•3• Kesal

49 11 5
                                    

Benci dan cinta itu beda tipis. Jadi, jangan salahkan benci bila cinta dan jangan salahkan cinta bila benci.

-Little Change-

"Sialan!"

Emosi terus menjalar diseluruh tubuh Thessa. Ia tak habis pikir, masalah sekecil itu bisa membuat darahnya naik-turun dikepalanya. Bahkan, untuk melampiaskan emosinya tadi, ia melempar sebuah batu kearah mobil yang melintas diarea sekolahnya.

Untung saja, ia dengan spontan berlari dan bersembunyi dibalik kantor guru.

Caesa yang hendak menuju kedapur itu langsung memutar tubuhnya dan menghampiri adik satu-satunya itu. "Lo kenapa?" seraya menggamit tangan Thessa yang mengepal erat seperti ingin menonjok orang.

Api seolah-olah terpancar di iris mata Thessa. Caesa tahu, adiknya ini mudah sekali tersulut emosi. Masalah sepele saja marahnya seperti ini, apalagi masalah yang besar?

Membuat Thessa meredam emosinya itu susah bagi Caesa. Apalagi, Thessa dikenal sebagai anak yang keras kepala. Tapi, Caesa berusaha untuk bisa membuat Thessa mendinginkan kepalanya dan menceritakan semua masalahnya kepada dia.

"Ca, Eca kenapa?" tanya Caesa. Ia sehalus mungkin bertanya tentang keadaan adiknya.

Thessa sedikit menunduk. Caesa memang lebih pendek darinya, tetapi, pelukan Caesa sangat nyaman baginya. "Kak, gue males sekolah."

Caesa mengernyit. "Kesambet apa lo tiba-tiba kek gini?"

"Gue gak suka dibanding-bandingin sama lo disekolah," tutur Thessa datar. Ia melepas kedua tangan Caesa dari pundaknya. Lagi-lagi Caesa dibuat bingung oleh Thessa.

"Maksudnya apa, sih?"

"Maksudnya apa?" Thessa memicingkan matanya kearah Caesa. "Gue selalu dibanding-bandingin guru sama lo! Lo tau gak?"

Akhirnya, beban dipikiran Thessa selama ini keluar juga dari mulut Thessa. Suaranya bergetar. "Setahun Kak, setahun gue dibeda-bedain mulu sama guru. Lo tau 'kan? Gue sama lo beda, Kak. Lo pinter, berprestasi, mengharumkan nama sekolah, murid terbaik di SMA Pancasila. Tapi kenapa, setiap gue ngelakuin kesalahan sedikit, semua guru nganggap gue itu kek ngelakuin kesalahan yang sangat fatal. Gue seperti sampah dimata guru. Nilai gue hancur, Kak. Kalo Papi datang, beban gue nambah satu. Dia pasti ngebangga-banggain lo mulu Kak ke semua teman-temannya."

Caesa bergeming ditempat. Pertama kali, ini pertama kalinya Thessa mengeluarkan semua beban dan pikiran yang tersimpan dikepalanya. Ia bingung. Kali ini, ia tidak tahu caranya bagaimana menyelesaikan masalah ini.

"Kak, gue berusaha untuk berubah," ujar Thessa seraya menyeka air matanya yang jatuh. "Setiap gue mau berubah, ada aja yang membuat gue urung untuk melakukannya. Setiap gue bertindak sopan dimata guru, yang ada gue dibilang pencitraan. Gue capek, Kak."

Caesa menggenggam tangan Thessa erat. Ia merasakan dinginnya tangan Thessa. "Ca, jadi diri-sendiri itu lebih baik daripada berubah menjadi orang lain. Lo gak seharusnya ngedengerin apa yang orang lain katakan kalo itu buruk. Lo juga biasanya cuek bebek aja kan?"

"Kak." Thessa kesal. Ia tidak bisa melampiaskan kekesalannya terhadap Caesa. Ia tidak bisa beradu mulut dengan Caesa. Lebih baik, ia menangis daripada membalas perkataan kejam dari orang lain.

Little Change [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang