23. Restui Saya, Om!

51.6K 7.5K 494
                                    


*** 

Dan kau tahu ...

Sekalipun aku tak pernah menyesal pernah bertemu denganmu.

Denganmu yang telah menjungkirbalikkan duniaku dalam sekejap.

Denganmu yang telah mengisi semua ruang kehidupanku.

Denganmu yang tanpa kusadari, telah memenjaraku dalam mimpi terindahku.

Dan sekalipun kau belum juga mencintaiku, aku tak pernah menyesal bertemu denganmu... 

*** 

"Kamu sendiri? Evelyn belum pulang."

Begitulah tangapan pertama yang diberikan Ayah Evelyn ketika mendapati Abra berkunjung kembali setelah beberapa hari yang lalu, ia bertamu di rumah ini. Dan senyum simpul Abra menjawabnya secara tersirat. "Iya, Om, saya tau kok." Gumamnya kalem. Abra sedang menepati janjinya pada Eve, datang lagi kerumah wanita itu demi menagih jawaban dari lamaran ala kadarnya yang telah ia ucap beberapa hari sebelumnya. "Evelyn masih di kantor katanya, Om."

Sebelah alis Ken terangkat ke atas, namun hanya seperkian detik saja. Sebab pada detik berikutnya, ekspresinya kembali seperti semula. "Sudah janjian sama Evelyn?" Ken bisa merasakan maksud tujuan Abra ke sini. Namun dengan bijak ia menahan diri.

Abra menggeleng sambil memamerkan senyum kecil. "Saya mau ketemu, Om." Aku Abra jujur.

Ken langsung paham, "Mau ketemu saya?"

Kini Abra mengangguk, ia masih berdiri, menunggu dipersilakan duduk kembali setelah tadi di sambut oleh pelayan rumah ini dan tawarkan masuk juga teh hangat sembari menunggu si pemilik rumah menemuinya.

Ken seketika duduk, lalu sirat matanya menginginkan Abra melakukan hal yang sama. Beruntung Abra sangat tanggap, sehingga mampu membaca kode yang Ken berikan. Jadi, setelah mereka berdua duduk nyaman, Ken memulai lagi sesi pertanyaannya, walau sebenarnya yang ingin ia lakukan adalah mendengar langsung apa yang diinginkan anak muda itu. Ken membenci basa-basi. "Masih ada yang mau kamu omongin?" tetapi ia tak bisa langsung menodong begitu saja.

Abra menarik napas pelan, berjuang memasang wajah sopan di depan calon mertua yang belum memberinya restu, Abra tersenyum kecil. "Masih masalah yang kemarin, Om," ucap Abra sok kalem. Berani bertaruh, kalau sekarang keringatnya sudah sebesar telur angsa, andai ada orang bodoh yang mempercayainya. "Om boleh bilang kalau saya ini nggak sabaran, tapi saya benar-benar butuh kepastian, Om."

Ken memilih sebagai penyimak. Namun bukan berubah menjadi Arca, ia masih mampu menanggapi beberapa hal terkait pernyataan pria muda itu. "Kepastian yang bagaimana?" tanyanya tanpa merubah raut wajah. "Kamu butuh kepastian untuk merelakan dan melepaskan begitu 'kan? Kalau-kalau saya memberi waktu yang lama untuk mengambil keputusan 'kan?" tebak Ken dengan raut datar.

Ekspresi wajah yang membuat Abra harus menekan keinginannya untuk segera pergi dari tempat ini secepat mungkin. Lalu mengadu pada ibunya, bahwa ada pria sinting yang berhasil membuatnya terlihat seperti pencuri celana dalam.

Hah, memang susah ya, meminta anak gadis orang untuk di jadikan istri. Rasa-rasanya, sekarang Abra harus meralat ucapannya sewaktu kuliah dulu. Abra sempat mengikrarkan waktu itu, kalau mengejar janji temu dengan dosen adalah hal paling mengesalkan yang pernah ia alami.

Toh, sekarang Abra tahu sendiri, bagaimana proses mengejar dosen sangat jauh lebih menyenangkan dibanding harus menghadapi orangtua wanita yang ia inginkan untuk dijadikan istri.

Serius, sekarang Abra mengerti bagaimana rasanya menjadi Tommy Kurniawan saat meminang Tania. Yah, walau umur pernikahan mereka tidak sepanjang rambut Sandra Dewi. Namun tetap saja, kini Abra paham bagaimana susahnya meyakinkan orangtua wanita yang ingin kita nikahi, bahwa anak gadis mereka tidak akan kita telantarkan. Hanya karena keluarga mereka lebih berada dibanding dirinya.

Knock Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang