34. Abra Bilang "Jombelo"

45.4K 5.8K 537
                                    

***

Benar-benar meresapi petuah Adam yang seperti biasanya—bijak, Abra melajukan mobil menuju salah satu bank tempatnya mengajukan kerjasama rekanan. Dan kali ini tujuannya bukanlah mencari Administrasi Kredit seperti tiap kali kunjungannya ke bank-bank rekanan. Hari ini, Abra tak tertarik menanyakan hal-hal terkait pekerjaan. Banting stir menjadi nasabah biasa, tujuan Abra adalah Customer Service.

"Satu-satunya cara buat ngobrol sama Tissa tanpa menimbulkan kecurigaan ya ini," Abra meringis saat kartu Atm dengan logo bank milik pemerintah ia keluarkan dari dompet. Matanya mengarah kesepanjang area parkir, dan desah panjang ia keluarkan kasar. "Duit gue ada di dalam ini," ringisnya menyakitkan. Matanya menatap sayang pada benda tipis yang ia amati berulang. "Tapi sebagai seorang Ksatria, gue harus berkoban. Ini demi masa depan!" serunya mantap, lebih berapi-api bahkan. "Lagian kan nanti langsung bisa di ganti sama Tissa. Atm doang sih, makanya gue berani melakukan hal tercela gini."

Ya, mematahkan media untuk menarik uang tunai dari mesin Anjungan Tunai Mandiri adalah cara alami yang bisa di dapatkan otak luar biasa Abra saat ini untuk mencoba mengobrol dengan Tissa tanpa membuat wanita itu menaikan sebelah alisnya tinggi-tinggi mendapati Abra ada di mejanya. Dan tanpa menunggu waktu lama, Abra mematahkan kartu tipis berwarna gold itu menjadi dua bagian.

Tek ...

Dan Abra bisa merasakan sedikit hatinya ikut patah juga.

Ah ...

"Kalau nggak gini, mana bisa gue ngomong sama Tissa tanpa menimbulkan prasangka. Hehehhee ... lo memang pinter, Ab." Puji Abra pada diri sendiri. Karena Abra cukup sadar diri, dan peribahasa mengenai air laut yang asin sendiri itu benar-benar cocok untuknya.

Kemudian Abra memilih keluar dari mobil, sembari membawa buku tabungan yang sudah ia persiapkan dari ruko tadi.

Yayaya, semenjak bangun pagi tadi, Abra sudah benar-benar mematangkan ide ini. Ia tidak ingin membuang-buang waktu. Rasa penasarannya harus diberi makan, dan salah satu umpannya ada pada Tissa. Jadi, Abra tak keberatan mendatanginya sejenak.

"KTP udah di dompet," gumamnya berjalan. "Buku tabungan udah ready. Sekarang cuma tinggal mengerahkan mimik muka gue dengan serius. Dan Tissa pasti nggak tahu tujuan awal gue datang ke sini sebenarnya buat apa." Dan Abra merasa sangat cerdik sekarang. "Kok gue makin pinter gini ya?" Ia berdecak bangga. "Kayaknya udah cocok nih gue jadi dosen. Tinggal sekolah dikit lagi, terus di panggil Profesor Abra. Elah, permisi, Prof." Lalu dengan tak tahu malu Abra terbahak sendiri.

***

Sebelah alis Tissa terangkat naik, sementara tangannya sedang menimbang-nimbang patahan kartu Atm yang disodorkan Abra dengan senyum masam. "Bisa patah gini banget ya, Bang?"

Abra mengangguk segera. "Ya bisalah, Tis. Itu cuma kartu. Hati manusia aja sering patah kali, Tis."

"Kalau nggak inget lo udah nikah, gue bakal nganggap lo lagi curhat." Tissa mencibir, ia hanya menggelengkan kepalanya saja setelahnya. "Lo nyimpen Atm di mana sih? Dompet 'kan? Atau ini patah abis lo nyendok semen?"

"Abis ngupil! Makanya patah!" dumel Abra jengkel.

"Dih, jijay gue!" Tissa pura-pura bergidik. "KTP lo belum di upgrade nih, Bang?"

Mengerti maksud Tissa, Abra cengengesan saja. "Kalau ganti status berarti ganti KTP lagi ya, Tiss?" Tissa mengangguk tanpa mengalihkan perhatian dari komputernya. "Datengnya ke mana sih? Catatan Sipil atau ke kantor Kecamatan?"

"Kantor polisi!" Sahut Tissa sok judes. "Lo kalau ngoceh suka ngeselin ya, Bang? Minta ditabok gitu biar sadar."

Abra mengabaikan sindiran Tissa, karena pria itu bersiap mengoloknya. "Makanya nikah, Tis. Gue sih punya penelitian setelah nikah ya. Bahwa sekarang yang lebih menyedihkan dari kaum dhuafa tuh ya, kaum jombelo. Semodel lo gitu."

Knock Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang