19. Gugup Part One

57.9K 7.4K 381
                                    

Abra tahu cepat atau lambat ia memang harus bertemu dengan keluarga Evelyn. Namun Abra tidak tahu kalau hal itu akan berlangsung secepat ini. Sumpah, Abra hanya sedang iseng saja waktu bertanya tadi. Tapi kenapa, Tuhan mengabulkan doanya yang remeh macam itu?

Sejak mengetahui siapa Aluna sebenarnya, semenjak saat itu juga Abra kerap dihinggapi penyakit jantungan yang lama kelamaan pasti akan berpotensi untuk menggugurkan nyawanya. Abra tahu, semesta memang kerap mempermainkannya. Tapi yang Abra tidak paham, bagaimana mungkin hanya dirinya saja yang selalu menjadi langganan lelucon oleh semesta.

Seakan dunia tak akan menarik saja, bila bukan dirinya yang diolok. Ck, menyebalkan! Semenyebalkan kelakuannya yang seperti keledai dungu di ajak berfoto.

Setan! Sekarang Abra gugup setengah mati!

"Ka-kamu nggak bilang?" Abra berbisik ragu, buru-buru ia melepaskan tangan Evelyn yang melingkari lengannya. Sebelum ia membayangkan ada bogem mentah yang akan mendarat di wajahnya. Iya, Abra memang separanoid itu sekarang. Jujur saja, Abra sudah berpikir jauh bahwa ia bisa saja langsung dimutilasi hidup-hidup dengan mulut yang hanya tersumpal lakban lengket berwarna hitam.

Ugh, lihat 'kan, Abra sudah sefrustrasi itu?

Sial! Kenapa sih, hidup Abra begitu tak tentu begini?

Baru beberapa menit yang lalu ia bersenang-senang dengan Evelyn lewat ciuman singkat yang mampu memercik hasrat, dan selang beberapa saat kemudian, Abra harus berkeringat menatap ngeri dua orang anak manusia yang memiliki hubungan darah dengan bibir lembut yang ia kecup tadi.

Mungkin kalau di analogikan, bunyi perumpamaannya akan begini ; seperti sedang menjamah tubuh istri setelah seminggu keluar kota. Dan begitu sang istri sudah mencapai orgasme, Abra harus menunda klimaksnya karena anaknya tiba-tiba bangun sambil menangis. Ya, begitulah kurang lebih. Menyisahkan kejantanannya yang masih teracung menantang langit. Hingga kemudian, mau tak mau ia mengalah dengan melenggang pergi menuju kamar mandi.

Dan ya, setelah itu selesai. Tamat. Lalu ia hanya akan berakhir dengan sabun sambil meredam erangan.

Bajingan! Membayangkan saja sudah membuatnya jengkel!

Hah ...!

"Ada Papa kamu," desis Abra teredam. "Kenapa nggak bilang?" sesungguhnya yang ingin dilakukan Abra adalah melotot memandang Evelyn. Tapi ia tak mungkin berani.

Oh, dewa ...! Abra harus apa?

Evelyn memandang Abra prihatin. Ia dapat merasakan kegugupan pria yang biasanya selalu tampil penuh kepercayaan diri itu. Mencoba bersikap tenang, Eve kembali melingkari lengan Abra dengan tangannya, hal yang kemudian mampu membuat pria itu tersentak. Namun Eve menahan lengan Abra yang seperti ingin menjauh darinya. "Papaku masih makan nasi kok, kamu tenang aja." Seakan tahu apa yang mengganggu Abra, Eve kembali memberi ketenangan. "Kamu nggak nanya ke mana orangtuaku pergi 'kan? Jadi, ya, udah, nggak apa-apa ya?"

Jelas, Abra sedang apa-apa sekarang!

Hah, bagaimana mungkin Abra begitu idiot dengan tak menanyakan ke mana orangtua Evelyn pergi. Ngomong-ngomong, mana Abra tahu kalau ternyata Tante Pipit itu mengenal keluarga Evelyn juga.

Oh sial! Mana Abra baru saja mencuri ciuman dari Evelyn, betapa tak beradabnya hari ini menertawakannya.

Eh, tapi tunggu?

Ciuman?

Abra langsung menoleh pada Eve dengan wajah horror. "Mukaku nggak keliatan abis nyium kamu 'kan?" tanyanya panik. "Nggak ada lipstick 'kan?" mendadak Abra akan mati sekarang juga, seandainya orangtua Evelyn dapat dengan lihai menyadari bahwa ia baru saja mencium anak mereka.

Knock Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang