[]
"GUE anter lo kerumah Dhira, ya?" tawar Devan.
Atha menggeleng, belum ingin menceritakan masalah keluarganya pada Dhira. Ia tidak ingin Dhira menjadi khawatir padanya. Atha tahu, Dhira sayang padanya.
"Rumah Rafa?" tawar Devan lagi.
Atha masih menggeleng. Tidak, Rafa sangat benci padanya. Mungkin, sebelas-duabelas dengan Mamanya.
"Mau kemana?" Devan menatap Atha prihatin.
"Disini aja," jawab Atha. Ia menghapus air matanya yang tadi sudah membeludak.
"Yaudah. Nanti malem, gue bawain makan, ya." Devan mengusap lembut rambut Atha. Gadis itu perlu kasih sayang yang besar.
Atha hanya diam, tak tahu harus bagaimana lagi. Dan ia juga bukan orang yang suka berterima kasih, jadi ia tak menggubris ucapan Devan.
"Tapi seenggaknya lo harus punya tempat buat tidur nanti malem, Tha." Devan melepas rangkulannya.
"Nggak," Atha menggeleng. Orangtuanya akan lebih marah lagi jika besok mendapati Atha tidak ada di luar. "Gue disini aja."
"Tha," Devan menatap Atha, hendak mengucapkan sesuatu.
"Van," Atha balas menatap Devan dengan tatapannya yang dingin lagi. "Pergi aja."
Devan menggeleng keras. Tidak, ia tidak akan membiarkan Atha sendirian di luar. Apalagi saat malam hari tiba. Banyak hal yang bisa terjadi, bukan? Atha itu perempuan. Bahaya.
"Van, kalo nyokap gue tau lo masih disini, gue bakal dipukul lagi," Atha menunduk, menatap aspal. "Kalo lo emang peduli sama gue, pergi sekarang."
Devan menghembuskan nafasnya pasrah. Ia tidak bisa melawan lagi sekarang. Atha benar, jika Mella tahu ia ada di luar bersama gadis itu, ia malah akan semakin dipukuli.
Devan mengacak pelan rambut Atha sebelum berdiri. "Gue pulang, Tha."
Atha masih diam menatap aspal. Pikirannya dipenuhi banyak hal. Ia stress berat.
Devan berjalan menjauhi Atha yang menatap kosong kearah jalanan. Ia ingin sekali mendekatinya... Ia ingin merengkuh gadis itu dan membantunya keluar dari masalah keluarga yang sangat berat itu... Tapi bagaimana?
*
Atha bersandar di pagar dan memeluk tubuhnya. Ini sudah malam dan ia belum makan siang tadi. Kepalanya terasa pusing, serasa ingin diadukan ke dinding baja.
Langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Atha menoleh dan mendapati Devan yang memakai celana santai selutut dan jaket hitam yang membalut tubuhnya sambil membawa sekotak bekal makanan.
Devan duduk di sebelah Atha, kemudian menyerahkan bekal di tangannya. "Nih. Nyokap gue yang bikin."
Atha membuka bekal dari Devan dan matanya seketika melebar melihat isi didalamnya. Nasi, ayam goreng, dan telur balado. Atha menatap Devan, meminta persetujuan darinya. Perut gadis itu sudah berbunyi.
"Makan aja, Tha, astaga," Devan tertawa pelan. "Itu kan emang buat lo."
Atha langsung mengambil sendok yang diserahkan Devan dan memenuhi sendok itu. Baru saja satu suap hendak masuk kedalam mulutnya, terdengar suara kunci pintu rumah dibuka. Atha menelan ludahnya. Makanan ini sudah hampir masuk, kenapa Mella harus datang?
Atha menurunkan sendok itu cepat dan langsung menyembunyikannya di semak-semak terdekat, kemudian mengusir Devan pergi. Jantung gadis itu berdetak kencang. Ia menatap kepergian Devan dengan tidak rela karena ia benar-benar butuh lelaki itu untuk menemaninya.
Mella membuka gerbang rumahnya dan mendapati Atha yang berdiri dengan muka cemas. Mella tahu gadis di depannya sedang merahasiakan sesuatu karena tadi ia sempat melihat laki-laki yang tadi mengantar Atha datang dan menyerahkan bekal.
Mella memukul kepala Atha dengan keras, membuat rasa pusing yang dialami gadis itu semakin menjadi. Atha meringis kesakitan.
"Mana makanannya?" tanya Mella dingin.
"A-Atha nggak ada makan, Ma," Atha meremas ujung baju seragamnya yang sudah agak kotor. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya.
"BERANI BOHONG, KAMU YA!" Mella kembali memukul kepala Atha lebih keras, sampai kepala gadis itu membentur tembok di sebelahnya. Darah segar langsung mengucur dari pelipis Atha. "MANA MAKANANNYA?"
Atha berjongkok patah-patah, mengambil bekal makanan dari Devan yang disembunyikannya. Ia menyerahkannya pada Mella yang langsung disambar kasar.
"Kalo sampe Mama liat kamu makan lagi, tidur diluar satu minggu!" ancam Mella sambil lagi-lagi memukul kepala Atha, menyebabkan darah yang mengucur semakin banyak.
Mella kembali mengunci gerbang dan masuk kedalam rumah. Atha langsung terduduk lemas dan memegang pelipisnya yang masih berdarah.
Atha menidurkan dirinya di depan gerbang. Tasnya dijadikan bantal, tak peduli dengan darah yang jelas-jelas mengotorinya. Gadis itu kemudian menangis tanpa suara.
"Tuhan..." kesadaran Atha sudah di ujung. "Kenapa takdir gue gini banget...?"
Atha pingsan.[]
Minggu, 30 Juli 2017
17.45 WIBaduh pendek bgt ya:' gw keknya lg males nulis pas bagian chapter ini deh. hmm... yaudahlah. btw gw kepo deh. sbnernya ada yg nungguin cerita gaje ini ga si? :v
-fea
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT dan BUMI ✓
أدب المراهقين[COMPLETED] [TELAH DITERBITKAN] . . Kisah tentang 2 orang korban broken home yang menjalani hidup dengan cara berbeda, menyebabkan sebuah gejolak tolak belakang dan perbedaan sifat yang sangat berbeda. Layaknya Langit dan Bumi. . . 1 in #bumi - Marc...