Hospital

1.8K 356 184
                                    

jangan mati liat mulmed

Calum's

××

Gue berlari dan terus berlari, menerobos lalu lalang orang yang berada di rumah sakit. Gue gak peduli kalau ada yang gak sengaja gue tabrak, yang ada di pikiran gue saat ini adalah dia. Ketika ada seseorang yang menelfon gue pakai nomor telfon Audrey, dan bilang kalau Audrey kecelakaan, gue langsung berteriak dimana Audrey berada sekarang dan orang itu mengatakan kalau dia berada di rumah sakit ini.

Dan ditengah perjalanan gue, orang itu bilang kalau Audrey dilarikan ke ruang operasi.

Apakah keadaannya sangat parah sampai-sampai harus dioperasi? Apa semua ini gara-gara gue? Apa Tante Shava bakalan marah ke gue? Apa Audrey akan baik-baik aja?

Saat gue sampai di depan ruang operasi, ada dua orang paruh baya yang satu laki-laki dan satunya lagi perempuan. Di tangan laki-laki itu menggenggam ponsel Audrey.

"Gimana Audrey?" tanya gue dengan napas tersengal-sengal. Kedua orang itu langsung berdiri menghampiri gue.

"Kamu Calum?"

Gue mengangguk.

"Calum, pertama, duduk dulu aja biar kamu tenang."

"Tenang? Temen saya di dalam sana dan saya disuruh tenang?!" teriak gue penuh emosi.

"Calum...,"

"Astaghfirullah," erang gue. Mengalah, gue duduk diikuti kedua orang tadi.

"Lebih baik kamu berdoa buat temen kamu," kata si Om lagi.

"Maaf, Om, tapi saya bener-bener harus tahu gimana keadaan temen saya," tukas gue tajam.

"Gini," gue menoleh ke si perempuan paruh baya yang berada di samping kanan gue yang gue asumsikan adalah istri si Om ini. "saya denger tadi dokter bilang kalo temen kamu mengalami pendarahan di otak. Dan ada pecahan kaca yang tertancap di paru-paru, serta kaki kirinya yang terjepit. Kurang lebihnya seperti itu yang saya dengar. Mereka langsung membawa temen kamu ke ruang operasi."

Kaki gue mendadak lemas. Seluruh otot dan saraf gue seakan diambil paksa sampai gue gak bisa bergerak sedikitpun. Keadaan Audrey parah banget, gue tahu itu. Dan di dalam sana, dia sedang dioperasi.

"Kita nemuin ini, dan langsung nelfon kamu," kata si Om, menyerahkan handphone Audrey ke gue.

Mata gue memanas, ingin menangis. Tapi gue harus tahan karena gak ada untungnya buat gue kalau nangis.

"Nama saya Andrew Hemmings, dan ini istri saya, Liz. Kamu tenang aja, kami berdua bakalan di sini sampai temen kamu selesai dioperasi. Lagipula, kami adalah saksi saat temen kamu kecelakaan," jelas si Om yang gue ketahui bernama Andrew.

"Makasih ya, Om. Saya... saya gak tahu harus berbuat apa."

"Untuk pertama, saya sarankan kamu telfon keluarganya."

Iya. Benar. Gue harus telfon Tante Shava.

Gue pun mengambil handphone gue dan mencari kontak Tante Shava. Setelah ketemu, gue langsung menelfonnya dan tidak membutuhkan waktu lama, Tante Shava menjawab dengan nada ceria.

"Holaaa Ma Baby Calummm! What's up, honey? Kalian lagi dimana sekarang?"

Gue menggigit bibir bawah, gak tega buat memberi kabar buruk ini ke Tante Shava.

"Tante...,"

"Iya, Calum, ada apa? Audrey mana? Udah pada makan 'kan?"

"Tante, Audrey kecelakaan. Dia pergi nyetir mobilnya sendiri―"

"Calum, kalo mau ngasih prank yang bagusan dikit napa haha. Kalian dimana sekarang?"

Gue menutup mulut menggunakan sebelah tangan. "Tante, Calum gak lagi bercanda. Audrey kecelakaan. Sekarang dia lagi dioperasi di Rumah Sakit Medika."

"..."

Gue gak mendengar satu suarapun di seberang sana. "Tante?"

tut.. tut..

-

Tiga jam menunggu, belum ada tanda-tanda pintu ruang operasi terbuka. Gue sampai membayangkan kalau ini semua cuma guyonan dan saat pintu ruang operasi terbuka, Audrey ngasih surprise ke gue dengan cengiran lebarnya.

Tapi kayaknya kejadian ini memang benar-benar nyata.

"Calum, minum dulu." Tante Liz menyodorkan sebotol aqua ke gue. Tapi gue gak haus.

"Minum dulu." Gue pun mengalah dan meminum air mineral itu.

"Gimana mamanya temen kamu?" tanya Tante Liz.

"Saya gak denger dia bersuara lagi dan langsung mutusin sambungan telfon. Mungkin dia lagi perjalanan kesini."

"Butuh berapa jam kesini?"

"8 jam. Itu juga kalau lalu lintas lancar."

Tante Liz menyentuh bahu gue dan seketika gue merasa ada sosok Ibu yang menenangkan gue. "Kamu harus sabar, banyak berdoa buat temen kamu."

Gue menunduk dalam, mengingat kejadian di pantai tadi. "Ini semua salah saya."

"Gak ada yang perlu disalahkan sekarang. Audrey butuh doa dari kita, Calum."

Kemudian, karena sudah lama memendamnya, tangis gue pecah. Gue menangis karena rasa sesal di dalam hati. Gue menangis karena membiarkan Audrey pergi.

Hari itu, gue menangis kencang, seakan gak ada hari esok untuk gue menangis lagi.

××

dah habis halan2nya :-(

7 days driver • cth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang