A Choice

1.4K 333 251
                                    

Sudah satu minggu.

Setelah gue pulang dan Calum mencurahkan isi hatinya yang takut kehilangan gue, dia menghilang. Satu minggu ini dia gak pernah lagi datang ke rumah, gue mencoba menelfon tapi nomornya tidak pernah aktif. Gue mencoba untuk menghubungi teman-teman kuliah tapi mereka bilang Calum sering tidak masuk.

Dan saat ini, gue tengah termangu di balkon kamar, memegang secarik kertas yang Calum letakkan di nakas meja yang kemungkinan besar saat gue tidur. Untuk yang kesekian kali gue membaca isi pesannya.

"Central Park. If you remember me."

Dan yang menjadi masalah adalah sampai sekarang, gue belum ingat tentang dia. Sosok laki-laki yang muncul tiap gue mengingat tidak pernah tergambar secara jelas. Benar-benar blur.

Membuat gue belum sepenuhnya yakin kalau sosok laki-laki itu adalah Calum.

"Audy?"

Buru-buru gue menyimpan secarik kertas tadi ke kantung celana. Gue berbalik, mendapati Luke berdiri di belakang gue, lengkap dengan senyum canggungnya.

"Hi," sapa gue balik tersenyum.

"Belum makan, 'kan?" tanya Luke, mendekat dan menyentuh lengan gue.

"Belum."

"Yaudah, tunggu apa lagi?" Luke menaikkan sebelah alisnya membuat gue tertawa ringan.

Akhir-akhir ini gue juga semakin dekat dengan Luke. Dia sering mengajak gue jalan-jalan dan makan di luar.

Seperti saat ini, kami berdua sudah di dalam mobilnya, menuju ke restoran langganan kami dengan tangan kanan Luke yang menggenggam tangan kiri gue. Gue melihat tangan kami yang bertautan.

Saat Luke melakukan skinship dengan gue, gue gak merasakan apapun. Entah itu jantung yang berdebar atau perasaan nyaman.

Gue merasa biasa saja.

Gue hanya menyukai senyumnya yang selalu mengembang itu.

Maka gue membiarkan Luke menggenggam tangan gue sampai kami berdua memasuki restoran dan duduk. Luke memesan makanan sementara gue hanya diam.

"Dy?"

Gue mendongak. "Iya?"

"Lo kayak banyak pikiran?" tanyanya khawatir.

Gue menggeleng dan tersenyum. "Gue baik-baik aja kok."

Setelah itu kami berdua hanya berbincang kecil sampai makanan datang. Namun siapa sangka, saat gue mengunyah tiba-tiba gigi gue merasakan sesuatu yang keras. Tulang?

Bukan, bukan. Gue gak makan ayam atau sejenisnya.

Gue pun mengeluarkan benda keras di mulut gue menggunakan lap tangan. Saat gue melihat benda keras itu gue terdiam. Kemudian gue menatap Luke.

Dia meraih satu tangan gue dan meremasnya pelan.

"Audy, gue tau ini terlalu cepat tapi...,"

Jantung gue berpacu tiga kali lipat, menimbulkan keringat bermunculan dan membuat tangan gue jadi basah.

"Would you be my girlfriend?"

Gue mengatupkan mulut kemudian melihat cincin perak cantik berhiaskan 3 berlian kecil yang masih berada di tangan gue.

Sebagian hati gue menerima Luke. Ya, Luke adalah laki-laki baik yang selalu memperlakukan gue layaknya seorang putri.

Namun sebagian hati gue menolaknya karena gue sama sekali gak punya rasa ke dia. Selain itu, gue masih ingin mencoba mengingat Calum. Melalui sorot matanya, gue yakin Calum masih menunggu gue untuk bisa kembali mengingatnya.

"Audy?" panggil Luke.

Gue mendongak dan menatapnya dengan rasa bersalah kemudian menarik tangan gue yang sedang digenggamnya.

"Luke, gue rasa kita sebaiknya jadi temen aja."

Binar-binar di kedua mata Luke meredup seketika. Itu membuat gue semakin merasa bersalah dan bodoh karena berani menolak laki-laki seperti dia. Sungguh, gadis mana yang mampu lari dari pesonanya?

Tapi gue benar-benar gak merasakan hal itu.

"Apa lo masih berusaha buat inget dia?" tanya Luke, kali ini gue bisa melihat kilatan amarah di kedua matanya.

"Jujur iya. Ada sesuatu yang membuat gue harus berusaha inget sama dia. Perasaan itu..., gue gak tau tapi hati gue mengatakan kalo gue harus berusaha buat inget dia." Mata gue mulai memanas saat melihat Luke menjadi terlalu emosi.

"Gue lebih baik, Dy."

"Gue tau. 99% cewek juga tau kalo lo adalah cowok yang baik. Dan lo berhak mendapatkan salah satu dari 99% cewek itu karena gue adalah bagian 1% cewek yang gak bisa melihat sisi kebaikan diri lo."

Mata Luke mulai berkaca-kaca. Ia mengusap kasar wajahnya dan melihat gue dengan tatapan sendu. "But I love you."

Gue menggeleng.

"Selama bertahun-tahun gue menyimpan perasaan ini cuma buat lo, Dy."

"Sorry, Luke. Ini demi kebaikan kita berdua." Setelah itu gue keluar dari restoran seraya mengusap air mata yang berlinang.

Gue gak bisa.

Gue harus berusaha mengingat sosok laki-laki itu.

Saat gue hendak menyeberang, tiba-tiba rasa sakit yang hebat itu datang lagi menyerang kepala gue. Ribuan pisau seakan menusuk-nusuk kepala gue, membuat gue ambruk seketika.

"God!!!" Gue mencengkeram erat kepala gue.

Gambaran sosok laki-laki yang ada di ingatan gue kembali bermunculan, layaknya gulungan roll film yang diputar. Semakin jelas wajah laki-laki itu, semakin kepala gue merasa sakit. Dan dengan sekuat tenaga gue menahannya, demi melihat jelas siapa laki-laki itu.

Keringat dingin mulai berlomba menuruni pelipis gue. Sampai terpampanglah jelas wajah Calum yang bermunculan di ingatan gue.

Saat ia tertawa.

Saat ia sedih.

Saat ia marah.

Saat ia bahagia.

Saat matanya menatap gue penuh rasa sayang.

Saat genggaman tangannya yang membuat gue nyaman.

Saat kami berdua bermain di pantai dan dia mendekap tubuh gue yang menggigil.

Gue mengingat Calum.

××

alhamdulillah

bentar lg habis ya Allah akhirnyaaaa

keep vomments ya yank <3

7 days driver • cth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang