di kamar?"
So Hyun terhenyak. Suara itu ... suara itu suara Lee Donghae, namja yang beberapa waktu lalu mengusik pikirannya.
"Neo?" kaget So Hyun tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya dari Donghae.
Donghae meringis senang karena untuk pertama kalinya ia melihat sebuah ekspresi di wajah So Hyun. Ekspresi terkejut yang alami dan manusiawi, bukan sekadar mimik wajah dingin mayat hidup.
Namun, ekspresi keterkejutan So Hyun tak bertahan lama. Dengan cepat So Hyun dapat mengendalikan diri dan memajang mimik tak acuh seperti biasa.
"Mau apa kau kemari? Bukankah kau bukan asistenku lagi?" tanya So Hyun bernada enggan.
"Apa karena aku bukan aistenmu lagi, itu artinya aku tidak boleh menemuimu lagi? Aku hanya mampir ke sini karena ada urusan dengan Presdir, dan kudengar kau menanyakanku beberapa hari yang lalu, karenanya kupikir kau merindukanku, jadi aku sengaja menemuimu," jelas Donghae yang membuat So Hyun mendesis sinis.
Ia menyesal karena pernah menanyakan tentang kedatangan Donghae ke rumahnya pada pelayan yang besar mulut.
"Aku tidak pernah merindukan siapa pun," sangkal So Hyun.
"Jongmalyo? Jangan malu-malu begitu jika kau merindukanku. Itu sangat normal karena semua yeoja yang pernah bertemu denganku pasti akan merindukanku jika sehari saja tak bertemu. Kau malah akan terlihat aneh jika tidak merindukanku," goda Donghae dengan kepercayaan diri yang luar biasa.
So Hyun menarik bibirnya membentuk seringaian mencemooh. Menggelikan sekali mendengar penjelasan Donghae.
"Haisssh, lagi-lagi kau menatapku dengan mimik mencemooh seperti itu. Apa kau pikir aku tidak sakit hati dengan sorot matamu yang penuh cemoohan itu?" cibir Donghae sok kesal.
So Hyun enggan merespon. Ia kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata seolah Donghae tak ada di sana.
"Besok kau libur kan? Aku sudah meminta ijin pada Appamu untuk membawamu liburan ke suatu tempat. Jadi, bersiap-siaplah karena aku akan menjemputmu sangat pagi," ucap Donghae.
Ia tersenyum sejenak memandang So Hyun yang masih enggan membuka mata. Ia tahu, So Hyun mendengarnya, jadi ia tak mengulangi pemberitahuannya. Setelah puas melihat So Hyun, Donghae memutuskan untuk keluar dari kamar. Ia menutup kembali pintu kamar yang ditempati So Hyun dan menatap pintu yang tertutup itu sesaat. Sementara itu, So Hyun membuka matanya setelah yakin jika Donghae tak lagi berada di kamar. Ia menatap langit yang kini tak lagi jingga. Sore telah merambat menjadi malam, dan langit berubah menjadi gelap. Meski gelap, ada beberapa bintang yang telah berpijar. So Hyun menatap bintang-bintang itu cukup lama. Apa dia harus pergi?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE SKY
Fiksi PenggemarHarapan ... Kim So Hyun sudah tak sudi untuk mengingatnya lagi. Harapan yang sekian lama begitu ia percayai telah mengkhianatinya dengan sangat kejam. Semenjak kematian kakaknya, Kim So Eun, gadis itu pun ikut mati. Raganya mungkin terlihat hidup, t...