Perubahan - 29

4.9K 430 73
                                    

Ku ingin cinta hadir untuk selamanya
Bukan hanyalah untuk sementara
Menyapa dan hilang
Terbit tenggelam bagai pelangi yang indahnya hanya sesaat
Tuk ku lihat dia mewarnai hari
~HiVi, Pelangi

***

Tok. Tok. Tok.

"Assalamualaikum!"

Tok. Tok. Tok. Tok.

"Assalamualaikum! Tante Michelle!"

Tak lama kemudian pintu terbuka, menampakkan sesosok siluet lelaki tinggi. Lelaki itu mengucek-ucek matanya pelan, menyesuaikan cahaya yang tertangkap di matanya. Sepertinya dia baru bangun tidur, terbukti; memakai boxer, kaos oblong yang acak-acakan, rambut tidak tertata, dan matanya yang masih agak menyipit.

"Ada apa?" tanyanya masih tidak menyadari siapa yang tengah berdiri di depannya.

Agatha tergugup seketika, penampilan Darrel saat ini membuatnya salah fokus. "Emmm... Ini gue ke sini karena panggilan hati--" Tersadar bahwa dia salah, dia segera mengganti kalimatnya, "Eh, salah-- maksud gue mau nganterin kue!"

Darrel mendongakkan kepalanya, melihat Agatha yang sedang menunduk memperhatikan sepatu adidasnya. Dia mengerutkan keningnya, alisnya terangkat sebelah. "Tapi gue nggak pesen kue."

"Emang nggak... Ini dari Mama gue. Dia habis bikin kue dan gue disuruh nganterin kue ini ke Tante Michelle. Agatha memajukan tangannya yang membawa bungkusan kue.

"Oh... Buat Mama. Makasih kalo gitu!" Darrel mengambil bungkusan itu, menatapnya sebentar. Tugasnya sudah selesai, Agatha hendak berlari menjauh, takut-takut jika wajahnya dilihat oleh Darrel. Belum dua langkah Agatha beranjak dari tempatnya, Darrel kembali memanggilnya.

"Woy! Ini dari siapa, ya?" Karena tidak terlalu mendengar, secara refleks Agatha menoleh, menampakkan wajahnya pada Darrel.

"Apa?"

Darrel terdiam seketika. Mulutnya kembali terkunci rapat. Agatha yang menyadari kebodohannya langsung berbalik lalu memukul keningnya pelan.

"Bego!" rutuknya pelan.

Tiba-tiba Darrel mengeluarkan suaranya. "Oh, dari Tante Ara.... Bilangin makasih ya!" serunya lalu berbalik masuk ke dalam rumah.

Agatha merasakan hatinya mencelos. "Dia nggak basa-basi gitu, buat tanya 'mampir atau nggak' atau apa kek...."

Sedetik kemudian dia tetawa sumbang. "Oh iya, kan udah punya pacar...."

***

Revan berjalan santai menyusuri koridor gedung IPA. Tas hitamnya disampirkan di bahu kanannya. Rambutnya acak-acakan, baju seragamnya keluar dari celana, tidak memakai dasi, tidak ada tempelan badge nama, dan sepertinya dia juga tidak memakai sabuk.

Dia berniat bolos pada mata pelajaran yang sangat dibencinya: fisika. Rumornya, gurunya galak dan selalu memberi tugas segepok pada murid-muridnya. Memang dia pikir muridnya robot yang dapat menyelesaikan semua tugas yang diberikannya. Semua teman sekelasnya mungkin memilih untuk tetap di kelas untuk menunggu jam pelajaran fisika dimulai, tetapi tidak bagi Revan. Dia memilih kabur dari jam pelajaran itu lalu nongkrong di kantin.

"Aduh, mampus gue! Kok ada guru sih?" rutuknya saat melihat dua orang guru perempuan berjalan bersama menuju ke arahnya. Kedua guru itu sedang berbicara satu sama lain, jadi mereka tidak melihat Revan yang posisinya tepat di depannya.

ConversaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang