22. The End of Us

3.5K 325 165
                                    

Pagi yang cukup cerah, lengkap dengan angin semilir yang menyejukkan pagi. Irama pagi ini? Masih suara monitor Seokjin dan Jeongguk yang berbunyi teratur dari dua kamar berbeda. Seokjin masih tertidur pulas, begitu juga dengan Jeongguk. Seakan mereka masih sangat betah dalam tidurnya masing-masing.

Pintu kamar rawat Seokjin terbuka, menunjukkan seorang pria dengan rambut perak dan tubuh kurus lengkap dengan matanya yang sembab. Sepertinya ia baru saja menangis. Pria tersebut berjalan gontai menuju ranjang tempat Seokjin berbaring lengkap dengan segala alat penunjang kehidupannya.

"Hyung," sapanya lirih.

Pria itu kemudian menggenggam erat tangan orang yang dipanggilnya itu. Butiran air mata kembali menggenangi sudut matanya. Pria itu tampak sangat menyesali sesuatu, ia menangis terisak sambil mendekap tangan kurus Seokjin dengan erat.

"Hyung ...," panggilnya lagi. "Maafkan aku."

Isakannya semakin keras terdengar air matanya terus bercucuran.

"Maafkan aku, aku gagal ..., aku gagal, Hyung," isaknya.

"Jimin, sudahlah ...," ucap J-Hope dari belakang Jimin, sang pria berambut perak itu, mencoba untuk menenangkannya.

"Sudahlah, ini bukan salahmu, Jimin. Ini keputusan kita semua," ujar Suga ikut membantu untuk menenangkan Jimin.

"Hyung, ini bukan keputusan bersama!" bentak Jimin dengan wajahnya yang berlinang air mata lengkap dengan kulit wajahnya yang merona begitu merah.

Suga dan J-Hope saling menatap satu sama lain. Mereka cukup kaget dengan bentakan Jimin, baru kali ini mereka melihat Jimin sangat emosional. Jimin memang melankolis, tetapi kali ini berbeda. Tampak kekecewaan dalam sorot mata Jimin, namun tampak juga kemarahan di tengah kekecewaan itu.

"Jimin-ah," panggil J-Hope.

"Cukup Hyung, cukup," ucap Jimin lirih, hampir berbisik. Jimin sudah tak lagi punya kekuatan untuk menghadapi kenyataan. Ia tak lagi kuat setelah apa yang Namjoon katakan kemarin malam.

---

Malam sebelumnya.

KA-TALK!

"Teman-teman, mohon berkumpul di dorm, penting."

Begitulah isi pesan yang Namjoon kirimkan dalam grup "Seokjin dan 6 Bayinya" yang tak lama kemudian diubah namanya menjadi "Bangtan".

Jimin terdiam, ia memikirkan segala kemungkinan dan bagaimana untuk menghadapinya. Ia memikirkan banyak hal, mulai dari rekan grupnya yang mulai tidak bersemangat, atau Namjoon yang tampak tidak lagi punya hasrat bermusik dengan selalu menyendiri walau ia mengurung diri dalam studionya sejak ia pulang ke dorm kemarin. Perasaan Jimin tak karuan, ia tak nyaman dengan semua ini.

"Jimin-ah, ada apa?" tanya Sandeul.

"A-ah ... tidak ada apa-apa, Hyung," jawab Jimin.

"Yang betul?" selidik Sandeul.

"Sungguh, Hyung." Jimin mengelus lengan Seokjin. "Hyung, aku titip Jin Hyung sebentar ya?" ucap Jimin sambil pamit pada Sandeul.

"Ya, tidak apa, selesaikanlah urusanmu," jawab Sandeul.

Jimin keluar dari ruangan itu setelah membungkuk hormat pada Sandeul. Tak jauh Jimin berjalan, ia berpapasan dengan Ken.

"Oh, Jimin-ah, kau mau kemana?" tanya Ken.

Jimin tidak menjawab, ia tetap berjalan dengan tatapan kosong. Ken merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Jimin, maka ia memanggil Jimin kembali dengan suara yang lebih tegas.

Off The Limits 2: A New VergeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang