Special Part Satya: The Man Who Can't be Moved

38.3K 2.1K 109
                                    



Ponselku berdering, menandakan pesan singkat masuk. Aku mengangkat wajahku dari tesis yang sedang kuperiksa, mengambil ponsel yang berada di atas bantal empuk yang terletak di samping. Ternyata seseorang dari masa lalu dan pernah aku temui beberapa bulan yang lalu mengirim pesan.

Pak Satya, apa kabar? Datang ya ke acara akikah putra pertama kami. Besok siang pukul 10 s/d selesai. Alif dan Sakti.

Aku tersenyum, Alif tidak melupakanku dan berusaha menjalin tali silaturahmi kembali setelah pertemuan kami pada acara wisudanya. Beberapa kali ia menelpon dan mengirim pesan setelah acara itu, tetapi aku menanggapi sekedarnya karena aku tahu posisiku. Aku pernah menaruh hati padanya dan dengan tidak tahu malu masih mengharapkan dirinya yang pada waktu itu masih berstatu sebagai mahasiswaku, walau tahu ia telah dimiliki oleh orang lain.

Masih menatap layar ponsel aku berpikir untuk menjawab apakah akan datang atau tidak... aku menggeleng untuk mempertimbangkan kembali. Segera aku menghubungi Sammy, gadis bengal kesayanganku, menanyakan apakah ia mempunyai waktu untuk menemaniku di acara akikah itu.

***

Hari ini aku mampir kembali ke fakultas magister ekonomi, menjemput Sammy. Hari ini jadwal mengajar sampai jam empat sore dan juga tidak ada jadwal mengajar di salah satu kampus universitas swasta di Jakarta Barat. Aku telah memberitahu Sammy kalau aku ingin bertemu dengannya sore ini dan dia tidak perlu membawa motor bututnya ke kampus.

Mobil kuhentikan begitu melihat sosok langsingnya yang muncul di depan gedung perkuliahan, ia terlihat menonjol dibanding rekan-rekannya karena tinggi tubuhnya yang di atas rata-rata dan penampilan slebornya. Hari ini ia mengenakan kemeja yang sedikit kebesaran dan celana berwarna gelap, Sammy sama sekali tidak mengenakan make-up. Aku menggelengkan kepala, merasa bingung dengan ketidakpedulian gadis itu terhadap penampilannya.

Senyumnya merekah ketika aku melambaikan tanganku, Sammy segera menghampiriku yang masih berada di balik kemudi.

"Gak ngajar malam ini, Kak?" Sammy membuka pintu mobil dan melesakkan tubuhnya ke kursi penumpang di sebelahku.

"Hari ini nggak, makanya aku bisa jemput kamu. Makan malam, yuk?" aku segera mengemudikan mobil menuju tempat makan favoritku, resto ala mahasiswa yang sederhana tapi aku sangat menyukai suasananya.

Sammy mengerutkan keningnya, lalu melirik jam tangan. "Makan malam? Jam segini? Tanggung."

"Jadi maunya apa?" Aku meringis melihat kemacetan yang terjadi di putaran balik menuju Margonda.

"Sholat dulu." Dia nyengir dan matanya mencari sesuatu yang aku kira pasti masjid, Sammy sama sekali tidak berubah. Ia tidak pernah melalaikan kewajibannya semenjak aku memberi tahunya bahwa sholat itu wajib bagi yang baligh dan sedikit ancaman juga aku lontarkan ketika ia masih berusia tujuh tahun.

"Tapi sepertinya gak ada masjid dari sini hingga ke tempat kita akan makan. Bagaimana kalau kita sholat di musholla restoran saja? Macet parah begini, mungkin kita akan sampai setengah jam lagi."

Sammy mengangguk lalu bibir mungilnya berceloteh riang tentang rekan kerjanya, pekerjaan menghitung angka kredit dosen-dosen senior hingga titipan salam dari temannya yang ia kenalkan kemarin.

"Kak Satya, kayaknya dia suka sama kakak. Amira cantik dan baik, kalau Kakak suka aku jodohin nih."

Aku hanya tersenyum menanggapinya, sungguh aku tidak berminat menjalin hubungan spesial dengan wanita saat ini.

"Kok gitu sih tanggapannya. Kan Kak Satya belum punya calon kan?"

"Calon?" Aku meliriknya geli.

"Calon istri." Sammy memajukan bibirnya, gemas karena aku berlagak tolol.

My Young BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang