CH 9

3.9K 186 5
                                    

[]

DEVAN belum benar-benar pergi. Laki-laki itu menangkap setiap detik kejadian setelah ia meninggalkan Atha tadi dan langsung berbalik lagi, mengintai. Atha benar-benar tidak boleh dibiarkan sendiri.

Tanpa pikir panjang, Devan langsung mendekati Atha dan mengusap kepala gadis itu pelan. Laki-laki itu meraih ponselnya di saku jaket dan langsung menghubungi Rafa untuk menyuruhnya kesana sekarang juga.

Melihat darah yang masih sedikit mengalir dari pelipis Atha, Devan lantas menahan darah itu dengan ujung jari telunjuknya. Tangan kirinya masih berusaha membangunkan Atha dan matanya tak henti menatap rumah besar di depannya, takut kalau Mella kembali keluar.

Beberapa menit kemudian, Rafa tiba menggunakan mobil. Tadi ia disuruh parkir agak jauh dari lokasi Devan, jadi laki-laki itu harus berjalan untuk kemudian melihat pemandangan yang membuatnya mulai kasihan pada Atha.

"Raf," Devan menoleh kearah Rafa yang masih berdiri. "Bantu gue lagi, ya?"

Rafa menghela nafasnya. Mau bagaimanapun juga, Devan sahabatnya sejak kecil. Sesama sahabat harus saling membantu.

Devan menyerahkan tas Atha kepada Rafa, sementara laki-laki itu menggendong Atha menuju ke mobil sahabatnya. Setelah memastikan Atha berada di posisi yang benar, Devan pindah ke jok depan dan menyuruh Rafa melajukan mobilnya ke rumah Dhira.

"Nggak ngerti lagi, gue," Devan memijit pelipisnya. "Lo nggak akan percaya orangtua Atha seberapa ganas."

Rafa menoleh kearah Devan sejenak dan kembali melihat jalan. Laki-laki itu bingung harus merespon bagaimana, jadi ia diam saja.

Hanya keheningan yang mengisi sampai mereka tiba di rumah Dhira. Setelah menyuruh sepupunya keluar, Devan menggendong Atha dan Rafa dengan baik hati kembali membawa tas gadis itu.

Dhira terdiam kaku melihat Atha yang pingsan dengan darah yang mengering di pelipisnya. Tak sempat bertanya apapun, ia langsung menyuruh Devan membawa Atha ke kamarnya yang cukup luas.

Seperti di rumah sendiri, Devan sudah tahu letak benda-benda disana. Ia langsung mencari baskom kecil yang diisi air hangat dan kain. Setelah dapat, ia kembali ke kamar Dhira dan mendapati Dhira yang sedang bertanya pada Rafa dengan panik.

Devan mencelupkan kain ditangannya kedalam baskom, memerasnya, kemudian mulai mengelap darah di pelipis Atha dengan lembut. Ia juga mengelap darah yang ada di tangan gadis itu. Sepertinya Atha tadi sempat menahan darahnya, tapi gagal.

Setelah bersih, Devan meletakkan baskom itu di meja di dekat kasur Dhira dan menatap Atha penuh kasih sayang. Devan lantas menggenggam jemari Atha dan berharap gadis itu segera siuman.

Dhira mendekati Devan. "Van... Atha kenapa?"

"Korban broken home," Devan masih menatap Atha. "Dia korban broken home, dan orangtuanya lebih ganas dari apapun,"

Dhira menatap Atha tak percaya. Jadi, selama ini, penyebab Atha selalu murung adalah... karena dia korban broken home?

"Dan kalian tolong jangan pernah bilang ke dia kalo kalian tau masalah keluarga dia. Dia nggak bakal suka," Devan bergantian menatap Dhira dan Rafa yang dibalas dengan anggukan oleh keduanya. "Ra, tolong bikinin cokelat panas sama sup ayam buat Atha. Dia belum makan dari siang."

Dhira kembali mengangguk dan dengan cepat langsung menuju ke dapur. Rafa hendak menyusul, tapi ia sadar, situasinya saat ini sedang darurat dan dia tidak akan mengambil kesempatan dalam kesempitan hanya untuk bersama Dhira.

Rafa memilih menuju ke balkon kamar Dhira dan menatap indahnya langit malam.

"Tha..." Devan menatap Atha. Ia menggenggam tangan gadis itu semakin erat. "Gue mohon, bangun, Tha..."

Devan memposisikan punggung tangan Atha di dahinya dan laki-laki itu memejamkan matanya. Ia terus berdoa agar Atha terbangun. Devan benar-benar menyayangi Atha.

Jari Atha tergerak. Devan langsung membuka matanya dan melihat Atha yang mulai siuman. Laki-laki itu tersenyum senang.

Atha yang merasa tangannya digenggam seseorang langsung menoleh. Devan sedang tersenyum disana sambil menatapnya. Sebenarnya, Atha ingin melepas genggaman tangan Devan, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa nyaman.

"Van..." panggil Atha. "Gue dimana?"

"Lo di rumah Dhira,"

Bagai tersambar jutaan volt lisrik, Atha langsung terduduk dan tidak memedulikan rasa pusingnya. "Gue harus pulang."

"Tha," Devan menahan Atha di tempat. "Lo harus nurut sekarang sama gue, plis disini aja."

"Tapi Van-"

"Seenggaknya sampe besok pagi. Jam lima gue bakal kesini dan nganter lo pulang. Lo nggak mungkin gue biarin tidur di jalan kayak gitu," Devan memotong ucapan Atha tegas.

Atha hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan. Ia akhirnya mengangguk dan merileks-kan tubuhnya lagi.

Beberapa menit kemudian, Dhira datang sambil membawa nampan berisi secangkir cokelat hangat dan semangkuk sup ayam bertepatan dengan Rafa yang kembali dari balkon. Dhira meletakkan nampan itu di meja sebelah kasur.

"Kak, lo... udah tau?" tanya Atha takut. Ia baru sadar, bisa saja Devan memberi tahu Dhira dan Rafa tentang masalahnya.

Dhira memasang wajah kebingungan terbaik yang pernah ia punya. "Tau apa?"

Atha hanya menggeleng dan menghembuskan nafasnya lega.

Devan mengambil mangkuk berisi sup ayam di meja dan menyendoknya. "Makan,"

"Gue bisa sen-"

"Nggak. Gue suapin tiga suap dan dilanjut sama Dhira." Devan mendekatkan sendok kearah mulut Atha. "Motor gue masih di deket pohon,"

Atha memutar kedua bola matanya malas dan terpaksa menerima suapan dari Devan.

Setidaknya, malam itu, ia bisa tidur dengan tenang.[]

Sabtu, 12 Agustus 2017
17.31 WIB

a/n : hai. baru seminggu, tp dh ada yg ribut mnta apdet. taek. btw gw kaga konsisten amat si *abaikan*

-fea 

LANGIT dan BUMI ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang