***
“Jadi, apa yang ngebawa lo ke sini, Bang?” Tanya Tissa setelah ia menggeser piring kosongnya ke tengah meja. “Lo nggak mungkin cuma sekadar berbaik hati sama gue yang lo bilang jomlo ini ‘kan?” kedua tangannya terlipat di atas meja, sebelah alisnya terangkat tinggi. Menatap Abra dengan mata menyipit.
Dan Abra membalasnya dengan cengiran sungkan, mendadak merasa tak enak karena Tissa sudah mengendus niatnya yang terselubung itu. “Hehehe … lo gitu banget sih ngeliatin gue, Tis? Gue memang seganteng itu, tapi gue ini laki orang lho kalau lo mau tahu.” Kelakar Abra bercanda, sengaja untuk mengalihkan kecurigaan Tissa. “Jangan naksir gue, Tis. Gue masih penganten baru, aura gue merah jambu mulu nih. Tolong jangan diganggu.”
Sontak saja Tissa mendecih. “Najis amat, Bang!” gerutunya sambil menyeruput minuman. “Ya, mungkin gue bukan adeknya Edward Cullen yang bisa baca pikiran lo. Tapi gue tahu kok, lo ada keperluan mendesak sama gue, makanya rela matahin kartu Atm lo kayak tadi.”
Sadis!
Tissa sungguh mengerikan, pikir Abra dalam hati.
“Ngomong aja, Bang. Gue janji nggak bakal cerita ke siapa-siapa dan bakal anggap ini sebagai bagian dari rahasia.”
Mati kutu, Abra menggaruk tengkuk. Sialan sekali, kenapa bisa ketahuan sih?
“Karena sebagai seseorang yang selalu menampilkan kesan perfeksionis di depan umum, lo nggak mungkin bertindak sembrono dengan naruh kartu Atm lo di sembarang tempat, kecuali di dompet.” Wanita berambut sebahu tersebut mengutarakan asumsinya. “Jadi, Bang, ada apa sebenarnya?”
Setanlah! Kenapa Abra bisa ketahuan begini sih?!
Aaakkh …!! Gagal sudah Abra menjadi artis sinetron. Ternyata kemampuan aktingnya memang payah. Adam tak berdusta rupanya. Ck, menjengkelkan!
“Ehmm … gue cuma … ehm … mau ngobrol aja sama lo, Tis.” Ucap Abra ragu, sedikit terbata karena tak enak sudah ketahuan berbohong. “Dan gue bingung harus ngajak lo gimana supaya lo nggak curiga sama gue.”
Tissa tak mengatakan apapun, namun anggukkan kepalanya menyatakan tanggapan. “Oke, karena sekarang kita udah di sini, jadi bisa gue denger lo mau ngomongin apa, Bang? Lo tahu ‘kan Bang, jam istirahat gue nggak banyak.”
Meringis, Abra mengangguk paham. “Baiklah, karena gue udah ketahuan,” menarik napas pelan-pelan, Abra mencoba serius. “Gue mau nanya hal penting, Tis.” Tanggapan Tissa pun datang dengan tatapan balasannya untuk Abra yang tak kalah serius. “Ini soal bini gue.”
“Mbak Eve?”
Abra mengangguk mantap.
“Kenapa sama Mbak Eve?”
Abra sudah memikirkan hal ini semalaman. Bahkan setelah ia dan Evelyn berbaring tanpa busana hingga tengah malam. Dan berakhir dengan memesan makanan siap saji di restoran yang buka 24 jam. Keputusan Abra untuk menemui Tissa sudah matang.
Ia benar-benar butuh kepastian. Ia memerlukan sedikit pemahaman. Agar tidak salah sangka. Supaya ia bisa menentukan langkahnya di masa depan. Dan yang paling penting, Abra harus mengerti bagaimana situasi rumah tangganya sebenarnya. Abra tahu, bahteranya yang baru saja berlayar ini memerlukan banyak perbaikan. Tetapi yang Abra tak paham, di bagian mana saja. Haruskah ia memperbaiki semuanya? Atau hanya mendempul bagian-bagian luarnya saja?
Tapi yang jelas, rasa penasaran Abra ini harus diberi makan. Agar ia tenang, dan tahu ke mana harus berjalan.
“Gu—gue,” Abra menarik napasnya lagi. Matanya memejam sejenak, semata supaya ia memiliki keyakinan lebih atas semua ini. “Gue nggak sengaja denger apa yang kalian obrolan di kantor Evelyn beberapa hari yang lalu.” Dan sesuai dengan dugaan Abra, wajah Tissa sudah diterpa kekagetan. “Soal lo, bini gue dan … Dylan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Knock Your Heart
ChickLitSebagian BAB berada dalam Mode Private *** Yang satu tengah mencari calon suami, sementara lainnya masih berlari mengejar yang tak pasti. Lalu mereka bertemu karena sebuah konspirasi. Jangan tanyakan bagaimana mereka jatuh cinta. Karena pernikahan...