8. Kejutankah?

58.4K 5.9K 249
                                    


***

“Kamu darimana?”

Eve tersentak begitu keluar dari mobilnya. Sama sekali tak memerhatikan bahwa ada Dylan yang sudah menunggunya di teras rumah. Sejenak, Eve memastikan jam pada arloji, lalu menghela saat menyadari sekarang sudah nyaris jam Sembilan malam.

“Kamu udah lama?” Eve balik bertanya, “Nggak masuk?”

Dylan hanya menggeleng, ia mengisyaratkan agar Eve menghampirinya terlebih dahulu. “Aku dari kantor kamu, dan kata Soraya kamu udah keluar kantor dari sebelum jam makan siang. Ke mana?” pria tersebut menarik tangan Eve, menggeser posisinya sendiri, lalu Dylan menempatkan Eve di tempatnya semula. “Aku hubungi dan kamu nggak angkat.”

Eve mengangguk membenarkan. “Ada yang kukerjakan,” gumamnya meletakkan tas yang ia bawa ke sisi sebelah kiri. “Banyak hal yang kupikirkan. Dan itu nggak bisa melibatkan kamu.” Sesaat Eve memberanikan diri memandang Dylan yang juga sedang memandangnya.  Tangannya bergerak, menyusuri jambang yang terlihat mulai lebat di sekeliling rahangnya. Entah Dylan sengaja ingin memeliharanya atau sekadar lupa bercukur. “Kamu baik-baik aja ‘kan?”

Dylan diam.

“Kamu kurusan sekarang.”

Dan Dylan masih melakukan hal serupa. Diam mengamati tanpa berniat menjauhkan tangan Eve dari wajahnya.

“Aku lagi memutuskan beberapa hal, Lan. Dan aku mau, apa yang nanti aku putuskan bisa buat kamu senyum lagi.” Rambut ikal Eve terbang di sapu angin malam yang sekadar melewati mereka. “Kita berdua harus bahagia, iya ‘kan?”

“Mendengarmu mengatakan hal ini, aku ragu.” Balas Dylan sambil menurunkan tangan Eve. Sebagai gantinya pria tersebut malah menggenggamnya. “Biasanya beberapa hal yang kita usahakan sebagai masa depan malah berakhir buruk.”

Mereka pernah mengupayakan hal itu beberapa tahun lalu. Dengan cara yang paling mengerikan, Dylan memutuskan menikahi seorang gadis yang tengah mengandung janin adik kandungnya sendiri. Dan apa yang Dylan lakukan itu semata, hanya agar ia dan Eve bisa saling meninggalkan.

Menyadari kesalahan yang mereka buat, keduanya pun memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Namun bukannya berakhir, apa yang Dylan lakukan justru membuat permasalahan baru. Dan lagi-lagi, kesederhanaan tak pernah menyinggahi mereka.

“Jadi, kalau aku menebaknya, apa yang kamu rencakan bakal berakhir sama rumitnya, ‘kan?”

Tanpa bisa dicegah, Eve justru terkekeh. Menertawakan kemirisan yang sedang Dylan paparkan. Eve menggeleng agar terlihat geli, walau ia tahu hal tersebut tak berlaku dalam penglihatan Dylan. Sejujurnya, ia ingin menangis. Usianya yang sudah banyak, ditambah perasaan yang tak lagi dapat ia kontrol, semakin memperparah keadaan.

“Jadi, apa rencananya?” Dylan bertanya serius. “Kalau ini memang melibatkan kita, aku yakin pasti ada aku di dalamnya. Aku perlu tahu, Eve.”

“Nanti ya? aku masih menyusunnya.” Eve membalas cepat. Mencoba semringah ia tersenyum pada Dylan. “Masuk ya, aku belum makan.”

Dan Dylan melepaskan genggaman tangan itu. Satu hal yang selalu ia tekankan pada dirinya semenjak dahulu. Bahwa, ia akan kalah pada siapapun yang mengatakan lapar. Karena itulah ia memilih membuka restoran. Ia senang melihat orang kenyang.

Sebelum benar-benar meningalkan Dylan yang masih duduk di tempatnya, Eve menggigit bibir. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan tangis yang sedang merayunya tuk membuka celah menampilkan kelemahannya. Dan bagi seorang Evelyn, Dylan Alkantara adalah harapan sederhana yang tak pernah bisa ia wujudkan.

Paduan antara seluruh kemustahilan, juga asa yang semu.

“Kita sudah membicarakan ini dua tahun silam, Lan,” Eve berucap pelan. Memastikan hanya Dylan seorang yang mendengar. “Dan setelah hari-hari sulit itu, aku pikir segalanya bakal berakhir.” Senyumnya terpulas kecil. “Tapi kalau aku bilang, semua yang udah kita sepakati sama sekali nggak pernah berhasil kulakukan, aku yakin, kita bakal berada di titik paling bawah seperti hari itu.”

Knock Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang