Bagian 25

754 102 35
                                    

"Kak Lidyaaaa!" sambut Frieska, adik Melody yang tengah duduk disofa empuk ketika Lidya baru saja datang dengan sekotak martabak di tangannya.

"Frieskakuuuu!" sahut Lidya tak kalah hebohnya seraya memeluk Frieska.

"Cieee Fries-ka-ku," sindir Melody penuh penekan.

Frieska mencibir pelan sambil melepaskan pelukannya. "Kak Lidya bawa apa? Wah, pasti martabak nih."

"Tau ajah," jawab Lidya.

Melody menepis tangan Frieska yang hendak mengambil plastik dari tangan Lidya. "Udah gue bilang gak usah bawa apa-apa." Melody mengambil bungkusan itu. "Keju ya?"

"Gak usah, tapi gak nolak," sindir Frieska yang dihadiahi tatapan tajam Melody. "Aku ke kamar dulu, ah! Mau mandi." Ucapan Frieska langsung membuat Lidya bergeser menjauh.

"Pantesan ada bau-bau aneh. Untung cantik, Neng," goda Lidya yang membuat Frieska tertawa pelan sebelum berdiri dan berjalan menuju kamar.

"Eh, Teh. Jangan lupa sisain martabaknya, ya." Kepala Frieska kembali muncul dari balik tembok pembatas ruang TV dengan barisan kamarnya dan Melody.

"Sip! Teh Melody gak bakalan ngabisin kok," ucap Lidya seolah mewakili Melody. Frieska tersenyum dan menghilang ke dalam kamarnya.

Melody duduk menggantikan posisi Frieska sebelumnya. "Masih doyan ajah ngegodain ade gue. Kalau sampe jadi suka beneran, lo dalam bahaya."

Lidya langsung menggoyangkan jari telunjuknya. "No, no, no. Gue takut sama kakaknya yang pasti siap nerkam gue kapanpun kalau sampai gue suka sama Frieska. Gue masih mau nikah, punya anak empat, tinggal di pegunungan pas tua sambil main-main sama cucu tiap weekend," racau Lidya yang dihadiahi jitakan keras dari Melody. "Sakit, Mel!"

Melody terkekeh. "Lagian ngelantur ngomongnya."

"Ya semua orang juga mau punya umur panjang kali. Mana jitakannya sakit banget," kata Lidya sambil mengelus-elus kepalanya.

Melody jadi merasa bersalah karena tadi reflek menjitak Lidya. Dia ikut mengelus kepala Lidya dan meniupnya pelan. "Sakit banget, ya?"

"Lumayan. Kalau masih pagi gini tenaga lo masih kaya babon, ya?"

Melody menyipitkan matanya dan mendorong pelan kepala Lidya. "Itu mulut."

Lidya menyeringai. "Maaf, Mel."

"Dah, ah! Gue mau masukin martabaknya ke piring sama ambilin minum. Lo pilih ajah mau nonton film apa." Melody menunjuk kumpulan kasetnya yang ada di samping TV. "Eh iya, please jangan film kartun. Horor ajah kayanya banyak," ucap Melody seraya berdiri.

"Apaan nonton horor cuma berdua? Mending kartun lucu-lucu gitu, Mel."

Melody memutar bola matanya. "Dasar anak kecil," ucapnya sambil berjalan menuju dapur.

***

Sammy menatap layar ponselnya. Belum ada satupun pesan atau panggilan apapun dari Naomi. Nampaknya kejadian semalam akan membawa dampak besar untuk hubungan mereka. Selama ini bila Naomi kembali membahas masalah itu, Sammy selalu mencoba mengalah dan menenangkan Naomi sebisanya. Tapi semalam Sammy sungguh lelah. Dari sekian banyak hal, kenapa selalu masalah Veranda yang jadi alasan pertengkaran keduanya? Sammy jenuh bila harus berputar di permasalahan yang sama.

Suara bel apartemen menyadarkan Sammy dari lamunan. Dengan langkah gontai, Sammy berjalan dan membuka pintu. Lalu sebuah senyuman manis seorang perempuan menyambutnya. Senyuman perempuan itu menular. "Gak bilang mau kesini, Vin."

Perempuan itu menyeringai. "Tadi iseng-iseng masak sendiri buat makan siang. Terus masaknya kelebihan kalau aku makan sendiri. Di rumah lagi sepi banget. Jadi dengan sangat terpaksa aku mau berbagi sama anak kostan yang kadang suka lupa makan siang ini." Viny mengangkat tempat makan yang ada di tangannya.

LimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang