CH 2

8.1K 320 14
                                    

"How is it you'll never notice that you are slowly killing me." GNash ft. Olivia Brien.

[]

MAU bagaimanapun Atha bersikeras, ia tetap tidak bisa mengenyahkan Devan dari pikirannya. Sekarang, ia sedang bersama Dhira di kantin saat jam istirahat kelas 12 hanya untuk membicarakan Devan.

"Kak, lo deket sama anak OSIS ga?" Atha bertopang dagu, menatap sahabatnya.

"Hmm, lumayan. Kenapa? Ada masalah sama mereka?" tanya Dhira sambil sesekali menyeruput es teh nya.

"Devan itu orangnya gimana sih?" tanya Atha langsung.

"Eh? Devan? Yang ketua OSIS itu kan?" Atha mengangguk mendengar pertanyaan Dhira. "Mm.. Dia itu pinter, rajin, tanggung jawab, disiplin, baik, yaaah, gitulah,"

"Ooh," Atha menatap sekeliling. Banyak yang sedang membicarakannya yang dekat dengan Dhira, seperti biasa. Tapi gadis itu sudah kebal dengan segala bully-an yang didapatnya.

"Kenapa? Lo naksir dia, ya?" ledek Dhira.

"Yaaa, harusnya enggak sih. Tapi entah," mau bagaimanapun Dhira berusaha membuat Atha tersenyum, usahanya tak pernah berhasil.

Dhira memang tidak benar-benar mengenal Atha. Ia hanya tahu bahwa di rumah yang cukup besar yang ditinggali Atha, ia hanya sendirian. Dhira tidak tahu kemana orang tua Atha, atau mungkin saudara Atha yang lain. Pernah suatu hari Dhira bertanya tentang keluarganya, namun Atha justru terdiam, marah, dan langsung meninggalkan Dhira sendirian. Dan keesokan harinya, gadis itu sudah kembali seperti biasa; muram. Dan, satu hal lain yang diketahui Dhira adalah bahwa Atha merupakan anak seorang pengusaha besar, Pak Afran.

"Lo ketemu dia, apa?" tanya Dhira.

"Iya, tadi. Pas gue bolos. Gue ke rooftop, trus tiba-tiba dia dateng. Padahal belum jam istirahat kelas 12," jawab Atha sambil melamun. Pandangannya tak fokus, teringat Devan yang tadi bertemu dengannya.

"Ooh, mungkin dia lagi ada urusan? Atau jangan-jangan dia bolos juga? Hahaha," sadar bahwa hanya dirinya yang tertawa, Dhira diam. "Tha, lo kenapa sih nggak pernah senyum? Senyum itu ibadah, loh. Senyum, lah Tha. Sedikit aja."

"Kita udah pernah bahas masalah ginian ya Kak." ujar Atha dingin sambil menatap mata Dhira tajam.

"Iya, gue tau. Tapi yang gue nggak tahu adalah, lo kenapa sih ga mau ngasih tau gue alesan lo tiap hari murung terus?" Dhira terdiam sejenak. "Gue sahabat lo, Tha. Siapa tahu kalo lo cerita, gue bisa—"

"Diem lo." Atha menggebrak meja dengan keras yang mengakibatkan seluruh penjuru kantin menatap kearahnya. Tak terkecuali Devan yang ternyata juga sedang ada disana.

"Tha." panggil Dhira, berusaha menenangkan Atha. Tapi Atha Rafaditya adalah gadis yang tak pernah mau berubah pikiran. Ia berjalan pergi meninggalkan Dhira seperti saat itu, lagi.

"Atha!" Dhira kembali berteriak memanggil, tapi yang dipanggil tak kunjung kembali. Ia tahu, sahabatnya itu perlu waktu untuk sendiri. Suasana kantin mulai kembali ramai seperti semula. Dan Dhira tidak pernah menyangka, bahwa Devan akan menghampirinya.

"Lo deket sama Atha?" tanya ketua OSIS itu.

"Iya," jawab Dhira tak fokus. Ia sangat merasa bersalah. Harusnya ia menahan keinginannya untuk bertanya pada Atha.

"Kira-kira dia kemana?" tanya Devan lagi.

"Mungkin ke halaman belakang sekolah? Atau rooftop? Gue nggak tahu," Dhira menunduk dalam, perasaannya makin campur aduk.

Devan berlalu meninggalkan Dhira, menuju ke halaman belakang sekolah. Dan benar saja, disana, ia melihat Atha sedang duduk bersandar pada bangunan sekolah dengan membenamkan muka pada kedua tangan yang diletakkan diatas lutut.

Devan tebak, gadis itu sedang menangis.

Ia menghampiri Atha, duduk di sebelahnya. Atha yang kaget langsung buru-buru menghapus air matanya dan menatap Devan tajam.

"Lo mau apa disini?" tanya Atha sinis.

"Rasanya jadi anak yang suka bolos itu gimana sih?" Devan santai-santai saja berbicara dengan Atha. Ia bisa melihat sebuah kesamaan yang ada dalam diri mereka berdua. Dapat dilihat langsung dari mata Atha, bagaimana cara gadis itu memandang sesuatu. "Lo mau cerita sama gue? Gue bisa jaga rahasia kok,"

Atha menatap Devan dengan pandangan heran, kemudian menggeleng pelan dan pergi meninggalkan lelaki itu disana. Ia menuju ke kelasnya yang sedang melangsungkan pelajaran Biologi. Ia mengambil tas nya, kemudian berteriak pelan pada Pak Afif yang sedang mengajar.

"Saya ijin, Pak!"

Atha kemudian menuju gerbang sekolah, membukanya sedikit, kemudian berjalan pulang dengan malas. Tak ada tempat yang membuatnya nyaman. Entah rumah, entah sekolah, sama saja. Sama membosankannya, sama menjengkelkannya.

Tak lama kemudian, sampailah ia di depan rumahnya. Atha menghela nafas, bersiap untuk segala pukulan yang akan dia dapatkan, atau pemandangan tak mengenakkan yang memenuhi mata dan pikirannya.

Dan ketika ia masuk, dugaan kedua lah yang benar.

Ayahnya sedang menonton TV. Ditemani seorang wanita muda yang tidak Atha kenal yang bersandar pada bahu ayahnya. Entah perempuan keberapa yang sudah dimainkan ayahnya itu.

Untuk sampai ke kamarnya yang ada di lantai 2, mau tidak mau ia harus melewati ayahnya. Setidaknya lewat belakang, jadi tidak terlalu ketahuan kalau saja ayahnya sedang fokus. Atha berusaha berjingkat-jingkat, namun entah bagaimana, ayahnya mengetahui kepulangan Atha.

"Dek, sini kenalan dulu sama Tante Viona. Temen ayah di kantor." ujar ayahnya.

"Ga, makasih." Atha langsung berlalu tanpa menengok lagi kearah ayahnya. "Dasar orangtua nggak punya malu!"

Atha buru-buru berlari setelah mengatakan itu dan langsung masuk ke kamarnya. Tak lupa ia juga langsung menguncinya, karena amarah ayahnya pasti akan meledak sebentar lagi.

"ATHA RAFADITYA, KESINI SEKARANG JUGA!" bentak ayahnya.

Atha tersenyum miris, disertai dengan cairan bening yang mulai jatuh perlahan dari matanya. Ia duduk menyandar pada pintu, dan meledaklah tangisnya. Atha tidak berusaha meredam suaranya, karena pasti juga tidak ada yang peduli.

Atha meratapi nasibnya sendiri. Terkadang ia berpikir untuk mati saja. Sudah berkali-kali ia mengambil pisau di dapur untuk kemudian membunuh dirinya sendiri. Tapi hal itu tetap tak pernah terjadi, karena entah bagaimana, ibunya yang kejam itu selalu mengetahuinya dan langsung memukuli gadis malang itu dengan sapu lidi.

Siapapun, tolong bunuh aku...[]

Minggu, 14 Mei 2017
08.22 WIB

a/n : jadi gmn? udh dapet clue knp si atha pendiem dan murung trs? yah, ceritanya udh mainstream sih, emang. saya tahu kok :" tp biarkan saja author bego ini berkarya ya! don't forget to vote+comment! Oh iya. Btw, gue mau UKK minggu depan, jd keknya gabakal update entah sampe kpn. Klo sempet bakal update deh, janji! Wish me luck, gaes~

-fea

LANGIT dan BUMI ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang