Abra tahu ada yang salah dengan otaknya seminggu belakangan ini. Abra paham betul bahwa iblis-iblis yang bersemayam dalam jiwanya tengah berpesta pora sekarang. Namun yang tak pernah Abra mengerti adalah bagaimana mungkin ia bisa segila ini.
Serius, Abra seperti berada dalam dunia yang tak bisa ia pahami. Sebuah kehidupan yang sama sekali tak dapat ia kenali.
Fix! Apa sih Abra ini?!
"Kamu siapa?"
Bahkan pertanyaan bernada datar itupun tak mampu Abra jawab. Padahal, biasanya ia selalu senang sekali kalau harus memperkenalkan diri. Seperti berada dalam kegamangan, ia merasa begitu bodoh sekarang.
"... tolong jika tidak bisa membahagiakanku, maka jangan melukaiku."
Saat ia sedang berjalan menuju ruang inap Amar, secara tak sengaja Abra mendengar rintihan itu. Membuat langkah Abra yang tadinya diseret pelan, mulai ia percepat karena peasaran. Hingga kemudian Abra menemukan wujud dari suara memelas tersebut.
"Aku juga ingin menikah, Lan. Aku juga mau menikah."
Rambut cokelatnya di kuncir satu, mengenakan sweater panjang berwarna biru tua, kakinya yang panjang dibungkus oleh jeans berwarna gelap. Wajah wanita itu memancarkan kesakitan. Hal yang kemudian didukung oleh air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Sorot matanya memancarkan kepiluan, dan walau wanita tersebut berdiri di antara keremangan, Abra menegang mengenalinya.
"Tapi dengan siapa aku harus menikah?"
Seperti dengingan yang merambat kaku, tiba-tiba saja Abra teringat kembali percakapan mereka. Dan semua itu memang mengenai pernikahan.
Jadi wanita itu serius saat mengatakan keinginannya untuk menikah? Abra pikir hanya sekadar delusi akut akibat terlalu stress tinggal di Ibukota saja. Lalu air mata wanita itu? Abra terdiam lama. Sebegitu pentingkah pernikahan itu untuk sosok tersebut? Sampai sayatan ngilu dapat Abra rasakan ketika isak tangisnya mulai mengisi kesepian malam ini.
"Dengan siapa aku harus menikah? Kalau tidak seorang pun pria yang kamu ketahui sedang dekat denganku."
Kalimatnya begitu sederhana, tetapi entah kenapa jantung Abra berdenyut nyeri karenanya. Apalagi saat Abra melirik sosok di depan wanita itu. Lelaki tersebut bertubuh tinggi tegap, tatapannya terasa dingin, tapi Abra dapat merasakan kejanggalan dari ekspresi tenang pria itu. Seperti sama-sama sedang menahan kesakitan, hingga tanpa sadar, Abra ikut meringis.
Dan otaknya yang sedag dalam kondisi kritis tersebut, malah memerintahkan tubuhnya untuk keluar dari persembunyian.
"A—aku," Abra bahkan masih bisa mendengar suaranya sendiri yang berucap ragu ketika mulai melangkah dari persembunyian. "Aku orang itu," dan wajah-wajah sendu tersebut langsung menatapnya kaku.
Shit!
Abra tak bisa menghentikan dirinya sendiri. Bahkan ketika lantang ia mengatakan langsung bahwa ia adalah calon suami si wanita. Sumpah, Abra tahu bahwa ia memang sudah tak waras sejak lama. Tapi ia tidak tahu, kalau ternyata sebegini gila dirinya.
Oh, my god!
Abra seperti sedang mengumpankan dirinya untuk menjadi sesaji pada malam Jumat keliwon. Sebagai perjaka yang paling di inginkan oleh Ratu Pantai Selatan. Serius, sesaat setelah Abra mengatakan hal itu, ia merasa bulu kuduknya meremang. Seharusnya Abra memiliki sedikit saja kontrol diri yang bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Knock Your Heart
ChickLitSebagian BAB berada dalam Mode Private *** Yang satu tengah mencari calon suami, sementara lainnya masih berlari mengejar yang tak pasti. Lalu mereka bertemu karena sebuah konspirasi. Jangan tanyakan bagaimana mereka jatuh cinta. Karena pernikahan...