Bagian 8

675 88 5
                                    

“Langsung pulang loh!” pesan Naomi ketika mobil Sammy berhenti di depan sebuah kafe.

Sammy mengelus rambut panjang Naomi. “Iya, sayang.”

Viny tersenyum tipis melihat keduanya dan memilih turun duluan untuk memberikan privasi pada mereka berdua.

Sammy mengecup kening Naomi sebelum Naomi turun dari mobil dan melambaikan tangan. “Titip Naomi ya, Vin,” ucap Sammy yang dibalas anggukan oleh Viny. Mobilnya pun melaju meninggalkan kedua gadis cantik itu.

“Yuk!” Naomi menggandeng tangan Viny untuk masuk ke dalam. “Hai, kak Natha!” sapa Naomi pada barista yang ada di mini bar.

“Hai, Mi!” sahut lelaki bertopi hitam yang memiliki eyesmile itu. “Mana Sammy?”

“Sammy lagi gak ikut.” Naomi melirik Viny yang berdiri di sampingnya. “Kenalin, ini temen gue, Viny. Vin, ini kak Natha, sepupu gue dan yang punya ini kafe.”

Viny dan Natha saling bersalaman dan memperkenalkan namanya masing-masing.

“Gue mau ngerjain tugas dulu ya, Kak? Bikinin white coffe, dua red velvet sama ...” Naomi melirik Viny.

“... hot choccolate,” pungkas Viny yang dibalas anggukan dan acungan jempol oleh Natha.

“Di pojok, kaya biasa,” tambah Naomi sebelum menarik tangan Viny untuk duduk di meja kosong yang berada di paling sudut ruangan—tempat kesukaannya dengan Sammy.

“Vin, menurut lo kak Natha gimana?” tanya Naomi saat mereka sudah duduk dan mulai mengerjakan tugas diskusi mereka.

Viny menatap bingung Naomi. “Gimana apanya? Gue kan baru pertama lihat. Lo lebih tau kali daripada gue.”

Naomi memutar bola matanya. “Maksud gue secara fisik. Ganteng atau manis atau gimana gitu?”

Viny melirik lelaki yang masih membuatkan pesanan mereka berdua itu. “Dia tinggi, senyumnya lucu karena matanya jadi sipit, kayanya ramah.”

“Lo suka?”

“Astaga! Jangan bilang kalau lo ngajak gue kesini buat ngecomblangin gue sama sepupu lo?”

Naomi menyeringai. “Lo kan udah baik sama gue, gue juga boleh dong baik sama lo?”

Viny tak menjawab dan hanya menggeleng lalu kembali terfokus pada tugasnya. Aneh-aneh saja Naomi.

***

“Hujan, Vin,” ucap Naomi ketika mereka akan keluar kafe setelah tugas mereka selesai. “Sammy gak ngebales-bales lagi chat gue. Ditelpon juga gak diangkat. Tidur kali, ya?”

“Kayanya,” jawab Viny. Memang akhir-akhir ini Sammy banyak kegiatan dan butuh istirahat lebih. Kantung matanya saja sudah mulai memberat.

Naomi mengetuk-ngetuk ponselnya sambil cemberut, kesal karena akhir-akhir ini Sammy sering sekali mengabaikan panggilan darinya. “Kita mau naik taksi ajah? Tapi harus ke depan.” Mengingat letak kafe yang agak jauh dari tepi jalan raya, mereka harus berjalan sekitar 50 meter untuk menghentikan taksi, tapi itu juga kalau ada yang lewat.

Viny mulai memainkan ponselnya dan memilih untuk memesan transportasi online daripada harus menunggu lama atau berbasah-basahan mencari taksi.

“Mau pulang, ya?” Suara Natha membuat pergerakan jari Viny berhenti.

“Eh, kak Natha! Iya nih, tapi hujan. Gak bawa mobil lagi.” Naomi menyeringai.

“Ya udah, bareng ajah sama gue.”

Mata Naomi langsung berbinar. Dia nyaris lupa kalau dia sedang ada di kafe milik sepupunya. “Bener tuh!”

“Tapi gue naik taksi online ajah deh,” ucap Viny tidak enak bila merepotkan orang lain.

“Gak usah, Vin. Nanti kalau lo kenapa-napa gimana? Kalau ternyata taksinya gak nyampe-nyampe sini gimana? Hujan gini susah juga loh mereka nyari alamatnya. Udah biar dianterin kak Natha ajah. Aman. Kalau dia macem-macem, gue tau rumahnya dimana. Lagian kalian searah juga loh,” bujuk Naomi.

Niat ya lo, Mi, batin Viny. “Gak papa gue nebeng juga, Kak?”

Natha mengangguk. “Emang rumah kamu dimana?” Viny menyebutkan alamat rumahnya. “Berarti kita nganterin Naomi dulu. Dia kan rumahnya agak pelosok,” ucap Natha yang langsung dihadiahi cubitan oleh Naomi.

“Walau pelosok juga tempat tinggal bidadari keleus,” ucap Naomi sambil mengibaskan rambutnya.

“Wow!” Natha tak tahan pada kelakuan Naomi. “Tunggu bentar, gue ambil mobil dulu.” Natha pergi meninggalkan mereka berdua.

“Kak Natha kayanya suka deh sama lo,” goda Naomi yang membuat Viny memutar bolanya malas.

“Udah deh, Mi.”

***

Jevan langsung masuk ke rumah Lidya yang pintunya terbuka bebas. Terdengar suara bantingan benda pecah dan teriakan yang saling bersahutan dari mulut kedua pasangan suami istri di rumah itu. Tapi Jevan tidak peduli, dia langsung naik ke lantai dua dan masuk ke kamar Lidya. Matanya terbalak melihat Lidya duduk sambil memeluk lutut di pojok kamar dan menangis. Tanpa berpikir panjang, Jevan memeluknya agar Lidya sadar akan kehadirannya.

“Gue takut,” lirih Lidya dengan suara bergetar.

Jevan merasa hatinya ikut diremas. Ini sudah kesekian kalinya Jevan mendapat pesan dari Lidya kalau orangtuanya sedang bertengkar dalam beberapa waktu ke belakang. Jevan juga tidak tau mengapa Lidya akhir-akhir ini lebih sering meminta tolong padanya, yang dia tau Lidya butuh teman.

“Ada gue. Ayo!” Jevan menuntun Lidya untuk berdiri dan keluar dari rumahnya. Lidya masih mendekap Jevan seolah takut lelaki ini akan pergi meninggalkannya.

Jevan menatap wajah Lidya lebih seksama ketika mereka sudah masuk ke mobil Jevan. “Astaga! Bokap mukul lo lagi?” tanya Jevan terlihat emosi.

Lidya mengangguk pelan sambil terus menangis, membuat hati Jevan semakin terpukul.

“Brengsek!” teriak Jevan sambil memukul keras stir mobil. Ini untuk kedua kalinya Jevan mendapati Lidya dengan pipi memar karena perbuatan ayahnya.

“Sebelumnya dia gak pernah begini,” lirih Lidya.

“Tapi dia sekarang udah kelewatan. Dua orang perempuan yang harusnya dia lindungi malah dia sakiti,” ucap Jevan penuh emosi. Sebuah dengusan kasar keluar dari mulutnya. “Gue bawa lo ke tempat Sammy ajah, ya? Viny sama Melody gue suruh kesana juga.”

Lidya langsung menahan tangan Jevan yang akan menyalakan mesin mobil. “Jangan ... jangan sekarang. Gue gak mau mereka ikut khawatir.” Wajah Lidya penuh dengan ekspresi permohonan yang dalam.

“Sampai kapan? Gue mungkin gak bisa ngatur urusan keluarga lo, tapi gue juga harus nolongin lo sebagai sahabat gue. Gue gak enak nutupin kondisi lo dari mereka bertiga. Sahabat lo itu bukan cuma gue, Lid.”

Please ... gue mohon jangan sekarang.” Lidya mencengkram tangan Jevan, berharap pengertian lelaki ini sekali lagi.

Jevan membuang wajah sambil mendengus. “Ini yang terakhir. Gue gak tau harus gimana sama lo kalau gak ada bantuan mereka juga,” ucap Jevan seraya menyalakan mobil dan melaju ke rumahnya. Setidaknya Lidya aman disana.

***

Bersambung~~

ViNju lalalala~~~

LimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang