26. Hai, Istri!

64.1K 7.8K 549
                                    


***

Abra tak ingin mengotori hari pernikahannya dengan ragam pikiran-pikiran berengsek yang hanya akan membuatnya murung. Dan beruntungnya, otak Abra memang tidak serumit itu. Bila di ibaratkan, otak Abra ini se-simple  film Indonesia, namun seceria film India. Sama sekali bukan tipikal sinetron dengan ratusan episode yang hanya akan membuat penonton membenturan kepalanya ke aspal saking gemasnya terhadap pikiran-pikiran bodoh si aktor.

Jadi intinya begitu. Abra adalah sosok rendah hati yang tak terlalu mau mendalami sakit hati. Baiklah, bukankah Abra merupakan tipe ideal bagi setiap wanita?

Sayang sekali, hanya satu wanita beruntung yang telah berhasil mendapatkannya.

Ya, benar, Abra telah didapatkan. Dalam arti sesungguhnya, Abra telah dimiliki.

Iya, dan wanita beruntung itu adalah Aluna.

Ah, Aluna …

Mengapa Abra bilang beruntung? Karena jika ada laki-laki yang di posisi Abra saat ini, mungkin laki-laki itu akan gigit jari, setelah mengetahui bahwa sang istri adalah jelmaan Aphrodite dengan paras menawan dan kekayaan yang hampir menyentuh awan. Untung saja, Abra adalah laki-laki rupawan, jadi ia bisa mengatasi dengan mudah segala persoalan yang membentang.

Hahahaha … iya, Abra memang setampan itu. Hingga pilihannya jatuh pada sesosok bidadari langit yang begitu memukau. Ah, bahkan Abra bisa melihat silaunya.

Kemudian, Abra bersiap menanti pengantinnya.

Dalam balutan beskap berwarna cokelat muda, Abra berdiri gagah setelah menyalami orang-orang yang langsung memberinya selamat, begitu saksi-saksi pernikahannya menyerukan “Sah” secara serempak. Kemudian diikuti oleh ratusan suara lain yang turut menggema.

Gue suami orang! Abra berteriak dalam hati.

Hah, sekarang Abra akan meralat ucapannya waktu itu yang mengatakan bahwa suara termerdu adalah milik Adele. Karena kini Abra percaya, suara-suara surgawi di sekitarnya ini adalah yang terbaik.

Lalu Abra merasa menjijikkan begitu menangkap makna dari cengiran teman-temannya. “Cengiran lo nggak berlaku di sini, Wir, kalau amplop lo di bawah lima juta!” sunggut Abra ketus sambil menghampiri teman-temannya. Namun raut wajahnya berubah manis begitu melihat Kinaya dalam gendongan Adam. “Naya-nya Om Abra cantik banget sih?” Abra mulai lebay, “Gendong Om Abra, sini!” Abra merentangkan kedua tangannya, meminta Kinaya yang tengah memeluk leher ayahnya.

“Papa, boyeh?”

Adam menggeleng sambil menjauhkan anaknya dari Abra yang mulai memberengut kesal. “Nanti aja ya? Bentar lagi, Om Abra mau gendong Tante Eve dulu.”

“Resek lo, Dam!” Abra berubah sewot. “Gue gendong-gendongannya nanti malem. Nggak bisa sekarang. Lo liat aja tuh, bodyguard bini gue banyak.” Keluh Abra sambil melirik pada deretan pria berdarah Smith yang berdiri sambil bercakap-cakap. Namun tiba-tiba saja, tampang kecutnya berubah semringah. “Eh, tunggu! Tadi gue bilang bini ya?” tanya Abra berbinar.

Adam dan Wira sontak memutar mata. Ya, mereka hanya berdua, karena Amar sudah berada dalam barisan keluarga Evelyn yang sedang bersiap menyambut istri Abra itu. Keduanya seolah paham, bahwa setelah ini Abra pasti mulai berceloteh gila mengenai apa saja terkait fisafat aneh yang kemudian akan dikemukakannya.

“Subhanallah, gue udah punya bini!” seru Abra tertahan. Ekspresinya sungguh menggemasnya. Seperti bocah lima tahun yang diperbolehkan mandi hujan sepuasnya. “Oh, Tuhan … gue punya bini, Dam!”

“Lebay,” keluh Wira sambil menjauh dari Abra.

Adam hanya tertawa, lalu menyerahkan Kinaya pada istrinya yang kebetulan memang meminta anak perempuan mereka. “Untung anak gue udah pergi,” kekeh Adam geli. “Udah, lo balik lagi sana di depan penghulu. Serahin sana mahar lo yang spektakuler itu, sekalian lo pasangin cincin kawin bini lo.”

Knock Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang