Bagian 29

525 91 28
                                    

"Sammy!" Suara nyaring Lidya menggema di koridor kelas X. Gadis itu seakan lupa suaranya sangat menarik perhatian para adik kelas. Lidya seakan tak peduli dan berlari mendekati Sammy yang baru saja datang bersama Naomi.

Sammy dibuat geleng-geleng melihat tingkah sahabatnya. "Sadar diri ngapa suara lo kaya toa mesjid gitu," ucap Sammy ketika Lidya sudah berdiri di depannya.

Lidya tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. "Lo kok gak ngebales chat di grup sih? Eh bentar, lomba lo gimana? Menang?" Masih terlalu pagi untuk mendengar kebawelan Lidya, tapi Sammy sudah biasa menghadapi sifat sahabatnya yang satu ini.

"Gue belum sempet cek chat. Kemarin lombanya lancar sih. Tapi belum ada pengumuman juga. Katanya hari ini ada info ke pihak sekolah," ucap Sammy yang dibalas anggukan dan oh panjang dari Lidya. "Eh, kemarin lo ikut nganterin Viny?"

Mata Lidya langsung berbinar mengingat soal Viny. "Iya! Kemarin Jevan yang bawa mobil. Lo sih gak ikut segala. Asramanya bagus banget loh. Walau gue liat cuma dari gerbang. Terus kemarin…."

"Em, Sam." Naomi memotong cerita Lidya, membuat perhatian dua orang di depannya teralihkan. "Aku ke kelas duluan ya?"

"Eh, gak papa?" tanya Sammy.

Naomi memasang senyum yang nampak sedikit dipaksakan dan mengangguk. Matanya menatap Sammy seolah meminta Sammy mengerti arti sikapnya.

"Oh, ya udah." Jawaban Sammy sontak membuat hati Naomi mencelos. Sammy seolah kehilangan rasa peka terhadap sikap kekasihnya.

"Lid, ke kantin yuk! Gue belum sarapan," ucap Sammy yang kini sudah kembali menatap Lidya, membuat Naomi menghela napas sebelum pergi menuju kelasnya sendirian.

"Em, Sam. Itu, Naomi gak papa?" tanya Lidya yang sedari tadi merasakan aura tidak mengenakkan dari Naomi.

Sammy mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?"

"Gak papa." Lidya memilih tidak memperpanjang masalah barusan. Walau dia sendiri heran karena Sammy tidak seperti biasanya—yang selalu mendahulukan kepentingan Naomi dari apapun.

***

Jam istirahat memang paling enak digunakan untuk makan di kantin atau berkumpul dengan teman-teman di taman sekolah atau bermain futsal dan basket di lapangan. Tapi kali ini Jevan harus menghabiskan waktu istirahatnya dengan tumpukan buku di perpustakaan.

Kejadian langka memang melihat Jevan mau masuk ke ruangan yang sangat keramat untuknya. Kalau bukan karena ancaman tidak naik kelas dari guru sejarah, mungkin Jevan takkan pernah memasuki ruangan ini.

Mata Jevan terfokus pada huruf-huruf yang tercetak pada buku. Tangannya mencatat hal-hal yang sekiranya penting. Mulutnya sesekali meniup poninya yang sudah hampir menutupi dahi.

Seseorang dari 2 meja di depan Jevan tersenyum tipis melihat keseriusan Jevan. Jarang sekali seorang Jevan mau mengerjakan tugas seserius ini, apalagi sampai dia mau masuk ke perpustakaan. Suatu hal yang perlu diabadikan.

Orang itu mengambil gambar Jevan melalui ponselnya diam-diam. Lalu dia tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.

Jevan mungkin tidak sepintar Sammy. Tidak setampan Boby. Pun tidak sekeren Keenan. Tapi ada nilai tersendiri untuk Jevan di matanya. Kerja kerasnya bila sudah bersungguh-sungguh tak akan ada yang bisa menyaingi.

Diam-diam dalam hati, Ayana memuji mantan kekasihnya. Bila mengingat mereka sempat pacaran lalu putus, Ayana selalu merasa ada sesuatu yang salah.

Ayana baru sadar pemandangan di depannya sudah berganti dengan bangku kosong. Lelaki yang tadi duduk di meja di ujung ruangan hilang dari pandangannya.

LimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang