Bagian 23

750 105 53
                                    

Lidya tertunduk tak berani menatap mata keempat sahabatnya yang menatap seolah sudah siap menerkamnya. Dia baru saja bercerita tentang alasannya pergi tanpa kabar kemarin. “Duh ... gue cuma gak sekolah sehari, tapi udah kaya buronan setahun,” gerutu Lidya sambil memanyunkan bibir.

Sammy menyandarkan punggungnya di sandaran sofa sambil menggelengkan kepala dan tersenyum. Setelah mendengarkan cerita Lidya, dia berpikir bahwa kekhawatiran mereka kemarin benar-benar berlebihan. Tapi itu membuktikan satu hal; bahwa Lidya sangat berarti bagi mereka.

“Lain kali, cerita dulu ya, Lid. Kita kira kamu kenapa-napa. Kalau kamu sakit atau ada kejadian yang kita gak mau terjadi kan jadi bikin khawatir,” ucap Viny sambil mengelus punggung Lidya, layaknya seorang kakak pada adiknya.

Lidya menyeringai. “Maaf ya, kalian jadi khawatir berlebih gitu. Abisnya kemarin emang butuh waktu buat lebih tenang dulu.”

“Lo berdua ngapa lagi tumben-tumbenan diem ajah kaya lagi sakit gigi?” tanya Sammy pada Melody dan Jevan yang sedari tadi hanya diam. “Kemarin yang paling semangat nyari Lidya, kalian berdua.”

Jevan menggaruk kepalanya. “Gegara emosi … kemarin Melody sempet berantem sama … Okan,” ucap Jevan agak hati-hati mengucapkan kalimatnya. Sontak mata ketiga sahabatnya langsung membulat.

“Loh, kok bisa?” tanya Lidya spontanitas.

“Ya, gitu.” Jevan mengangkat bahu. Untung saja kemarin dia menemani Melody menemui Okan, kalau tidak, entah apa yang akan Melody lakukan untuk mendapatkan jawaban yang Okan sendiri tidak tau.

"Gue kebawa emosi." Sebuah hembusan napas pelan keluar dari mulut Melody. Kini matanya menatap mata Lidya dalam. "Jangan kaya gitu lagi. Gak tau apa rasanya khawatir itu gimana? Cukup sekali ini ajah, Lid." Ada nada meminta walau Melody berkata dengan suara yang cukup tinggi. Matanya memerah, entah kenapa rasanya ingin menangis tapi terlalu malu untuk mengeluarkannya.

Lidya merasa sakit menusuk hati kecilnya. Melihat tatapan Melody yang nampak sangat mengkhawatirkannya membuat dia merasakan ada cairan membendung di matanya. "Maaf," ucap Lidya seraya memeluk Melody erat. "Maafin gue ya, Mel." Lidya mulai meneteskan airmata.

"Jangan gini lagi. Please," ucap Melody yang juga mulai ikut menangis.

Viny tersenyum melihat keduanya. Memang mereka kerap kali berbeda pendapat, tapi jauh di dalam hati mereka saling menyayangi. Dia mengalihkan pandangan ke arah Jevan yang malah diam-diam mengambil gambar Melody dan Lidya sambil tersenyum jahil. Lalu matanya beralih pada Sammy yang juga menatapnya dengan senyum penuh kehangatan.

Aku mau kita tetap begini. Doa Viny dalam hati.

***

Jevan menghentikan mobilnya di depan halaman rumah bercat kuning cerah. Dia sempat terdiam sesaat untuk menatap rumah yang rasanya sudah lama tidak dia kunjungi.

"Malam, Tante," sapa Jevan saat seorang wanita paruh baya membuka pintu rumah. Senyum Jevan membuat wanita itu mengingat siapa sosok laki-laki yang mengetuk pintu rumahnya malam ini.

"Jevan?" tanya wanita itu seolah memastikan.

"Iya, Tante. Apa kabar?" tanya Jevan sambil mencium tangan wanita itu sopan.

"Ya ampun, tante sampai lupa sama calon menantu. Tante baik. Kamu yang kemana ajah?"

Jevan tertawa renyah dan menggaruk tengkuknya. "Baru bisa main kesini tante. Maaf, ya."

"Kegiatan sekolah pasti lagi banyak, ya? Ayo masuk dulu. Ayana masih siap-siap kayanya. Pantesan itu anak tumbenan-tumbenan gak mau ikut kakaknya nonton. Ternyata mau ada yang ngapelin."

LimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang