73.

244 44 3
                                    

Loncatan Yerin tak terkendali, hingga akhirnya Ia terpeleset. Yerin hampir terjatuh, namun Jimin dengan sigap meraih tubuh Yerin.

Mata mereka saling menatap. Dengan posisi tangan Jimin yang belum mau melepasnya pada pinggang Yerin.

Yerin membatin, akang Herman makin ganteng aja kalo diliat dari jarak sedekat ini.

"Lo gapapa kan, Rin?" Tanya Jimin membunyarkan khayalan Yerin.

Yerin membenarkan posisi tubuhnya menjadi tegak berdiri, "I-iya, kang. Eneng gapapa kok. Licin tadi jalannya."

"Eh, Rin. Deket sini ada yang jual cilok gak?"

Entah kenapa, pertanyaan itu menyeruak keluar dari mulut Jimin.

"Akang Herman suka cilok ya?"

Jimin mengangguk.

Yerin bergumam sebentar, "Kayaknya sih ada di depan SMA QWERTY, kang."

Mendengar nama SMA itu, mendadak kepala Jimin berpikir keras.

Kayaknya gue pernah denger nama sma itu deh.

"Mau kesana, kang? Gak jauh dari sini kok."

"Boleh, boleh. Yuk."

🐻🐻🐻

Seulgi kini terdiam membisu. Ia tak bergairah hidup. Untung saja jam terakhir dikelasnya adalah jam kosong, sehingga sakit kepala yang dideritanya itu tak perlu bertambah dengan materi pelajaran. Jadi, setelah UN ini, sekolah Seulgi masih mengadakan proses belajar-mengajar menjelang SBMPTN sambil menunggu hasil nilai UNBK. Tapi, saat ini guru Ekonomi tak mengajar hari ini.

Wendy dan Irene yang melihat sahabat mereka sedih itu turut merasakannya. Tapi, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membuat Seulgi tersenyum lagi.

Wendy memberanikan diri membuka mulutnya yang sedari tadi terkunci rapat.

"Seul."

"Jangan ceramahin gue sekarang. Tolong."

Wendy membuang nafasnya, pupus sudah keinginannya untuk memberikan Seulgi pencerahan.

Irene menaruh telunjukknya di bibir, mengisyaratkan pada Wendy agar diam saja kali ini.

•••
Bel pulang sekolah berbunyi, semua murid berhamburan pulang.

"Balik yuk, Seul." Ajak Irene sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.

"Lo berdua duluan aja. Gue masih mau disini." Jawabnya pelan.

"Ta-tapi, kelas udah kosong, Seul. Masa lo sendiri aja disini. Kita temenin ya?" Tawar Wendy halus.

Seulgi menggebrak mejanya murka, "GUE BILANG DULUAN YA DULUAN AJA! LO BERDUA PUNYA TELINGA GAK SIH?! UDAH SANA PERGI BURUAN!"

Sepanjang pertemanan mereka, Seulgi jarang sekali membentak Wendy dan Irene sekeras itu. Tapi, Seulgi yang dulu bukanlah yang sekarang. Ia yang dulunya ramah berubah menjadi pemarah.

Dan itu semua karena Jimin.

"Seul, niat kita itu baik. Kenapa lo malah marah-marah sih?" Wendy sedikit emosi.

Berbeda dengan Wendy yang masih bisa mengontrol ucapannya, Irene justru tidak. "YAUDAH SERAH LO AJA. DIEM AJA DISINI SAMPE MALEM. BIAR JADI TEMENNYA PENUNGG KELAS. GUE GAK PEDULI."

Irene melangkah pergi.

"Ren! Lo mau kemana?" Tanya Wendy ketika Irene mencapai pintu kelas.

"Ayo pergi, Wen! Gada gunanya kita disini. Percuma tau ga?"

Wendy menepuk pelan bahu Seulgi, "Seul, lo yakin mau disini sendiri?"

"Pergi aja. Gue butuh waktu sendiri."

"Yaudah, Seul. Kalo gitu gue pergi dulu ya."

Irene dan Wendy benar-benar pergi.

Sunyi. Sepi. Sendiri. Tiga kata berawalan huruf S itu kini menyertai Seulgi.

"Jimin dimana? Apa dia baik-baik aja?"

Seulgi berdiam diri di kelas selama beberapa menit, hingga akhirnya Ia memutuskan untuk pulang. Entah mengapa kakinya tergerak untuk melangkah keluar.

•••
"Itu gerobak cilokanya, kang." Tunjuk Yerin ketika mereka tiba disana.

Jimin dan Yerin berjalan berdampingan menuju gerobak cilok tersebut.

Ketika sampai, sekilas ingatan Jimin teringat. Ia tengah mendorong gerobak cilok di jalanan.

Kok gue dorong gerobak cilok sih?

"Buk, ciloknya dua ya lima ribu."

Penjual itu segera membuatkan pesanan Jimin.

•••
Seulgi menuruni anak tangga dengan hati-hati. Hari ini dia diantar-jemput. Dia akan mengirim pesan pada ayahnya ketika sampai di depan gerbang sekolah saja.

Tepat sebelum Ia mengirimkan pesan, Seulgi menoleh ke arah gerobak cilok yang tak jauh dari tempatnya berdiri itu. Ia melotot kaget ketika melihat sosok yang dikhawatirkannya itu ada disana.

"Ji-jimin? Itu Jimin kan?" Seulgi berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

"JIMIN!!!" Teriak Seulgi seraya berlari menghampiri Jimin.

Ia memegang lengan kiri Jimin, "Jim, kamu kemana aja? Kenapa kamu gak ngabarin aku?"

Jimin dengan polosnya bertanya, "Kamu siapa?"

Melihat ada perempuan asing yang menyentuh Jimin, Yerin yang cemburu langsung melepas pegangan Seulgi dengan kasar.

"Maaf, neng. Namanya bukan Jimin, tapi kang Herman."

"Apa? Herman?"

"Mungkin eneng salah orang." Tutur Yerin lagi.

Seulgi membatin, kenapa muka Herman mirip banget sama Jimin? Setau gue Jimin ga punya kembaran deh.

"Ma-maaf. Saya kira kamu itu Jimin. Maaf sekali lagi."

Seulgi berjalan kembali ke posisi nya berdiri tadi. Namun, pandang matanya tak mau berpaling dari sosok Herman itu.

Dari kejauhan Seulgi terus memperhatikan gerak-geriknya, bahkan ketika mereka sudah berjalan menjauh dari SMA QWERTY.









Gue yakin banget itu Jimin. Tapi, kenapa dia gak ngenalin gue?

Tbc

[✔️] Cilok Cinta | seulminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang