33. Telur Dadar

50.9K 7K 647
                                    


*** 

Katanya mahligai itu indah

Katanya, kita berdua ini cinta

Dan katanya, tak akan ada yang berpisah

Lalu ternyata mereka berdusta

Kau dan aku rupanya hanya fatamorgana ...

***

"Eve, tunggu!"

Kepala Evelyn segera menoleh ke belakang, ditatapnya Fabian dengan sebelah alis terangkat. Pria itu sama sekali tak tampak akan pulang. Dan hal itu cukup membuat Evelyn penasaran. "Apa masih ada pekerjaan yang belum selesai, Yan?"

Fabian hanya mengangkat bahu. "Aku sedang menuju ke ruanganmu."

"Well, aku akan segera pulang."

Fabian mengangguk dengan dagu menunjuk tas yang di bawa Evelyn. "Semua orang juga tahu, Eve."

Evelyn jarang sekali memutar bola matanya, namun di hadapan Fabian akan selalu menjadi pengecualian. "Katakan keperluanmu, Papi. Karena Tante Evelyn sedang lelah dan ingin segera mandi."

Fabian terkekeh pelan, dia ingat betul, Evelyn akan menggunakan nada seperti itu jika sudah sangat kesal menghadapinya. "Berhenti marah-marah, Eve. Seorang pengantin harusnya beraura cerah." Evelyn mendengus dan Fabian tertawa. "Berikan nomor ponsel Abra," pria itu segera mengeluarkan ponselnya.

Kening Evelyn berkerut dalam. Tangannya segera terlipat di atas dada. Menilai Fabian dari atas ke bawah, Evelyn mencium sesuatu yang tak ia sukai dari gelagat Fabian. "Aku sedang tidak ingin bertengkar, Yan," ucap Eve dengan nada lelah. "Berhenti mencari perkara. Dan menjauhlah darinya. Seperti yang kamu bilang, Yan, pria itu terlalu polos untuk bergabung dengan segenap masalah kita." Bahkan dengan sangat sadis, Eve menyematkan delikan tajam untuk sepupunya itu.

Fabian langsung membuat ekspresi tercekik yang menyakitkan. "Dan berhenti main hakim sendiri padaku, Eve. Kamu pasti paham, bagaimana fatalnya main hakim sendiri saat ini." Fabian memberi Evelyn tatapan penuh peringatan. "Aku hanya ingin meminta nomor ponsel Abra, dan ngomong-ngomong pria itu sekarang adalah saudara iparku. Jadi tidak bolehkah sepupumu yang selalu berada dalam tanda kutip jahat ini meminta nomor ponselnya? Karena menurutku sekarang kami adalah saudara. Dan sebagaimana seorang saudara pada umumnya, kami harus mulai memperhatikan satu sama lain."

Evelyn mendecih, ia mengabaikan sindiran Fabian dan memilih mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Mungkin Fabian itu jahil, tapi Eve cukup yakin, pria tersebut tidak akan bertindak macam-macam. "Aku sudah mengirimnya," kata Eve setelah melakukan aktivitas sedikit dengan alat komunikasi di tangannya itu.

Fabian tersenyum dengan sudut bibir tersumir geli. "Suami Sah?" pria itu memperlihatkan layar ponselnya kepada Eve. Kali ini semburat geli langsung memenuhi wajahnya. "Apakah aku harus membuatnya viral?"

Eve meringis, seharusnya tadi ia bacakan saja nomor Abra dan membiarkan Fabian mengetiknya sendiri. "Dia yang membuatnya," Evelyn harus lebih berhati-hati mulai sekarang kepada siapa saja yang meminta nomor ponsel suaminya. Evelyn benar-benar tidak sadar kalau nama Abra dikontaknya sudah berubah.

Dan Fabian jelas semakin tertawa. "Aku bisa membayangkan itu," sahutnya geli. "Tapi baiklah, seperti yang sudah-sudah, rahasiamu selalu aman bersamaku."

Mengabaikan cengiran Fabian yang menjemuhkan, Eve memilih melambai. "Cepatlah pulang, aku akan menghubungi Tata di jalan. Aku merindukannya."

Fabian menyeringai, walau Evelyn sudah memberinya punggung yang perlahan akan menghilang. "Buat satu yang seperti itu, dan ayo kita lihat, sebesar apa rindumu saat harus meninggalkannya bekerja."

Knock Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang