***
Aku pernah merasakan cinta yang kesekian
Lalu patah menjadi kepingan
Aku tahu dunia tak kan seindah harapan
Namun kutak paham ternyata bisa menjadi sebegini mengerikan
Pasrah, saat semua yang kita rajut hanya kan menjadi kenangan
Aku berlutut memohon ampunan
Berkisah mengenai kita dan semua impian
Kemudian terempas saat semesta menjadi penghalang kerinduanDan saat itu kutahu …
Kau dan aku tak kan lagi bertemu …Layaknya angan …
Kita adalah sekumpulan awan
Yang hilang, begitu di genggam …***
Abra sudah kehabisan akal untuk membuat dirinya siap. Ia bahkan hampir menyerah dan berlari kencang ketika merasa ia tak kan sanggup bertemu dengan keluarga Evelyn. Semua masih terasa baru untuknya. Mendadak, Abra tak siap dengan janji yang pernah ia ucap.
Tapi pada akhirnya, di sinilah Abra sekarang. Berdiri di sebelah mobilnya, setelah gerbang tinggi itu terbuka untuknya. Abra sedang menarik napas untuk yang kesekian kali. Mencoba menenangkan debar jantung, Abra mengusap pelan wajahnya.
“Udah nanggung, Ab,” bisiknya sendiri. Menyemangati perasaannya yang sudah loyo sejak semalam. “Anak SMA aja udah bisa lulus UNBK, masa yang ujian kayak beginian lo kalah, Ab.” Ucapnya lagi untuk diri sendiri. “Intinya, kalau di tolak, langsung pulang.”
Abra bisa saja tak usah repot-repot ke sini. Bisa saja ia ingkar dengan janji yang pernah ia ucapkan. Lagipula, jika hanya karena janji, Abra tidak mungkin mau setegang ini untuk suatu hal yang gampang di ingkari. Hanya saja, Abra tidak seberengsek itu dengan berlari tak tahu diri.
Mungkin ia adalah bajingan di ranjang. Namun tak sekalipun Abra pernah mengobral ucapan selama ia memadu kasih satu malam. Hanya Evelyn yang membuat pengecualian. Hanya pada wanita itu Abra sibuk meyakinkan ucapan. Dan, sebagai pria yang sudah matang, rasanya menikah bukanlah pilihan sulit ketika segala aspek untuk berumah tangga sudah ia miliki.
Jasmani dan rohaninya sehat bugar. Pekerjaannya tetap dan tabungannya cukup mantap. Masalah tempat tinggal, tak jadi soal. Mungkin ia belum sempat mencicil rumah, tapi ada lantai tiga di ruko miliknya yang bisa dijadikan tempat tinggal. Tentu hal itu tidak masalah bukan?
Iya, tak akan jadi masalah, andai yang ia nikahi hanyalah pengangguran macam Kenya. Atau minimal karyawan swasta seperti istri Adam yang kemudian memilih menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Dan paling tidak, Abra akan baik-baik saja, jika ia mengencani manager restoran seperti kekasih Wira. Ya, tentu mereka tidak akan mempermasalahkan tinggal sementara di ruko selama Abra masih sibuk mencari rumah untuk mereka tinggali.
Demi Tuhan, seharusnya itu memang tak jadi masalah andai yang ingin ia lamar bukanlah bos kakaknya yang berpenghasilan puluhan kali lipat dari pendapatan Abra. Seandainya Abra baik-baik saja jika yang ingin ia lamar adalah dokter gigi seperti Alya. Paling tidak, Abra tak akan krisis kepercayaan diri. Abra pasti baik-baik saja dan melenggang apik dengan sekeranjang buah yang ia bawa sebagai buah tangan.
Tetapi yang terjadi tidak seperti itu! Abra tidak bisa baik-baik saja. Bahkan ia pun tak ingat untuk membeli sesuatu sebagai bahan tentengan yang di bawanya berkunjung. Sumpah mati, Abra sama sekali tak berpikir sampai di situ. Karena batinnya masih sibuk berperang sendiri, selayaknya perang antar bangsa Romawi dan Yunani memperebutkan luas lahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Knock Your Heart
ChickLitSebagian BAB berada dalam Mode Private *** Yang satu tengah mencari calon suami, sementara lainnya masih berlari mengejar yang tak pasti. Lalu mereka bertemu karena sebuah konspirasi. Jangan tanyakan bagaimana mereka jatuh cinta. Karena pernikahan...