Bagian 11

668 99 15
                                    

Sesampai di apartemen, Sammy langsung disambut oleh keempat sahabatnya. Dia kadang menyesal tidak pernah mengganti katasandi pintu apartemennya sejak dulu. Bukan enggan bertemu karena marah pada mereka, tapi Sammy tidak suka tatapan bersalah mereka berempat, menambah beban di hati.

“Sam, are you okay?” Melody bersuara duluan saat Sammy baru menutup pintu. Sammy membalas hanya dengan tersenyum dan anggukan. Jelas mereka berempat tidak bisa dibohongi.

“Lo harusnya jelasin dulu ke sabeum jalan ceritanya. Lo juga harusnya nolak hukuman yang keterlaluan itu.” Jevan berdecak kesal di sofa. “Gue yang harusnya dihukum.”

“Ini salah gue karena gak bisa ngendaliin emosi gue sendiri. Jadi gue juga harus siap sama hukumannya.” Sammy berusaha meyakinkan sahabatnya bahwa dia baik-baik saja.

“Ini juga salah Keenan si OSIS songong itu!” Jevan kesal tiap mengingat wajah angkuh Keenan. “Mentang-mentang dia anak pemilik yayasan, dia dianak-emaskan.”

Sammy tersenyum tipis. “Mungkin gue seharusnya gak mukul dia cuma sekali,” gumamnya.

“Lo beneran gak papa, Sam?” Lidya menatap Sammy sendu.

Sammy mengelus bahu Lidya. “Gak papa kok, Lid. Lo pulang sana. Udah malem. Ibu pasti bentar lagi nelpon.” Sammy masih sempat mengkhawatirkan sahabatnya. “Van, lo anterin mereka gak papa, kan? Gue mau tidur, agak pusing kepala.”

“Mau gue bikinin teh?” tawar Melody yang langsung dijawab gelengan pelan Sammy.

“Kalian pulang ajah. Lusa seleksi dimulai loh.” Tak ada nada semangat dalam suara Sammy. Tidak seperti biasanya.

Jevan menghela napas pelan. “Okay. Tapi kalau lo butuh apapun. Lo tau kalau kita selalu siap bantu,” ucap Jevan seraya bangkit.

“Makasih.” Sammy tersenyum tipis sebelum masuk ke kamarnya. Dia memang butuh ketenangan saat ini.

***

Sammy melempar kasar tubuhnya ke atas kasur. Tas yang dia bawa terlempar ke sudut kamar. Dia bahkan enggan membuka sepatu sedari tadi. Terlalu lelah untuk melakukan itu semua.

Yang ada di kepalanya adalah rentetan kalimat menusuk sabeum yang berhasil mematahkan semangatnya. Seleksi Porda tinggal di depan mata, tapi impian itu harus sirna tahun ini.

Sammy mengusap wajah kasar. Dia menggeram keras. Emosi sudah sampai di puncak kepalanya.

Perlahan Sammy memejamkan mata. Napasnya mulai teratur. Tapi tetap saja dia tidak bisa masuk ke alam mimpi. Matanya kembali terbuka. Sebuah getaran di ponselnya membuat dia merogoh saku.

Bukan sekarang, Mi, batin Sammy setelah melihat siapa yang menelponnya malam-malam begini.

Sammy mematikan ponsel dan menaruhnya di atas nakas. Saat itu tangannya menyentuh sebuah figura kecil yang ada disana. Dia mengambil figura itu. Menatapnya dalam dan tersenyum getir.

Hembusan napas pelan keluar dari mulutnya. Dia mulai menjernihkan kepala dan mengatur napas perlahan sambil mengingat-ingat kenangan di balik foto yang digenggamnya.

Flashback On

Semester 1 kelas VIII...

“Sammy! Woy, Sam!” Jevan berlari di koridor kelas, membuat semua mata disana memperhatikannya, tapi dia tak peduli. “Sam, lihat deh, Sam,” ucap Jevan setelah sampai di depan kelas—tempat Sammy duduk sambil menggoda beberapa siswi cantik yang lewat.

“Apa, Van?” Jevan langsung menyodorkan secarik kertas brosur yang baru dia dapat dari papan pengumuman sekolah. Sammy membacanya seksama dan mengerutkan kening.

“Gimana?” tanya Jevan antusias.

“Lo mau gabung? Inikan ekskul baru. Belum tentu sukses atau enggaknya.”

Hadeuh ... tapi ini justru kesempatan,” ucap Jevan, tapi Sammy masih mengerutkan kening. “Ini kesempatan buat kita makin eksis. Kalau kita gabung sama ekskul baru, terus ternyata up, beuh ... makin banyak yang naksir lo. Gimana sih, lo? Pinter di pelajaran doang!”

Sammy menoyor kepala Jevan. “Tumben pinter lo!”

Jevan tersenyum bangga. “Daftar, yo! Ayo!” seru Jevan dengan semangatnya.

***

“Sumpah kalau bukan karena kalah taruhan sama Jevan siapa target selanjutnya Sammy, gue gak akan mau gabung ke taekwondo.” Melody memasang wajah kesal melihat sahabatnya yang tersenyum mengejek karena akhirnya dia mau ikut bergabung satu ekskul dengan mereka.

“Ya jelaslah dia tau, orang kemarin handphone gue dia mainin!” celetuk Sammy yang membuat Melody membalakkan matanya.

“Udahlah, Mel. Gak nyesel. Banyak cogan kalau lagi ujian kenaikan sabuk. Gue ajah gak nyesel terima ajakan Viny,” ucap Lidya yang membuat sahabatnya menggelengkan kepala.

“Anak kecil, pikirannya cowo terus. Nilai tuh benerin.”

“Lo juga ngaca kali, Van!” Lidya menoyor kepala Jevan.

“Eh, foto, yuk!” Viny mengeluarkan ponsel dan mengajak sahabatnya untuk berkumpul dan menggambil gambar, mengabadikan momen yang mungkin akan mereka kenang saat tua nanti. Kenangan pertama kali mereka berlima sama-sama menggunakan dobok taekwondo.

Flashback Off

Sammy tersenyum mengenang masa-masa manis itu. Dia tidak menyangka mereka masih bisa bersahabat dan sedekat ini sampai sekarang. Memiliki mereka adalah harta paling berharga untuk Sammy. Empat orang yang selalu punya warna berbeda, tapi tetap sama; saling melengkapi dan memberi warna satu sama lain.

Terdengar suara pintu kamar Sammy yang terbuka. Lalu terlihat sosok perempuan dengan senyum hangat yang selalu mampu membuat Sammy tenang.

“Boleh masuk?”

Sammy mengangguk. “Jangan ditutup pintunya.”

Viny berjalan mendekati kasur Sammy dan duduk di tepi kasur. “Mau makan? Kamu belum makan malam.”

Sammy menggeleng. Dia tidak bisa merasakan apapun di lidah dan perutnya. “Kenapa belum pulang, Queen?”

“Khawatir kamu ngelakuin hal yang enggak-enggak. Mama pernah pesan buat jagain kamu kalau lagi sakit.” Viny mengusap keringat di kening Sammy.

“Aku gak sakit.”

“Tapi kamu gak baik-baik ajah,” tambah Viny dan tersenyum getir. Dia tau Sammy sedang amat terpuruk. Kini dia membuka sepatu Sammy dengan telaten.

Sammy menatap wajah Viny lebih dalam. Gadis di depannya ini manusia paling susah dia bohongi setelah mamanya. Gadis di depannya ini orang yang paling mengerti setelah mamanya. Viny selalu tau dan mengerti apapun tentangnya. “Boleh minta sesuatu?”

“Apapun Andra.” Suara lembut Viny kembali memberi kehangatan di hati Sammy.

Sammy meraih tangan kanan Viny dan menggenggamnya. Lalu tangan kiri Viny dia taruh di kepalanya, meminta Viny untuk mengelus kepalanya lembut. “Tetap begini. Sebentar ajah. Aku cuma butuh lima menit.”

Viny menatap dalam mata Sammy dan tersenyum hangat. Dia mengelus kepala Sammy yang mulai memejamkan mata. Viny tau, Sammy sedang rindu mamanya. Biasanya Sammy bermanja-manja seperti ini pada mamanya. “Ambil waktu semaumu, Dra,” bisik Viny yang membuat Sammy tersenyum dalam tidurnya.

***

Bersambung~~~

ShanMi atau VinShan? Pengen ShanLid boleh gak?😝😝😝

Dannn terimakasih buat 100 followersnya😍😍😍💯🎉🎊

LimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang