31. Dinding Yang Mencuri Dengar

53.8K 7.7K 1K
                                    

Hallo, cinta ...

Kusapa kau dari ujung dermaga

Kuturuni beberapa anak tangga yang ada

Demi satu rasa yang ingin kudamba

Iya, tentu saja ...

Ikrar cinta kita dihadapan orangtua ...

Ah, bukankah itu indah?

Pasti iya ...

Karena setelahnya kita 'kan bahagia

Di bawah payung bernama bahtera ...

***

Sebagai seorang karyawan di Bank swasta, Tissa tentu memiliki jam istirahat yang terbatas. Jadi, dengan waktu yang sedikit itu pula, Evelyn tidak ingin membuat ke datangan Tissa sia-sia. Bahkan semenjak Tissa melangkahkan kaki menuju ruangannya, Eve tidak membutuhkan basa-basi dengan menawari Tissa duduk di sofa, dan tetap membiarkan wanita muda itu sendiri yang memilih duduk di hadapannya. Layaknya para karyawannya yang lain.

Satu-satunya yang ditawarkan Eve pada wanita itu hanya minuman, alih-alih menawarkannya makan siang, Eve bahkan yakin mereka akan bersama-sama memuntahkan makanannya dalam situasi yang canggung begini.

Selama menunggu sekretaris Eve membawakan mereka minum, Eve sudah menutup segala berkas-berkas yang tadi sibuk ia pelajari. Mata wanita itu telah menilai seberapa besar kegugupan Customer Service berkemeja putih dengan rok berwarna biru tersebut dihadapannya. Dan bertingkah seperti saksi kunci sebuah kasus pembunuhan, wajah Tissa sungguh terlihat memprihatinkan.

"Ini minumannya, Bu."

Evelyn hanya mengangguk. Membiarkan sang sekretaris mengangsurkan air hangat padanya. Sementara teh tawar untuk Tissa. Lihatlah, bahkan untuk minuman saja, keduanya sepakat tak melibatkan pemanis. Lalu dari sini saja, Eve sudah membayangkan, bahwa obrolan mereka akan berlangsung pahit.

"Saya permisi dulu, Bu. Setelah ini saya akan ikut rapat menemani Pak Fabian."

"Baiklah," Eve memberi tanggapan singkat. "Berikan hasil rapatnya untuk saya."

Menunduk paham, Hana undur diri dan segera menutup pintu atasannya dengan perlahan.

Sepeninggal sekretarisnya, Eve segera menghela napas. Lalu meraih minumannya dan meneguknya sedikit. "Well, rasanya hubungan kita selama ini tidak membuat kita pantas saling bertukar basa-basi, bukan?" sudah dibilang, Eve adalah manusia yang payah dalam menjalin komunikasi. Ia tipikal yang gemar berterus terang. Contoh nyatanya adalah ketika ia meminta Abra menikahinya.

Ah, Abra ya?

Sejak pesan tadi pagi, suaminya itu tidak ada lagi menghubunginya. Mungkin sama dengannya, Abra pasti memiliki setumpuk pekerjaan seperti setelah mereka melewatkan masuk kantor seminggu penuh.

"Iya, Mbak." Tissa bisa mengerti dengan jelas maksud Evelyn. Wanita sibuk seperti Evelyn pasti tak ingin membuang-buang waktunya lebih dari ini lagi. Dan Tissa sadar diri dengan tidak mengulur-ngulur waktu. Meneguhkan hati, wanita yang dulu terkenal riang menghela napasnya mantab. "Aku udah tau soal hubungan Mbak dan Mas Dylan."

Yah, pasti begitu, dengus Eve dalam hati.

Ketika Tissa memutuskan untuk menunduk, Eve tengah mati-matian menahan desah napasnya. Tangannya begitu erat saat menggenggam gelas, sementara wajahnya tetap mengupayakan ketenangan. Ia tegang. Padahal ia sudah memprediksi hal ini sebelumnya. "Oh, ya?" tanggapnya kering. Berbanding terbalik dengan degup jantungnya yang berjumpalitan. "Dan apa yang kamu tahu?" Eve takut jika rahasia kecil ini menyebar. Eve tidak suka orang membicarakan masalah pribadinya. Dan yang paling Eve tidak suka, beberapa orang akan mencoba menghakiminya.

Knock Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang