27. Dua Idiot Yang Gemar Menggores Nadi

63.8K 6.3K 349
                                    

***

Nanti dulu
Biar kusemat titik pada ceritaku.
Sebentar dulu
Biar kututup laman-laman cintaku.

Kau telah berlabuh, walau bukan aku dermaga yang kau tuju
Kau telah menjauh, walau bukan aku sayap yang kau butuh

Lalu …
Kupejamkan mata yang mulai layu
Kutahan gejolak rasa yang terus menderu
Menggerusku, hingga ku tak mampu
Kemudian, aku merasa lumpuh

Ah … itu karena dirimu

Mengais pada rintihan pilu
Berhati-hati kubalut rindu
Agar kelak, saat bertemu denganmu
Rasa yang kupuja tak lekas menjadi abu

Lalu …
Kapan kau kembali padaku?
Mungkinkah ini akhir dongeng sang waktu?
Yang buru-buru, kusenandungkan rindu mengenai dirimu dan aku yang tak mungkin bersatu
Ah … ya, begitu
Aku dan kamu, yang kemudian menjadi debu

***

Adalah gemuruh yang tak mampu pria itu redam. Walau tubuhnya telah bersandar di balik pilar bagai pengecut yang takut di rajam. Kemudian saat matanya menutup, senyum yang dulu ia pikir masih miliknya, perlahan memudar. Hingga lenyap meninggalkan asap putih dalam kegelapan.

Dan Dylan,  merasa lebih merana dari itu.

Ia tak tahu, rasa itu masih ada atau hanya sekadar fatamorgana yang menyublin hatinya. Dylan pun tak paham, mengenai ketidakrelaan yang kini bercokol dalam sanubari. Apa arti yang terkandung di balik semuanya pun, ia tak tahu. Yang jelas, rasanya benar-benar membuatnya sesak.

Inikah sisi egoisnya?

Di sinikah, ia kalah dan ingin menjadi pemenang cinta?

Tapi, bukankah mereka telah sepakat untuk mengubur dalam-dalam segala romansa yang pernah tercipta? Lalu kenapa, Dylan merasa bahwa dirinya ingin menjadi bajingan dan membawa kabur rasa konyol yang ia agungkan ini. Sebegitu menyedihkankah dirinya kini?

Dylan kembali menarik napas. Ini bukan sesak seperti yang sudah-sudah. Ini seperti sesak, karena sumbatan duri dan darah. Menjadi satu, seperti ingin membuatnya mati merana. Ah, entahlah … Dylan belum dapat memastikan rasa apa ini.

“Menyendiri di keramaian keluarga, bukan sesuatu yang bisa dianggap benar.”

Alaric menemukannya. Mata pria muda itu tak berhenti menyorotnya. Di balik sikap santai yang coba ia sematkan, Dylan tahu, Alaric membacanya dengan sangat baik. “Ada beberapa tawa yang menyakiti gendang telinga,” Dylan mengangkat bahu. Ia menerima segelas minuman bersirup yang Al sodorkan padanya. “Sedang berkompromi dengan pendengaran, sebelum nanti aku kembali lagi ke sana.”

“Wah, mengesankan.” Al mencibir, namun matanya tak lagi menatap Dylan. Ia mengarahkan pandangannya pada perkumpulan manusia yang tengah merayakan sebuah kebahagiaan. “Katanya yang paling mencinta, akan selalu kalah dengan mereka yang gigih berjuang.”

Knock Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang