[52] Missisipi yang terlupakan

1K 126 70
                                    

Shawn

Tepat pada hari ini orangtua Niall bakal pulang, dan otomatis waktu gue untuk tinggal udah abis. Tapi--gue sama sekali belum nemu tempat tujuan setelah pergi dari sini nanti.

"Shaun sadar!"

Gue tersentak, "Hah apa?"

Kita berdua lagi menghabiskan makan siang di meja makan, Niall duduk tepat di hadapan gue.

"Dari tadi lo ngelamun mulu, tumben makan sedikit," omelnya.

Gue terkekeh pelan sembari mencoba menghilangkan berbagai argumen yang berputar tak terkendali dalam pikiran. Ya, gue berhasil karena rasanya para nugget yang tergeletak di piring udah senyam-senyum sambil melambai minta dimakan.

"Hari ini orangtua lo pulang jam berapa?" tanya gue di sela kunyahan.

Niall berhenti makan dan natap gue, "Jam tujuh kurang seperapat lebih lima menit orangtua gue sampe rumah."

"Serumit itu ya?"

"Iyalah."

"Harus ya?"

"Iya."

Jeda sejenak, Niall mendaratkan satu sendok nasi dan secuil nugget ke dalem mulutnya. Setelah itu dia kembali natap gue, kali ini dengan tatapan yang lebih lembut dari sebelumnya.

"Lo ga perlu pergi kalau emang belum nemu tempat tinggal baru," ucap Niall terdengar cuek, tapi gue bisa ngedenger kekhawatiran dalam nada suaranya.

Gue emang belum nemu tempat buat tidur malam ini, tapi pergi adalah satu-satunya cara terbaik. Gue udah mengenal keluarga Niall, dan dia pasti bakal kena marah kalau orangtuanya tau ada orang lain tinggal di rumah mereka. Gue udah cukup ngerepotin dengan tinggal beberapa hari disini, itu udah lebih dari cukup.

Gue ga tau harus tinggal dimana. "Gue udah nemu tempat tinggal baru kok, lo ga usah khawatir."

"Lo baik-baik aja kan?"

Ga, gue engga baik-baik aja. "Iyalah pasti, gue kan seutrong."

Beberapa menit berlalu, dan para nugget yang semula melambai-lambai bahagia udah pindah habitat ke dalem stomach gue. Selamat menempuh hidup baru guys!

Gue beranjak dari duduk dan melangkah menaiki tangga, hendak menuju kamar.

"Lo mau kemana?" pertanyaan Niall berhasil membuat kepala gue menoleh.

"Mau beresin barang-barang di kamar."

Niall lari mendekat, "Ini masih siang, lo mau pergi sekarang?"

Gue mengangguk, "Iya, kalo pergi malem takutnya kesasar, mending sekarang kan?"

Niall bergumam kecewa, "Yah elu mah gitu."

Mengabaikan gumaman ga jelas yang terus dia ucapkan, gue pun melanjutkan langkah menuju kamar. Seluruh baju ganti dan barang-barang lainnya gue masukin ke dalem tas. Dan yang terakhir---gue memandang lemah ke arah benda yang tergeletak di atas nakas, itu barang pemberian Wydi, kado ulang tahun yang dia kasih tahun lalu, Al-Qur'an. Gue menyambar benda itu dan memasukannya ke dalem tas, menyimpannya di bagian paling aman.

Semuanya selesai, gue menghembuskan napas panjang untuk menyiapkan kekuatan dalam hati dan diri.

"Bismilahirahmanirahim," gumam gue sembari bangkit berdiri dan bergegas pergi menghampiri Niall di lantai bawah.

Saat menuruni tangga, Niall udah nunggu gue sambil jalan mondar-mandir ke kanan dan ke kiri. Dia berhenti gerak saat kedua matanya menangkap bayangan sosok tampan yang lagi jalan. Ya, dalam situasi apapun alay dan narsis itu penting!

Haji MendesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang